Jumat, 09 Mei 2014

Pengukuran sipat datar

Metode sipat datar optis adalah proses penentuan ketinggian dari sejumlah titik atau pengukuran perbedaan elevasi. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan tinggi di atas air laut ke suatu titik tertentu sepanjang garis vertikal. Perbedaan tinggi antara titik - titik akan dapat ditentukan dengan garis sumbu pada pesawat yang ditunjukan pada rambu yang vertikal. Tujuan dari pengukuran penyipat datar adalah mencari beda tinggi antara dua titik yang diukur. Misalnya bumi, bumi mempunyai permukaan ketinggian yang tidak sama atau mempunyai selisih tinggi. Apabila selisih tinggi dari dua buah titik dapat diketahui maka tinggi titik kedua dan seterusnya dapat dihitung setelah titik pertama diketahui tingginya.






Sebelum digunakan alat sipat datar mempunyai syarat yaitu: garis bidik harus sejajar dengan garis jurusan nivo. Dalam keadaan di atas, apabila gelembung nivo tabung berada di tengah garis bidik akan mendatar. Oleh sebab itu, gelembung nivo tabung harus di tengah setiap kali akan membaca skala rambu. Karena interval skala rambu umumnya 1 cm, maka agar kita dapat  enaksir bacaan skala dalam 1 cm dengan teliti, jarak antara alat sipat datar dengan rambu tidak lebih dari 60 meter. Artinya jarak antara dua titik yang akan diukur beda tingginya tidak boleh lebih dari 120 meter dengan alat sipat datar ditempatkan di tengah antar dua titik tersebut dan paling dekat 3,00 m. Beberapa istilah yang digunakan dalam pengukuran alat sipat datar, diantaranya:

  1. Stasion adalah titik dimana rambu ukur ditegakkan; bukan tempat alat sipat datar ditempatkan. Tetapi pada pengukuran horizontal, stasion adalah titik tempat berdiri alat.
  2. Tinggi alat adalah tinggi garis bidik di atas tanah dimana alat sipat datar didirikan.
  3. Tinggi garis bidik adalah tinggi garis bidik di atas bidang referensi ketinggian (permukaan air laut rata-rata) 
  4. Pengukuran ke belakang adalah pengukuran ke rambu yang ditegakan di stasion yang diketahui ketinggiannya, maksudnya untuk  mengetahui tingginya garis bidik. Rambunya disebut rambu belakang.
  5. Pengukuran ke muka adalah pengukuran ke rambu yang ditegakan di stasion yang diketahui ketinggiannya, maksudnya untuk mengetahui tingginya garis bidik. Rambunya disebut rambu muka.
  6. Titik putar (turning point) adalah stasion dimana pengukuran ke belakang dan kemuka dilakukan pada rambu yang ditegakan di stasion tersebut.
  7. Stasion antara (intermediate stasion) adalah titik antara dua titik putar, dimana hanya dilakukan pengukuran ke muka untuk menentukan ketinggian stasion tersebut.
  8. Seksi adalah jarak antara dua stasion yang berdekatan, yang sering pula disebut slag. Istilah - istilah di atas dijelaskan pada gambar 46.
Keterangan Gambar 46:
�� A, B, dan C = stasion: X = stasion antara
�� Andaikan stasion A diketahui tingginya,
maka:
  • Disebut pengukuran ke belakang, b = rambu belakang;
  • Disebut pengukuran ke muka, m = rambu muka.
Dari pengukuran 1 dan 2, tinggi stasion B diketahui, maka:
  • Disebut pengukuran ke belakang;
  • Disebut pengukuran ke muka, stasion B disebut titik putar
  1. Jarak AB, BC dst masing-masing disebut seksi atau slag.
  2. Ti = tinggi alat; Tgb= tinggi garis bidik.
Pengertian lain dari beda tinggi antara dua titik adalah selisih pengukuran ke belakang dan pengukuran ke muka. Dengan demikian akan diperoleh beda tinggi sesuai dengan ketinggian titik yang diukur.



Berikut adalah cara - cara pengukuran dengan sipat datar, diantaranya:'

Cara kesatu

Alat sipat datar ditempatkan di stasion yang diketahui ketinggiannya.Dengan demikian dengan mengukur tinggi alat, tinggi garis bidik dapat dihitung. Apabila pembacaan rambu di stasion lain diketahui, maka tinggi  stasion ini dapat pula dihitung. Seperti pada gambar 47.
Keterangan gambar 47:
  • ta = tinggi alat di A
  • T = tinggi garis bidik
  • HA = tinggi stasion A
  • = bacaan rambu di B
  • HB = tinggi stasion B
  • hAB = beda tinggi dari A ke B = ta – b
untuk menghitung tinggi stasion B digunakan rumus sbb:

HB = T – b
HB = HA + ta – b
HB = HA + hAB
Cara tersebut dinamakan cara tinggi garis bidik.
Catatan:'
ta dapat dianggap hasil pengukuran ke belakang, karena stasion A diketahui  tingginya. Dengan demikian beda tinggi dari A ke B yaitu hAB = ta – b. Hasil ini menunjukan bahwa hAB adalah negatif (karena ta < b) sesuai dengan keadaan dimana stasion B lebih rendah dari

stasion A.
  • beda tinggi dari B ke A yaitu hBA = b – t. Hasilnya adalah positif. Jadi apabila HB dihitung dengan rumus HB = HA + hAB hasilnya tidak sesuai dengan keadaan dimana B harus lebih rendah dari A.
  • Dari catatan poin 1 dan 2 dapat disimpulkan bahwa hBA = -hAB agar diperoleh hasil sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Cara kedua

Alat sipat datar ditempatkan diantara dua stasion (tidak perlu segaris).

Perhatikan gambar 48:'
hAB = a – b

hBA = b – a
Bila tinggi stasion A adalah HA, maka tinggi stasion B adalah:

HB = HA + hAB = HA + a – b = T – b
Bila tinggi stasion B adalah HB, maka tinggi stasion A adalah:

HA = HB + hBA = HB + b – a = T – a''

Cara ketiga

Alat sipat datar tidak ditempatkan diantara atau pada stasion.

Perhatikan gambar 49:
hAB = a – b

hBA = b – a
bila tinggi stasion C diketahui HC, maka:

HB = HC + tc – b = T – b
HA = HC + tc – a = T – a
Bila tinggi stasion A diketahui, maka:

HB = HA + hAB = HA + a - b
Bila tinggi stasion B diketahui, maka:

HA = HB + hAB = HB + b – a



Dari ketiga cara di atas, cara yang paling teliti adalah cara kedua, karena pembacaan a dan b dapat diusahakan sama teliti yaitu  menempatkan alat sipat datar tepat di tengah - tengah antara stasion A dan B (jarak pandang ke A sama dengan jarak pandang ke B).

Pada cara pertama pengukuran ta kurang teliti dibandingkan dengan pengukuran b, dan pada cara ketiga pembacaan a kurang teliti dibandingkan dengan pembacaan b. Selain itu, dengan cara kedua hasil pengukuran akan bebas dari pengaruh kesalahankesalahan

garis bidik, refraksi udara serta kelengkungan bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar