Minggu, 15 Februari 2015

Ruang Jalan sebagai Ruang Publik

Ruang Jalan

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Jaringan jalan merupakan salah satu pembentuk struktur kota, menjadi aspek penting dalam pembangunan wilayah, ekonomi, sosial dan politik. Melalui fungsinya sebagai sarana transportasi, jaringan jalan memiliki keterkaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan perkotaan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyatakan manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Ruang manfaat jalan hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. Trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.
Badan jalan hanya diperuntukkan bagi pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan. Saluran tepi jalan hanya diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air agar badan jalan bebas dari pengaruh air. Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang publik kota yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan.
Tiap ruas jalan memiliki bagian-bagian jalan, dimana masing-masing memiliki fungsi khusus. Bagian-bagian jalan terdiri dari:

1. Ruang manfaat jalan

Adalah ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas (dengan atau tanpa jalur pemisah), bahu jalan dan jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak dibagian paling luar dari ruang manfaat jalan yang digunakan untuk mengamankan bangunan jalan.

2. Ruang milik jalan

Adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keleluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang.
Menurut Moughtin (1992), jalan adalah garis komunikasi yang digunakan untuk melakukan perjalanan di antara dua tempat yang berbeda, baik menggunakan kendaraan maupun berjalan kaki. Jika disebut jalur, jalan adalah
cara untuk menuju akhir tujuan atau perjalanan. Jalan merupakan permukaan linier dimana pergerakan terjadi di antara dua tempat, sehingga dapat dikatakan fungsi jalan adalah menjadi penghubung antara dua bangunan, penghubung antara dua jalan dan penghubung antara dua kota. Pendapat ini diperkuat oleh Carr (1992), yang mengatakan bahwa jalan adalah komponen dari sistem komunikasi kota sebagai sarana pergerakan benda, masyarakat dan informasi dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Ruang Publik (Public Space)

Pengertian ruang publik adalah suatu tempat umum dimana masyarakat melakukan aktivitas rutin dan fungsional yang mengikat sebuah komunitas, baik dalam rutinitas normal dari kehidupan sehari-hari, maupun dalam perayaan yang periodik (Carr, 1992). Seiring dengan perkembangan zaman, ruang publik baik pada zaman dahulu maupun pada saat sekarang tetap berfungsi sebagai tempat bagi masyarakat untuk bertemu, berkumpul dan berinteraksi, baik untuk kepentingan keagamaan, perdagangan maupun membangun pemerintahan.
Dalam tata guna lahan atau pemanfaatan ruang wilayah/area perkotaan, yang dimaksud dengan ruang publik adalah ruang terbuka (open space) yang dapat diakses atau dimanfaatkan oleh warga kota secara cuma-cuma sebagai bentuk pelayanan publik dari pemerintah kota yang bersangkutan demi keberlangsungan beberapa aktivitas sosial warganya.
Menurut bentuk dan aktifitas yang terjadi pada ruang terbuka, Lynch (1987) mengkategorikannya menjadi 2 (dua), yaitu lapangan (square) dan jalur/jalan (the street). Ruang terbuka, baik berupa lapangan maupun koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen rancang kota yang sangat penting dalam pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial (Shirvani, 1985).
Ruang publik yang berbentuk ruang terbuka dapat digunakan sebagai wahana rekreasi, paru-paru kota, memberikan unsur keindahan, penyeimbang kehidupan kota, memberikan arti suatu kota dan kesehatan bagi masyarakat kota. Ruang publik juga bermanfaat untuk melayani kebutuhan masyarakat sebagai sarana rekreatif maupun sebagai tempat untuk melakukan interaksi dan kontak sosial dalam kehidupan masyarakat. Demi untuk menjamin kepentingan sosial bagi semua golongan masyarakat maka semestinya semua ruang publik tersebut adalah milik pemerintah kota.
Keberadaan ruang publik pada suatu kawasan di pusat kota sangat penting artinya karena dapat meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan baik itu dari segi lingkungan, masyarakat maupun kota melalui fungsi pemanfaatan ruang di dalamnya yang memberikan banyak manfaat. Dalam pengembangan ruang publik dalam konteks perkotaan perlu memperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh didalamnya. Sebagai suatu ruang publik, perlu diketahui karakteristik pemanfaatan ruangnya agar tercipta ruang luar yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan tersebut selain berupa aktivitas juga mempertimbangkan karakteristik ruang dan ketersediaan sarana pendukungnya. Bagaimana ketiga faktor tersebut (aktivitas, karakteristik ruang
dan sarana pendukung) dapat saling mendukung agar terjadi kesesuaian pada tiap fungsi pemanfaatannya sehingga dapat dijadikan sebagai arahan pengembangan ruang publik pada umumnya.
Ruang publik sebagai ruang yang dapat diakses oleh setiap orang dan dengan sendirinya harus memberikan kebebasan bagi penggunanya. Sedang menurut Lynch dan Carr (1981), penggunaan ruang publik sebagai ruang bersama merupakan bagian integral dari tata tertib sosial, sehingga perlu adanya pengendalian terhadap kebebasan tersebut. Pengendalian dalam penggunaan ruang publik berkaitan dengan toleransi akan kepentingan orang lain yang juga menggunakan ruang publik tersebut.

Ruang Jalan sebagai Ruang Publik

Menurut Spurrier dalam Bishop (1989), jalan tidak dapat dipertimbangkan hanya sebagai jalur kendaraan, tetapi secara keseluruhan menjadi bagian integral kehidupan manusia. Dan Budiharjo (2005), mengatakan bila jalan direncanakan hanya berdasarkan anggapan akan fungsinya, maka akan menutup peluang untuk memanfaatkan jalan sebagai ruang untuk beraktivitas. Lewelyn–Davies (2000), menguraikan bahwa pada setiap perencanaan sebuah jalan timbul pertanyaan ”apa yang dapat terjadi di jalan ini?”. Selanjutnya Lewelyn–Davies mengungkapkan dari fungsi awal jalan sebagai jalur penghubung, muncul kegiatan lain di sepanjang jalan tersebut, namun harus dilihat pula dari beberapa aspek lainnya, seperti peranan jalan itu sendiri dari sudut pandang masyarakat, tipe dari bangunan disekitarnya serta penataan landscape yang mendukung.
Appleyard (1981), mengungkapkan bahwa jalan adalah pusat sosial kota dimana masyarakat berkumpul, tapi juga sekaligus merupakan saluran pencapaian dan sirkulasi. Ditambahkan oleh Jacobs (1993) bahwa jalan yang baik mendorong partisipasi, masyarakat berhenti untuk berbicara atau mungkin mereka duduk dan melihat, sebagai peserta pasif, menerima apa yang ditawarkan jalan.
Maka dapat disimpulkan bahwa jalan merupakan sarana untuk melakukan perpindahan dari suatu tempat menuju pada suatu tempat, dari satu titik menuju ke titik lainnya. Namun jalan merupakan suatu arena kegiatan sosial pula, sebagai pintu gerbang ruang privat manusia menuju ke ruang dengan dimensi yang lebih luas yaitu masyarakat/publik.
Lebih lanjut Rapoport (1977) menjelaskan bahwa terjadinya aktifitas di suatu lingkungan termasuk ruang publik kota dapat dianalisa dalam empat komponen yaitu:
  1. Aktifitas.sesungguhnya (makan, berbelanja, minum, berjalan);
  2. Aktifitas spesifik untuk melakukannya (berbelanja di bazaar, minum di bar, berjalan di jalan, duduk di lantai, makan bersama orang lain);
  3. Aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi yang mana menjadi bagian dari sistem aktivitas (berbelanja sambil bergosip, pacaran sambil jalan-jalan);
  4. Aktifitas simbolik (berbelanja sebagai konsumsi yang menyolok, memasak sebagai ritual, cara menegakkan identitas sosial).
Rapoport kemudian juga menyatakan bahwa aktifitas sesungguhnya (activity proper) dan aktifitas spesifik (specific activity) merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” sedangkan aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi (activity additional, adjacent and associationed) dan aktifitas simbolik (symbolic activity) merupakan perwujudan “fungsi laten”. Aktifitas tambahan, berdampingan atau terassosiasi dan aktifitas simbolik inilah yang membentuk “citra” suatu tempat.
Kegiatan di ruang terbuka publik di pusat kota merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” (ruang terbuka sebagai pusat interaksi sosial budaya masyarakat dan fungsi ekologis kota, pedestrian dan jalan sebagai linkage system) dan juga fungsi laten (ruang terbuka sebagai aktifitas ekonomi dan jalan/pedestrian sebagai tempat aktifitas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat). Terjadinya aktifitas tersebut sebagai perwujudan fungsi manifestasi dan laten dalam ruang publik sehari-hari yang saling bercampur baur antara satu aktifitas dengan aktifitas lainnya dan saling mempengaruhi, yang dilakukan oleh sekelompok orang atau kelompok yang mempunyai persepsi atau nilai-nilai sama atau mirip dan melakukan suatu rangkaian kegiatan atau perilaku tertentu untuk makna dan tujuan yang telah disepakati (Rapoport, 1977).
Jika dikaitkan dengan ruang jalan, maka jalan dengan fungsi manifestasinya sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan antara dua tempat yang berbeda, dan jalan memiliki fungsi laten sebagai tempat beraktifitas sosial, tempat berhubungan antar masyarakat, masyarakat sebagai peserta aktif maupun pasif yang mungkin hanya duduk atau melihat apa yang ditawarkan oleh jalan tersebut.

Ruang publik ditinjau dari aspek fisik

Menurut Shirvani dalam urban design dikenal enam elemen fisik yang digunakan untuk membuat kebijakan, rencana, panduan design dan program. Namun dalam penelitian ini akan ditekankan pada empat elemen fisik yang paling berkaitan dengan subyek penelitian. Elemen fisik tersebut antara lain sistem keterkaitan ruang (sirkulasi, aksesibilitas dan parkir) Jalur pejalan kaki (pedestrian ways), aktifitas penunjang (activity support), street furniture.
Salah satu fungsi urban space adalah sebagai sebagai simpul kegiatan. Fungsi ini memiliki keterkaitan yang erat dengan pola sirkulasi transportasi kota. Oleh karenanya urban space yang memiliki fungsi ini harus memperhatikan aspek aksesibilitas sarana transportasi serta pemberhentiannya (perparkiran), sekaligus memenuhi tuntutan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki pengguna jalan maupun urban space tersebut.
Ketersediaan jalur sirkulasi dan area parkir merupakan elemen penting bagi suatu kota dan merupakan suatu alat ampuh untuk menata lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat menjadi alat kontrol bagi pola aktivitas penduduk kota dan mengembangkan aktivitas tersebut. Selain mampu menampung kuantitas perjalanan, sirkulasi di harapkan juga memberikan kualitas perjalanan melalui experiencenya (Davit dan Kulash dalam Naupan, 2007). Dan sirkulasi yang baik (dalam konteks transportasi/lalu-lintas) memiliki beberapa indikator, antara lain kelancaran, keamanan dan kenyamanan.
Sirkulasi dapat dikelompokkan sesuai dengan pelaku, sesuai dengan pembagian tempat/areanya maupun sesuai pola yang dibentuk sirkulasi itu sendiri. Sirkulasi menurut tempat/area dapat dibagi menjadi dua:
  1. Sirkulasi outdoor yaitu sirkulasi yang terjadi pada ruang luar suatu bangunan atau sirkulasi di luar suatu bangunan.
  2. Sirkulasi indoor yaitu sirkulasi yang terjadi di dalam bangunan itu sendiri.

Sirkulasi menurut pelakunya dibagi menjadi dua (Ashihara,1986) yaitu:

  1. Sirkulasi manusia yaitu sirkulasi yang dilakukan oleh manusia. Sirkulasi yang dilakukan manusia dapat terjadi pada outdoor atau indoor.
  2. Sirkulasi kendaraan yaitu sirkulasi dari kendaraan sebagai sarana transportasi. Umumnya sirkulasi kendaraan banyak melibatkan mengenai penataan ruang untuk parkir. Sirkulasi untuk parkir juga dapat terjadi di outdoor atau indoor.

Sirkulasi menurut polanya (Ching, 1990) dibagi menjadi:

  1. Sirkulasi dengan pola terpusat, yaitu sirkulasi dengan pola menuju ke pusat sebagai tujuan utama.
  2. Sirkulasi dengan pola linier, ysitu sirkulasi yang membentuk suatu garis yang menghubungkan tempat yang satu ke tempat lain.
  3. Sirkulasi dengan pola radial, yang merupakan perkembangan dari sirkulasi linier.
  4. Sirkulasi dengan pola cluster, yaitu sirkulasi dengan pola yang membentuk persamaan kriteria seperti sirkulasi dengan satu pintu masuk utama
  5. Sirkulasi dengan pola grid, yaitu sirkulasi yang membentuk modul- modul tertentu.
Sedangkan perparkiran merupakan unsur pendukung sistem sirkulasi kota, yang menentukan hidup tidaknya suatu kawasan. Perencanaan tempat parkir harus memperhatikan hal-hal berikut:
  • Keberadaan strukturnya tidak mengganggu aktifitas di sekitarnya, mendukung kegiatan street level dan menambah kualitas visual lingkungan.
  • Pendekataan program penggunaan berganda dengan cara time sharing. Satu lokasi parkir dapat digunakan secara bergantian untuk beberapa lembaga. Misalnya, pagi untuk parkir karyawan perkantoran, pada malam hari atau pada waktu hari libur area parkir tersebut dapat digunakan oleh pengguna urban space.
  • Lokasi kantong parkir seyogyanya ditempatkan pada jarak jangkau yang layak bagi para pejalan kaki. Sistem perletakan parkir diharapkan dapat secara maksimal mempersingkat jarak jalan kaki menuju jalur pedestrian.
Dan menurut PP No 41 tahun 1993 tentang Standar Angkutan Jalan, parkir yang disyaratkan adalah:
  1. Ruang parkir mobil diasumsikan 4,8 x 2,3 m.
  2. Dilarang parkir dijarak 50 m dari penyeberangan.
  3. Parkir tidak diperbolehkan di badan jalan kolektor dan lokal.
Area parkir seyogyanya membutuhkan ruang yang cukup sehingga kendaraan bermotor mempunyai ruang yang cukup untuk parkir dan keluar dari area parkir tanpa harus berdesakkan/terganggu dengan kendaraan lain yang juga akan parkir. Selain itu juga perlu diperhatikan ruang tambahan dari pintu bukaan mobil apabila pengguna kendaraan roda empat keluar dari mobilnya.
Tipe tata letak parkir, baik di tepi jalan, pada lahan parkir atau garasi dapat dibagi menjadi parkir sejajar, membentuk sudut serta parkir tegak lurus dengan tepi jalan atau dinding. Pilihan tergantung pada bentuk dan ukuran daerah yang tersedia, rencana sirkulasi serta jalan masuk keluar kendaraan.
Parkir sejajar dengan jalan umumnya diperuntukkan di tepi jalan raya. Ruang parkir sejajar paling sedikit 20 kaki, bila memungkinkan 22 kaki. Apabila waktu parkir cukup singkat, misalnya 15 menit, maka ruang parkir harus lebih panjang sehingga kegiatan datang dan pergi dapat dilakukan dalam satu gerakan.
Tata letak yang normal dan biasanya paling efisien untuk tempat parkir yang lebih besar adalah parkir secara tegak lurus dengan jalan. Hal ini memungkinkan masuk atau ke luar pada dua arah dan penggunaan ruang yang paling ekonomis, dengan tempat parkir selebar 8 kaki 6 inci dan jalan selebar 25 kaki maka tempat parkir dapat dimasuki oleh seorang pengendara dengan mudah tanpa memerlukan gerakan khusus.
Parkir yang membentuk sudut memberikan tempat parkir yang lebih sedikit dibandingkan dengan parkir tegak lurus dalam suatu satuan panjang tertentu, dan memerlukan jalan satu arah, akan tetapi tempat masuknya lebih memudahkan pengendara dan jalan antara biasa lebih sempit, sehingga memungkinkan penggunaan lahan yang terlalu sempit bagi parkir tegak lurus.
Dalam melakukan aktivitasnya, pejalan kaki membutuhkan suatu sarana berjalan kaki yang dikenal dengan sebutan jalur pejalan kaki atau jalur pedestrian. Jalur pedestrian ini menurut Shirvani (1985) adalah elemen yang esensial dalam urban design, dan bukan hanya menjadi bagian dari program beutifikasi. Lebih dari itu, jalur pedestrian menjadi suatu sistem kenyamanan dan elemen pendukung bagi efektivitas retail dan vitalitas ruang–ruang kota. Selanjutnya, dikatakan bahwa jalur pedestrian adalah bagian dari kota dimana orang bergerak dengan kaki, biasanya berada di sepanjang sisi jalan, baik yang direncanakan atau terbentuk dengan sendirinya, yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya.
Berjalan kaki masih merupakan cara bergerak yang paling sering bagi kebanyakan orang. Dengan demikian sistem jalur pedestrian merupakan penghubung penting yang menghubungkan aktivitas–aktivitas yang ada di kawasan suatu kota, elemen ini menjadi sebuah elemen penyusun (structuring element), pergerakan pejalan kaki akan mengikuti jalur yang paling mudah, menghindari halangan-halangan, jalan terdorong oleh daya tarik visual, perubahan ketinggian, tekstur pergerakan. Namun demikian, tetap menuntut pencapaian yang aman. Menurut Spreiregen (1965) menyebutkan bahwa pejalan kaki tetap merupakan sistem transportasi yang paling baik meskipun memiliki keterbatasan kecepatan rata-rata 3–4 km/jam serta daya jangkau yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. Jarak 0,5 km merupakan jarak yang berjalan kaki yang paling nyaman (Uterman, 1984).
Utermann (1984) mendefinisikan berbagai macam jalur pejalan kaki (pedestrian) di ruang luar bangunan menurut fungsi dan bentuk. Menurut fungsinya, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Jalur pejalan kaki yang terpisah dari jalur kendaraan umum (sidewalk atau trotoar) biasanya terletak bersebelahan atau berdekatan dengan jalur kendaraan umum sehingga diperlukan fasilitas yang aman terhadap bahaya kendaraan bermotor dan mempunyai permukaan rata, berupa trotoar dan terletak di tepi jalan raya. Pejalan kaki melakukan kegiatan berjalan kaki sebagai sarana angkutan yang akan menghubungkan tempat tujuan. Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur menyeberang untuk mengatasi/menghindari konflik dengan moda angkutan lain, yaitu jalur penyeberangan jalan, jembatan penyeberangan atau jalur penyeberangan bawah tanah. Untuk aktivitas ini diperlukan fasilitas berupa zebra cross, skyway, dan subway.
  2. Jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif dan mengisi waktu luang yang terpisah sama sekali dari jalur kendaraan bermotor dan biasanya dapat dinikmati secara santai tanpa terganggu kendaraan bermotor. Pejalan kaki dapat berhenti dan beristirahat pada bangku yang disediakan, fasilitas ini berupa plaza pada taman kota.
  3. Jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas, untuk berjualan, duduk santai, dan sekaligus berjalan sambil melihat etalase pertokoan yang biasa disebut mall.
  4. Footpath atau jalan setapak, jalan khusus pejalan kaki yang cukup sempit dan hanya cukup untuk satu pejalan kaki.
  5. Alleyways atau pathways (gang) adalah jalur yang relatif sempit dibelakang jalan utama, yang terbentuk oleh kepadatn bangunan, khusus pejalan kaki karena tidak dapat dimasuki kendaraan.
Sedangkan menurut bentuknya, jalur pejalan kaki dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Arcade atau selasar, suatu jalur pejalan kaki yang beratap tanpa dinding pembatas di salah satu sisinya.
  2. Gallery, berupa selasar yang lebar digunakan untuk kegiatan tertentu.
  3. Jalan pejalan kaki tidak terlindungi/tidak beratap.
Sucher dalam Ekawati (2006) mengemukakan bahwa jalur pedestrian dapat berfungsi dengan baik bagi pejalan kaki dalam melakukan kegiatannya bila memenuhi beberapa persyaratan berikut ini:
  1. Kontinuitas, umumnya pejalan kaki di segala usia lebih suka berjalan memutar dimana mereka dapat diketahui saat datang dan pergi. Namun yang terpenting adalah rutenya menerus dan dapat dilakukan sewaktu–waktu.
  2. Jarak, jalur pedestrian tidak boleh terlalu panjang sehingga pejalan kaki dapat melaluinya bersama beberapa pejalan kaki lainnya. Pejalan kaki harus dapat membuat kontak mata dengan pejalan kaki lain agar terjadi kontak sosial.
  3. Lebar, beberapa pejalan kaki menyukai berjalan–jalan bersama, jadi sangatlah ideal bila jalur pedestrian memiliki lebar yang cukup untuk dua orang berpapasan satu sama lainnya tanpa canggung untuk menyela suatu percakapan. Jalur pedestrian akan baik dan humanis bila terdapat elemen pendukung atau street furniture.
Dan menurut Utermann (1984), seyogyanya jalur pejalan kaki haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Keamanan (safety), pejalan kaki harus mudah bergerak atau berpindah dan berlindung dari kendaraan bermotor.
  2. Menyenangkan (convenience), pejalan kaki harus memiliki rute sesingkat mungkin (jarak terpendek) yang bebas hambatan dari suatu lokasi ke lokasi tujuan lain.
  3. Kenyamanan (comfort), pejalan kaki harus memiliki jalur yang mudah dilalui, seperti halnya kendaraan bermotor berjalan di jalan bebas hambatan.
  4. Menarik (attractiveness), pada tempat tertentu diberikan elemen yang dapat menimbulkan daya tarik seperti elemen estetika, lampu penerang jalan, lansekap, dll.
Dimensi lebar ruang yang dibutuhkan jalur pedestrian di kawasan perdagangan untuk jalur berkapasitas dua orang minimal 150 cm, sedangkan jalur berkapasitas tiga orang minimal membutuhkan ruang 200 cm. Aktivitas pejalan kaki memiliki lingkup dan pergerakan yang lebih kompleks dari pada jenis transportasi lainnya terutama dikawasan perdagangan. Sehubungan hal tersebut, suatu jalur pedestrian harus berkualitas tinggi dan memberikan keleluasaan ruang gerak atau tempat luas, serta lingkungan yang bebas dari konflik dengan lalu lintas bagi aktivitas pejalan kaki. Keadaan tersebut akan menciptakan pergerakan yang lancar, kegiatan sosialisasi, dan kenyamanan bagi pejalan kaki (Ekawati, 2006).
Selanjutnya adalah pertimbangan akan faktor penarik di sepanjang jalur pedestrian, dan yang terakhir adalah pertimbangan fasilitas publik (perabot jalan) dalam jalur pedestrian seperti bangku, pot tanaman, penerangan, dan lain – lain. Apek jalur pedestrian dapat dibagi dalam tiga kelompok fungsi dan kebutuhan, kenyamanan psikologis, dan kenyamanan fisik.
Dalam aspek teknis, perancangan jalur khusus untuk pejalan kaki harus memperhatikan:
  1. Penghindaran kemungkinan pejalan kaki berbenturan fisik dengan kendaraan bermotor (jalur tersendiri).
  2. Pedestrian harus didukung oleh tempat orientasi (point of interest).
  3. Kapasitas dan dimensi ruang mencukupi sehingga tidak terjadi kontak fisik dengan pejalan kaki lain.
  4. Peniadaan detail bangunan yang berbahaya, seperti lubang sanitasi, besi penanda, polisi tidur dan sebagainya.
  5. Mempunyai lintasan langsung dengan jarak tempuh terpendek. f. Didukung dengan pepohonan yang rindang.
Adapun fungsi utama activity support adalah menghubungkan dua atau lebih pusat–pusat kegiatan umum dan menggerakkan fungsi kegiatan utama kota menjadi lebih hidup, menerus dan ramai. Tujuannya adalah untuk menciptakan kehidupan kota yang sempurna/lebih baik yang dengan mudah mengakomodasikan kebutuhan atau barang keperluan sehari–hari kepada masyarakat kota, disamping memberikan pengalaman yang memperkaya pemakaidan memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya budaya urban melalui lingkungan binaan yang baik dan bersifat mendidik (Danisworo dalam Carolina, 2007).
Aktifitas penunjang mencakup segala penggunaan dan aktifitas yang dapat memperkuat urban public space, sebab antara aktifitas dan ruang fisik selalu saling melengkapi. Aktifitas cenderung untuk berada di tempat yang sesuai (cocok) dengan yang dibutuhkan oleh aktifitas tersebut. Saling bergantungan antara ruang dan fungsi adalah elemen penting dalam urban design.
Menurut Whyte (1980), aktifitas penunjang juga dapat meningkatkan elemen desain fisik, terutama ruang terbuka. Ia juga menyatakan pentingnya berjualan makanan (food services), hiburan, dan kegiatan pendorong yang lain sebagai obyek fisik dan obyek amatan.
Menurut Gehl-Gemzoe (1996), keberadaan aktifitas penunjang dalam ruang publik kota dapat dibagi dalam dua kategori, pertama meliputi kelompok informal dan event–event dalam skala kecil seperti musisi jalanan, pertunjukan jalanan, dll. Di lain sisi adalah event–event yang diselenggarakan dalam skala yang lebih besar, pertunjukan yang memerlukan persiapan seperti festival dan aktifitas–aktifitas kebudayaan yang menggunakan ruang publik sebagai wadah aktifitasnya.
Pertunjukan dan aktifitas kebudayaan tersebut adalah atraksi yang menarik untuk ruang publik kota dan akan menjadi magnet tersendiri sehingga mengundang pengunjung dalam jumlah yang sangat besar untuk menikmatinya. Aktifitas–aktifitas ini menjadikan ruang publik kota menarik, amusing dan tak terduga (Gehl-Gemzoe, 1996).
Street furniture menjadi istilah yang digunakan oleh para kalangan praktisi untuk memberikan sebutan bagi perabot jalan atau aksesoris jalan, dimana perletakannya selalu berada di sepanjang jalan raya atau jalan lingkungan yang fungsinya sebagai fasilitas pendukung aktivitas masyarakat di jalan raya. Perabot jalan atau street furniture ini cara perletakannya mempunyai kaidah – kaidah fungsi utama maupun seni.
  • Fungsi utama street furniture adalah sebagai petunjuk dan berfungsi sebagai pelayanan terhadap masyarakat pengguna, sehingga diharapkan dengan adanya street furniture, masyarakat dapat nyaman didalam melaksanakan aktivitasnya.
  • Fungsi seni, yaitu perletakan street furniture di sepanjang jalan raya mengikuti kaidah–kaidah seni, baik cara perletakan elemen– elemen itu sendiri maupun desain yang diharapkan mempunyai nilai seni tinggi, sekaligus mempunyai kualitas bahan yang baik.
Menurut Rubenstein (1969) dalam suatu ruang kota dibutuhkan elemen– elemen pendukung (street furniture) sebagai berikut:

Ground Cover

Merupakan penutup tanah dan elemen utama yang harus diperhatikan dalam perencanaan jalur pedestrian, menyangkut skala, pola, warna, tekstur, ketinggian dan material, dimana material ini dibedakan menjadi:
  • Hard material: paving, beton, batu bata, batu dan aspal.
  • Soft material: tanah liat (gravel) dan rumput.
Pemilihan ukuran, pola, warna dan tekstur yang tepat akan mendukung suksesnya desain jalur pedestrian.

Lampu

dimana standar penerangan untuk skala jalur pedestrian secara umum adalah ketinggian maksimum 12 kaki dan penerangan maksimum 75 watt dengan jarak masing–masing penerangan 50 meter.

Signage

berupa tanda–tanda yang diperlukan untuk menunjukkan identitas jalur pedestrian, arah, rambu lalu lintas serta memberi informasi lokasi atau aktivitas (gambar 2.1). Dalam sudut pandang urban design, ukuran dan kualitas desain dari papan iklan pribadi haruslah diatur agar tercipta keserasian, mengurangi dampak visual yang negatif, dan mengurangi rasa kebingunan dan kompetisi antara penandaan lalu lintas dengan penandaan publik. Desain penandaan yang baik dapat menghidupkan streetscape dan difungsikan untuk menginformasikan tentang barang dan layanan individu. Ukuran, bentuk dan warnanya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dilihat
oleh sasaran penerima informasi. Sasaran ini bisa pejalan kaki atau pengendara kendaraan bermotor. Oleh karenanya desain harus memperhatikan skala pergerakannya, cepat atau lambat.
clip_image003Gambar Contoh Signage Berupa Rambu-rambu Lalu Lintas

Sculpture

berfungsi sebagai eye catching, dibuat untuk mempercantik jalur pedestrian atau menarik perhatian mata (vocal point) pada sebuah ruang terbuka, juga dapat berfungsi sebagai sign/tanda. Sculpture bisa berbentuk patung, air mancur dan abstrak
clip_image005
Gambar Contoh sculpture sekaligus menjadi node dari kawasan

Bollards

Semacam balok–balok batu yang berfungsi sebagai barier atau pembatas antara jalur pedestrian dengan jalur kendaraan yang biasanya terdapat pada pedestrian tipe semi mall.

Bangku

Digunakan untuk mengantisipasi keinginan pejalan kaki untuk beristirahat atau menikmati suasana sekitarnya. Bangku dapat dibuat dari kayu, besi, beton atau batu. Bangku yang nyaman adalah yang memiliki tinggi sekitar 15-18 inch dari lantai dan memiliki sandaran. Bangku dapat dilengkapi dengan kisi–kisi sehingga angin dapat masuk melalui kisi–kisi tersebut. Bangku merupakan tempat duduk primer, sedangkan tempat duduk sekunder dapat berupa rerumputan, tangga, dan tembok pembatas tanaman/tanah. Ketersediaan tembok pembatas ini disarankan 50% dari bangku–bangku yang ada di ruang terbuka tersebut, dan agar dapat dipergunakan sebagai tempat duduk sekunder haruslah memiliki tinggi 40-75 cm dan lebar 40-45 cm. Pengunjung akan lebih memilih bangku kayu, baru kemudian tangga dan pembatas tanaman/tanah. Bangku dengan ukuran 3x6 kaki akan sangat sesuai untuk ruang terbuka, baik digunakan saling berhadapan maupun saling membelakangi. Sedangkan pengunjung yang memilih untuk duduk di tangga dan tembok pembatas karena lebih sederhana. Tangga dan tembok pembatas yang ada haruslah memiliki banyak lekukan atau sudut.
Bentuk, ukuran dan pengaturan tempat duduk sangat berpengaruh terhadap pengunjung ruang terbuka. Orientasi duduk haruslah memungkinkan orang untuk memandang sekitarnya dengan leluasa. Dan perlu juga diperhatikan perlindungannya terhadap sinar matahari. Sedangkan pengelompokan tempat duduk akan memberikan lebih banyak variasi orientasi dan pengguna.

Kios

Peneduh (shelter) dan kanopi, keberadaan kios dapat memberi petunjuk jalan dan menarik perhatian pejalan kaki sehingga mereka mau menggunakan jalur pedestrian dan menjadikan jalur tersebut hidup, tidak monoton. Shelter dapat dibangun berbentuk linier sebagai koridor atau sitting group yang fungsinya dapat berupa tempat untuk istirahat, berteduh dari panas terik atau hujan, maupun untuk halte pemberhentian jalur kendaraan umum. Sedangkan kanopi digunakan untuk mempercantik wajah bangunan dan dapat memberi perlindungan terhadap cuaca.
clip_image007
Gambar Contoh shelter berupa halte pemberhentian kendaaraan umum

Tanaman

Peneduh, disamping untuk mempercantik kawasan dan menjadi pengarah, juga sebagai pembatas jalur pedestrian dengan jalur lalu lintas kendaraan atau parkir. Barier yang dapat mengurangi deru bising serta asap kendaraan bermotor serta peneduh disaat hujan dan mengurangi radiasi panas matahari. Adapun kriteria tanaman yang diperlukan untuk jalur pedestrian menurut Hakim (1993) adalah memiliki ketahanan terhadap pengaruh udara; bermassa daun padat; jenis dan bentuk pohon berupa ngsana, akasia besar, bougenville, dan teh-tehan pangkas; tanaman tidak menghalangi pandangan pejalan kaki maupun pengguna kendaraan.

Jam dan tempat sampah

Dimana penempatan jam dapat menjadi fokus atau landmark, sedangkan tempat sampah perlu untuk menjaga kebersihan jalur pedestrian sehingga pejalan kaki merasa nyaman dan tidak terganggu.
clip_image009
Gambar Contoh design tempat sampah

Elemen pendukung lain

adalah elemen yang memberikan kemudahan jalur pejalan kaki dalam mendukung aktivitas manusia yang melewatinya. Misalnya telepon umum, tempat sampah, kotak pos, bahkan di dekat sitting group sering ditempatkan mesin penjual minuman ringan dan koran.
Street furniture atau perabot jalan/taman merupakan perabot yang penting bagi kelangsungan aktifitas di jalan atau taman. Desain dan penataan street furniture akan membentuk kesan place dan mendukung identitas kawasan.

Ruang publik ditinjau dari aspek sosial

Ruang publik dapat mengakomodasi kebutuhan warganya akan kontak sosial, berteman dan berkomunikasi. Menurut Roy dalam Budiharjo (1997), ruang publik merupakan third place yang melengkapi first place yaitu rumah tinggal dan second place yaitu tempat kerja.
Ruang publik dalam fungsinya sebagai area sosial dapat dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul oleh berbagai macam golongan, dimana kegiatan yang terjadi dapat beragam seperti olah raga dan bermain dengan suasana yang nyaman dan teduh dari vegetasi yang cukup rindang (Nazaruddin, 1996). Selain itu, ruang publik yang dilengkapi dengan street furniture, vegetasi dan unsur pelengkap lainnya juga berfungsi sebagai area sosial karena dapat dimanfaatkan oleh setiap orang dan dapat memberikan keuntungan bagi pengembang kota karena akan mengurangi beban yang harus dikeluarkan untuk mengolah area baru yang berfungsi sebagai area berkumpul masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan.
Menurut Gehl-Gemzoe (1996), aktifitas yang dapat terekam dalam suatu ruang terbuka publik dapat dikategorikan menjadi:
  1. Aktifitas wajib adalah aktifitas yang wajib dilakukan, dan umumnya berjalan masuk dalam kategori ini.
  2. Aktifitas pilihan adalah aktifitas yang dilakukan karena memang ingin dilakukan, seperti berdiri, duduk–duduk di bangku taman dan cafe, dan aktifitas rekreatif lain yang biasa ditemui dalam ruang terbuka publik termasuk dalam kategori ini. Pengunjung hanya terlibat dalam aktifitas pilihan ini jika tempat dan kondisinya memungkinkan, pada saat menghabiskan waktu dalam ruang terbuka publik menjadi sangat menyenangkan. Aktifitas ini merupakan aktifitas rekreatif yang wajib diapresiasi dan ruang terbuka publik yang baik akan mampu menyuguhkan kesempatan bagi para pengunjung untuk terlibat dalam aktifitas santai dan menikmati waktu yang mereka habiskan di ruang publik tersebut.
Gehl-Gemzoe (1996) juga berpendapat bahwa salah satu cara untuk menilai kualitas suatu ruang kota bukan dari jumlah orang yang hadir didalamnya melainkan bagaimana mereka menghabiskan waktu di dalam ruang kota.
“One way to judge quality in a city is not to look at how many people are walking, but to observe whether they are spending time in the city, standing about, looking at something, or sitting just enjoying the city, the scenery and the other people.”
Berdasarkan Delianur (2000) jenis aktifitas rekreasi yang biasa terjadi pada ruang terbuka publik yang dilakukan seseorang atau kelompok antara lain aktifitas aktif dan aktifitas pasif. Aktifitas-aktifitas ini dapat mempengaruhi terbentuknya ruang terbuka publik yang dapat dipergunakan seluruh kalangan baik untuk aktifitas bergerak (aktif) maupun aktifiktas tidak bergerak seperti istirahat (pasif).

Aktifitas aktif

Suatu aktifitas yang dilakukan seseorang atau kelompok orang dengan bergerak aktif di dalam ruang terbuka. Kegiatan yang tergolong dalam aktifitas ini adalah rekreasi (jalan-jalan), olah raga dan bermain (Simond, JO, 1976).

1. Olah raga

Kegiatan ini biasa dilakukan di ruang terbuka di pusat kota karena merupakan kebutuhan masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Kegiatan ini hanya bersifat rekreatif saja sehingga sarana olah raga di ruang terbuka tidak perlu mengikuti standart. Ada pun jenis olah raga yang biasa dilakukan di ruang terbuka, antara lain:
  1. Jogging, yaitu kegiatan lari santai yang umumnya dilakukan di atas perkerasan yang nyaman dengan ukuran sesuai kebutuhan manusia. Umumnya lebar area yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan ini berkisar antara 1,5–2 meter sehingga masih tersisa ruang untuk berpapasan dengan pengguna lainnya.
  2. Senam, jenis olah raga yang satu ini memerlukan area yang lebih luas karena memerlukan kebebasan untuk bergerak.
  3. Sepeda, umumnya dilakukan oleh anak–anak hingga orang dewasa dan sangat umum dilakukan di ruang terbuka.

2. Bermain

Aktifitas ini dilakukan oleh anak–anak dan umumnya salah satu tujuan anak–anak untuk datang ke ruang terbuka adalah untuk bermain karena memiliki kebebasan yang lebih dibanding di rumah. Fasilitas bermain merupakan salah satu daya tarik yang umum digunakan bagi pengelola ruang terbuka untuk menarik minat anak– anak. Sedangkan alas dari area bermain pada ruang terbuka adalah pasir, tanah atau rumput.

Bentuk dari ruang terbuka yang dapat menampung aktifitas aktif ini dapat berupa plaza, lapangan olah raga, tempat bermain, penghijauan tepi sungai sebagai area rekreasi, dll.

Aktifitas pasif

Adalah aktifitas di yang dilakukan seseorang atau kelompok orang tanpa banyak berpindah tempat atau tanpa banyak bergerak aktif, seperti berhenti untuk beristirahat, atau duduk-duduk santai. Umumnya aktifitas seperti ini dilakukan di ruang terbuka berupa penghijauan/taman sebagai sumber pengudaraan lingkungan.
Berikut adalah lima kategori orang yang duduk di ruang terbuka:
  1. Orang yang sedang menunggu.
  2. Pengunjung yang duduk di tepi ruag terbuka publik hanya sekedar untuk melihat kendaraan dan orang yang melintas.
  3. Orang yang duduk dan melihat ke dalam ruang terbuka publik, dan ketiga kategori ini umumnya dilakukan oleh perorangan.
  4. Umumnya orang akan memilih untuk duduk tidak begitu dekat dengan jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki sehingga dapat terbentuk ruang untuk duduk berkelompok.
  5. Sekelompok kecil pasangan yang mencari tempat yang cukup tertutup dan intim.

Tinjauan Persepsi Kenyamanan

Kenyamanan merupakan salah satu dari kategori keindahan/estetika yaitu keindahan simbolik yang terbentuk oleh adanya apresiasi yang berarti (meaning) dari suatu lingkungan. Keindahan (estetika) dinilai berdasarkan sensor panca indera yang dimiliki manusia, dalam kaidah-kaidah perancangan kota yang berlandaskan ilmu arsitektur menurut Ishar (1993) keindahan/estetika adalah nilai-nilai dalam bentuk ekspresi yang menyenangkan mata, pikiran dan telinga. Keindahan bentuk lebih banyak berbicara mengenai sesuatu yang lebih nyata, oleh sebab itu dapat diukur atau dihitung.
Sedangkan kenyamanan dalam suatu lingkungan dapat diukur berdasarkan kesesuaian kebutuhan fisiologis manusia dalam beraktivitas. Menurut Weisman (1981) kenyamanan adalah suatu keadaan lingkungan yang dapat menimbulkan rasa yang sesuai dengan panca indera dan antropemetry disertai fasilitas-fasilitas yang sesuai pula dengan kegiatannya. Antropemetry adalah proporsi dan dimensi tubuh manusia serta karakter fisiologis lainnya yang sanggup berhubungan dengan berbagai kegiatan yang berbeda-beda dalam mikro lingkungan.

image Gambar Proporsi dan Dimensi tubuh manusia
Proporsi dan dimensi untuk memenuhi kenyamanan penggunanya yang diterapkan dalam elemen-elemen ruang terbuka diaplikasikan dalam perancangan jalur pejalan kaki dengan ukuran ruang yang disarankan menurut Ernst Neuvert dalam Sjamsu Amril (1993) sebagai berikut :
image Gambar Proporsi dan Dimensi jalur pejalan kaki sendiri maupun berpapasan
image
Gambar Proporsi dan Dimensi jalur pejalan kaki dengan kereta dorong
image
Gambar Proporsi dan Dimensi jalur pejalan kaki dengan kereta dorong dan pejalan kaki berpapasan

Sedangkan ukuran tangga dan raam luar bangunan diaplikasikan
sebagai berikut :
image image
Gambar Proporsi dan Dimensi tangga dan raam
Kemampuan manusia didalam memahami ruang yang diciptakan guna memenuhi kebutuhannya tersebut sangat tergantung dari bagaimana interaksi antara manusia dengan lingkungan binaan (yang diciptakan untuk kebutuhan manusia) dan bagaimana pengaruh ruang atau lingkungan tersebut terhadap persepsinya tentang kenyamanan.
Dalam skala yang lebih luas seperti kawasan, kenyamanan menurut Rubenstein (1992: 31) meliputi beberapa elemen antara lain sebagai berikut:
  1. Traffic, analisa volume traffic sekitar kawasan perdagangan pada jam puncak.
  2. Parkir, penyediaan areal parkir pada jarak kemampuan minimum berjalan kaki menuju area perdagangan. Kenikmatan berjalan kaki tergantung pada jarak tempuh, hubungan dengan angkutan umum dan perlindungan terhadap cuaca.
  3. Transit, yaitu penyediaan pangkalan kendaraan umum dalam jarak relatif dekat.
  4. Sirkulasi pedestrian, penyediaan sirkulasi pedestrian yang aman dan lancar dan mempunyai nilai estetik.
  5. Eksisting bangunan, penyesuaian eksisting bangunan dengan memperhatikan ketinggian bangunan dan karakter arsitektur.
  6. Sosial ekonomi masyarakat
  7. Politik, menyangkut ijin, peraturan pemerintah dan lain-lain.
Sedangkan pada penyediaan sirkulasi pedestrian, terdiri dari beberapa elemen pedestrian meliputi :

1. Paving

Paving adalah trotoar atau bahan hamparan yang rata (Echols, J.M,1983). Dalam hal ini sangat perlu untuk memperhatikan skala, pola, warna, tekstur dan daya serap air larian. Materia paving meliputi : beton, batu bata, batu dan aspal. Pemilihan ukuran, pola, warna dan tekstur yang tepat akan mendukung suksesnya sebuah desain suatu jalur pedestrian di kawasan perdagangan maupun plasa (Rubenstain, 1992).

2. Lampu

Lampu yang digunakan sebagai penerangan di waktu malam hari. Ada beberapa tipe lampu yang merupakan elemen pendukung perancangan kota (Chiara, 1978), yaitu :
  • Lampu tingkat rendah, yaitu ketinggian dibawah pandangan mata dan berpola terbatas dengan daya kerja rendah.
  • Lampu Mall dan jalur pejalan kaki yaitu ketinggian 1-1,5 m, serba guna berpola pencahayaan dan berkemampuan daya kerja cukup.
  • Lampu dengan maksud khusus yaitu mempunyai ketinggian rata- rata 2-3 m yang digunakan untuk daerah rekreasi, komersial, perumahan dan industri.
  • Lampu parkir dan jalan raya, yaitu mempunyai ketinggian 3-5 m, digunakan untuk daerah rekreasi, industri dan komersial jalan raya.
  • Lampu dengan tiang tinggi yaitu mempunyai ketinggian antara 6 – 10 m digunakan untuk penerangan bagi daerah yang luas, parkir, rekreasi dan jalan layangl

3. Sign

Merupakan rambu-rambu yang sifatnya untuk memberikan suatu identitas, informasi maupun larangan.

4. Sculpture

Rambu-rambu yang sifatnya untuk memberikan suatu identitas, informasi maupun larangan atau menarik perhatian mata (vocal point) biasanya terletak di tengah maupun didepan plasa.

5. Bollards

Adalah pembatas antara jalur pedestrian dengan jalur kendaraan, biasanya digunakan bersamaan dengan perletakan lampu.

6. Bangku

Untuk memberi ruang istirahat bila lelah berjalan. Dan memberi waktu bagi pejalan kaki untuk menikmati suasana lingkungan sekitarnya. Bangku dapat terbuat dari logam, kayu, beton atau batu.

7. Tanaman Peneduh

Untuk pelindung dan penyejuk pedestrian.
Menurut Rustam Hakim (1987) kriteria tanaman yang diperlukan untuk jalur pedestrian adalah :
  • Memiliki ketahanan terhadap pengaruh udara maupun cuaca
  • Bermasa daun padat
  • Jenis dan bentuk pohon berupa angsana, akasia besar, bougenville, dan teh-tehan pangkas.

8. Telepon

Biasanya disediakan bagi pejalan kaki jika ingin berkomunikasi dan sedapat mungkin didesain untuk menarik perhatian pejalan kaki.

9. Kios, shelter dan kanopi

Keberadaannya dapat untuk menghidupkan suasana pada jalur pedestrian sehingga tidak monoton. Khususnya kios untuk aktivitas jual beli, bila sewaktu dibutuhkan oleh pejalan kaki. Shelter dibangun dengan tujuan melindungi terhadap cuaca, angin dan sinar matahari. Kanopi digunakan untuk mempercantik wajah bangunan dan dapat memberikan perlindungan terhadap cuaca.

10. Jam, tempat sampah.

Jam sebagai penunjuk waktu, bila diletakkan di ruang kota, harus memperhatikan penempatannya, karena jam dapat sebagai focus atau lanmark, sedangkan tempat sampah diletakkan di jalur pedestrian agar jalur tersebut tetap bersih. Sehingga kenyamanan pejalan kaki tetap terjaga.
Menurut Rapoport (1977) aktivitas berjalan kaki mengandung 4 (empat) komponen yaitu :
  • Aktivitas yang sebenarnya, misalnya berjalan, makan dan lain sebagainya.
  • Cara melakukan, misalnya berjalan di jalur pedestrian, makan di rumah.
  • Aktivitas tambahan, yaitu terkait dan merupakan bagian dari satu kesatuan dalam sistem aktivitas, misalnya berjalan sambil melihatlihat etalase toko.
  • Makna dari aktivitas tersebut, misalnya untuk menghayati lingkungan.
Selanjutnya Rapoport (dalam Mouden, 1987), mengklasifikasikan kegiatan yang terjadi dijalan raya dan jalur pedestrian sebagai berikut :
  1. Pergerakan non pedestrian, yakni segala bentuk kendaraan beroda dan alat angkut lainnya;
  2. Aktivitas pedestrian, meliputi aktivitas yang dinamis/bergerak sebagai fungsi transportasi dan aktivitas pedestrian yang statis seperti duduk dan berdiri.
Hal ini berarti bahwa jalur pedestrian bukan hanya sekedar sebagai salah satu ruang sirkulasi dan transportasi, tapi lebih dari itu juga berfungsi sebagai ruang interaksi masyarakat dengan sistem transportasi jalan raya dan transportasi di jalur pejalan kaki, yang dapat berhubungan dengan moda dan alat transportasi lainnya.
Ruang Publik pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dan pengguna suatu lingkungan baik secara individu dan kelompok (Rustam Hakim, 1987). Batasan ruang publik meliputi :
  • Bentuk dasar dari ruang terbuka diluar bangunan
  • Dapat digunakan oleh Publik
  • Memberi kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan
Namun untuk mendapatkan jalur pejalan kaki yang baik, menurut Utterman, 1984, jalur pejalan kaki harus mempunyai beberapa kriteria penting, yaitu :
  1. Keamanan, yaitu pejalan kaki harus mudah bergerak atau berpindahan.
  2. Menyenangkan, jalur pejalan kaki harus memiliki rute yang paling pendek, bebas dari hambatan saat menuju lokasi yang dikehendaki.
  3. Kenyamanan, jalur pejalan kaki harus memiliki jalur yang mudah untuk dilalui.
  4. Daya tarik, pada jalur pedestrian diberi sesuatu elemen yang menonjol atau menarik perhatian pejalan kaki tanpa membahayakan dirinya.
Dalam beraktivitas manusia memerlukan ruang untuk bergerak yang terbatasi oleh batas-batas semu. Menurut Fisher (dalam Sarwono, 1992) disebutkan bahwa ruang bergerak yang dibutuhkan manusia disebut Personal space yaitu merupakan batas atau jarak semu disekeliling diri. Dimana masing-masing batas akan saling tumpang tindih apabila ruang yang tersedia tidak tercukupi dan terjadi kepadatan. Personal space terbagi dalam empat kategori yaitu (Sarwono, 1992) :
  • Jarak Intim : ruang atau daerah pribadi yang berjarak 0-0,5 m
  • Jarak Personal : ruang atau daerah pribadi yang berjarak 1,5 – 3 m merupakan jarak untuk percakapan antar orang yang sudah akrab.
  • Jarak Sosial : ruang atau daerah sosial yang berjarak 1,4 – 4 m merupakan jarak untuk hubungan yang bersifat formal
  • Jarak Publik : ruang atau daerah publik yang berjarak 4 – 8,5 m
Perubahan fisik yang terjadi ini dapat mempengaruhi pola tingkah laku manusia dan kenyamanannya, hal mana lingkungan fisik ini dapat (Lynch,
1986:9) :
  1. Lingkungan fisik dapat menentukan tingkah laku manusia
  2. Lingkungan fisik memberi pilihan berbeda tingkah laku manusia
  3. Lingkungan fisik dapat menghambat tingkah laku manusia

Tinjauan Pustaka Ruang Terbuka

Capture
Ruang terbuka publik dalam pengertian perancangan kota merupakan ruang luar yang dipergunakan sebagai sarana penduduk kota dalam beraktivitas. Ditinjau dari elemen-elemen pembentuknya terdiri dari seluruh lansekap yang ada, seperti yang didefinisikan oleh Hamid Shirvani (1985) yaitu seluruh lansekap (all landscape), jalan, trotoir dan semacamnya (hardscape), taman-taman umum dan ruang rekreasi di area perkotaan. Dikatakan bahwa elemen-elemen dari ruang terbuka adalah termasuk taman-taman (parks) dan lingkungan umum (squares), ruang hijau kota seperti pepohonan, bangku-bangku, tumbuh-tumbuhan, air, penerangan, paving, kios-kios, pancuran minum, patung, jam dan sebagainya yang ada didalamnya termasuk juga jalur pejalan kaki, tanda- tanda dan fasilitas-fasilitasnya.

Beberapa jenis ruang terbuka tidak dipergunakan untuk kegiatan penduduk kota, jenis ruang terbuka tersebut bersifat pasif artinya bahwa elemen-elemen yang ada dalam ruang membatasi manusia untuk melakukan aktifitas di ruang tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Rustam Hakim (1987) bahwa berdasarkan kegiatannya ruang terbuka terbagi menjadi dua yaitu :
  1. Ruang terbuka Aktif yaitu ruang terbuka yang mengundang unsur-unsur kegiatan didalamnya.
  2. Ruang terbuka Pasif yaitu ruang terbuka yang didalamnya tidak mengundang kegiatan manusia.
Sedangkan menurut fungsinya ruang terbuka berfungsi sebagai tempat bermain, berolah raga, tempat bersantai, tempat komunikasi sosial, tempat peralihan, tempat menunggu, sebagai tempat untuk mendapatkan udara segar dengan lingkungan, sebagai sarana penghubung antara suatu tempat dengan tempat yang lain, sebagai pembatas atau jarak diantara massa bangunan. Fungsi ekologisnya adalah sebagai penyegaran udara, penyerapan air hujan, pengendalian banjir, pemeliharaan ekosistem tertentu dan sebagai pelembut arsitektur bangunan (Rustam Hakim, 1987).

Lebih lanjut ruang terbuka publik lebih ditekankan berupa bentuk lorong linier seperti yang diungkapkan oleh Roger Trancik (1986) dalam bukunya berjudul “Finding Lost Space” dikatakan bahwa ruang terbuka adalah bentuk menerus jalan dan elemen dinding bangunan di sepanjang jalan. Ruang terbuka tersebut berbentuk lorong (corridor). Fungsi lorong ini biasanya sebagai jalur sirkulasi yang menghubungkan dua fungsi atau lebih.

Koridor merupakan suatu ruang memanjang yang linier yang membentuk lorong dan dibatasi oleh dinding dikedua sisinya. Koridor bersifat alami apabila pembatasnya berupa material alami, seperti sungai dll, sedangkan lainnya dibentuk oleh karya manusia seperti jalan dan jalur transportasi kota. Menurut Lukman (1996) suatu koridor di perkotaan biasanya pada sisi kiri kanannya telah berdiri bangunan-bangunan yang berderet memanjang disepanjang ruas jalan tersebut. Keberadaan bangunan-bangunan ini sangat menentukan karakteristik koridor, yang meliputi faktor-faktor arsitektural antara lain :
  • Facade atau wajah arsitektural bangunan yang tampak di depan
  • Figure ground atau hubungan penggunaan lahan untuk ruang terbuka dan masa bangunan
  • Pedestrian ways atau jalur pejalan kaki
Dalam Rapoport (1986) bahwa jalan tersebut pada waktu tertentu dipergunakan untuk aktivitas lain, termasuk didalamnya dipergunakan sebagai jalur pejalan kaki. Jalur pejalan kaki dapat berbentuk trotoar yaitu bagian dari jalan berupa jalur terpisah yang khusus untuk pejalan kaki biasanya terletak disamping jalan yang kegunaannya memisahkan pejalan kaki dengan transportasi kendaraan bermotor.

Dari definisi tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa Ruang terbuka publik adalah seluruh lansekap (all landscape), jalan, trotoir dan semacamnya (hardscape), taman-taman umum dan ruang rekreasi di area perkotaan dapat berbentuk koridor/jalan menerus dengan elemen dinding bangunan di sepanjang jalan. Ruang yang dimiliki ruang terbuka koridor adalah sebatas bangunan-bangunan pembatas ruang. Yang berfungsi sebagai jalur sirkulasi yang menghubungkan dua fungsi atau lebih yang bersifat umum dan menarik kegiatan.

Citra Kota, Path (jalur), Edge (tepian), Node (simpul), Landmark (tetenger)

Capture
Sifat dasar dan karakteristik bentuk kota telah menjadi perhatian bagi para pendidik, profesi dan peneliti untuk mengamatinya. Mereka pada umumnya mempunyai wacana dan persepsi yang berbeda-beda mengenai sifat dasar dan karakteristik bentuk kota. Ungkapan “bentuk kota” adalah terminologi yang sangat teknis yang digunakan oleh para akademisi dan para profesi dari berbagai cabang kajian ilmu perkotaan (urban studies). Mereka masing- masing mempunyai pendekatan yang beragam untuk mengetahui terminologi dan pengertian yang berbeda-beda. Antropologi, Geografi, dan Arsitektur adalah tiga disiplin ilmu yang tertarik di dalam mempelajari hasil fenomena pertumbuhan dan perkembangan suatu kota. Wacana dan kerangka konsep tiga ilmu ini dapat digunakan untuk menjelaskan bentuk struktur fisik dan perkembangan kota dari cabang ilmu lainnya, seperti perencanaan kota (urban planing) dan perancangan kota (urban disain). Kedua cabang ilmu ini mengartikan bentuk kota sebagai struktur bangunan dan ruang yang tangible atau nyata dan sebagai aspek- aspek kehidupan masyarakat yang intangible atau tidak nyata dari suatu kota Bambang Heryanto, roh dan citra kota (2011 ; 13)
Untuk memperlihatkan bentuk suatu kota yang merupakan hasil dari nilai kehidupan , John Brickerhoff Jackson (1984;12) menulis dalam bukunya, “Founding Vernacular Landscape”, bahwa bentuk kota “adalah citra dari kehidupan kemanusiaan kita yaitu kerja keras, harapan yang tinggi dan kebersamaan untuk saling berkasih sayang. “dalam pandangan
ini, kota adalah suatu tempat tinggal manusia yang merupakan menifestasi dari hasil perencanaan dan perancangan, yang dipenuhi oleh berbagai unsur seperti bangunan, jalan, dan ruang terbuka. Dengan demikian, suatu kota adalah hasil dari nilai-nilai perilaku manusia dalam ruang kota yang membuat pola kontur visual dari lingkungan alam.
Walaupun suatu kota akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangan tersebut meliputi beberapa aspek antara lain: fisik, sosial budaya, ekonomi, politik dan teknologi. Perkembangan kota adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Namun sifat dasar dan karakteristik bentuk kota memiliki ciri-ciri dan bentuk tersendiri masing-masing kota. Masing-masing kota di dunia ini memiliki peta, namun jika peta-peta tersebut dibandingkan, perbedaan masing-masing peta kota tidak begitu tampak terlihat karena kebanyakan orang akan memakai kriteria-kriteria lain untuk mengingat identitas, struktur, dan arti kawasan perkotaan daripada peta kota.
Dalam hasil studinya tentang perbedaan tiga kota : Boston, Los Angeles, dan New Jersey di Amerika Serikat; Kevin Lynch (1960) dalam Bambang Heryanto, 2011: 13 menyatakan bahwa suatu citra (Image) kota adalah hasil dari suatu kesan pengamatan masyarakat terhadap unsur-unsur yang nyata dan tidak nyata. Mendasari kesan-kesan masyarakat, Lynch membuat kategori bentuk kota dalam 5 unsur. Dalam mengartikan suatu kota, Lynvch menyatakan kota adalah sesuatu yang dapat diamati – dimana letak jalur jalan, batas tepian, distrik atau kawasan, titik temu, dan tetengernya dapat dengan mudah dikenali dan dapat dikelompokkan dalam pola keseluruhan bentuk kota (Lynch, 1960:47). Sehingga kelima elemen tersebut adalah Path (jalur), Edge (tepian), District (kawasan), Node (simpul), serta Landmark (tetenger).

1. Path (jalur)

path adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan dalam risetnya bahwa jika elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran, dsb. Path memiliki identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun), serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasade gedung, pohon besar, sungai), atau ada belokan/tikungan yang jelas.

2. Edge (tepian)

Edge adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai Path. Edge berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear, misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, sungai, topografi,dsb. Edge lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (Linkage). Edge merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk. Edge merupakam pengakhiran dari sebuah District atau batasan sebuah District dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas : membagi atau menyatukan.

3. Node (simpul)

Node merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas yang lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, atau bagian kota secara keseluruhan dalam skala makro misalnya pasar, taman, Square, dsb.

Ciri-ciri Node :
  • Pusat kegiatan
  • Prtemuan beberapa ruas jalan
  • Tempat pergantian alat transportasi

    Tipe Node :
  • Junction Node, misalnya stasiun bawah tanah, stasiun kereta api utama.
  • Thematic Concentration, berfungsi sebagi Core, Focus, dan simbol sebuah wilayah penting
  • Junction dan Concentration

4. District (kawasan)

District merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan / District memiliki ciri khas yang mirip (baik dalam hal bentuk, pola, dan wujudnya), dan khas pula dalam batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai referensi Interior maupun Eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain).

5. Landmark (tetenger)

Landmark merupakan lambang dan symbol untuk menunjukkan suatu bagian kota, biasanya dapat berupa bangunan gapura batas kota (yang menunjukkan letak batas bagian kota), atau tugu kota (menunjukkan ciri kota atau kemegahan suatu kota), patung atau relief ( menunjukkan sisi kesejarahan suatu bagian kota), atau biasa pula berupa gedung dan bangunan tertentu yang memiliki suatu karakteristik tersendiri yang hanya dimiliki kota tersebut. Sehingga keberadaan suatu Landmark mampu menunjukkan dan mengingatkan orang tentang tetenger suatu kota.

3 unsur penting Landmark :

  • Tanda fisik berupa elemen fisual
  • Informasi yang memberikan gambaran tepat dan pasti
  • Jarak yang dikenali

Adapun kriteria Landmark:

  • Unique memorable
  • Bentuk yang jelas atau nyata (Clear Form)
  • Identiafiable
  • Memiliki hirarki fisik secara visual

Kaitan antara Identitas dan Image

Kita membuat image kita terhadap dunia berdasarkan informasi-informasi dari kepekaan atau indera-indera kita. Image terlahir dari interprestasi manusia, dengan menggunakan daya imagibilitas yang dimiliki manusia. Penginderaan adalah proses pertama yang dilakukan manusia untuk mencari identitasnya, untuk mengenali dan membedakan lingkungannya dari penginderaan tersebut, manusia pun memberikan makna dan perasaan dalam suatu tempat dibutuhkan adanya jejak atau kesan yang diberikan terhadap lingkungan tersebut, karena hubungan yang efektif antara seseorang dengan lingkungan terbentuk dari  “bekas” (Imprints) yang ditinggalkan pada suatu lingkungan. Bekas inilah yang memberikan makna yang akan menghasilkan Image seseorang terhadap suatu lingkungan, memberikan arti dan makna di dalam bentuk suatu interprestasi (Image) , Kevin Lynch What Time is This Place, 1972;163.
Citra bisa terbentuk dengan sendirinya, tapi bisa juga dibuat. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, hal ini serupa dengan identitas. Suatu Image (citra) bisa secara sengaja dibuat atau secara tidak sengaja. Contoh Image yang sengaja dibentuk adalah jika suatu kawasan menyebarluaskan informasi yang mudah ditangkap menjadi suatu Image (baik itu hal yang bersifat faktual atau non-faktual) akan wilayahnya agar diketahui masyarakat secara luas melalui media-media komunikasi. Maka yang terjadi adalah penggunaan dari informasi yang didapatkan oleh suatu individu atau masyarakat dan dijadikan sebagai dasar untuk memberikan interprestasi dalam bentuk suatu Image. Keterbatasan dan perbedaan akan informasi yang masuk membuat seorang pengamat bisa menginterprestasikan suatu daerah menjadi berbeda dengan pengamat lainnya.
Lain halnya jika Image yang terbentuk dengan sendirinya. Ia berasal dari kondisi faktual kawasan tersebut, baik secara fisik maupun non-fisik. Kondisi faktual yang dirasakan dan dialami langsung oleh pengamat memiliki dampak yang lebih tajam dalam pembentukan Image nya, karena lingkungan yang dirasakannya tadi adalah suatu bentuk yang terkait satu sama lain antara kondisi fisik dan manusianya.
Menurut Tito Alfani, Pengaruh Waktu Terhadap Identitas dan Image 2008;20 yang mengutip dari Kenin Lynch, The Image of The City 1960 mengatakan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi image suatu daerah yaitu :
  • Identity, seseorang terlebih dahulu bisa mengidentifikasikan suatu kawasan/tempat tersebut menjadi sesuatu yang spesifik, mengenali dan bisa menemukan perbedaan dengan yang lain (Individuality or Oneness)
  • Strukture, seseorang bisa melihat hubungan-hubungan atau pola dari suatu objek dengan objek lainnya (Pattern Relation)
  • Meaning, objek tersebut harus memiliki makna atau arti, baik itu secara fungsi maupun emosional
Untuk membentuk suatu Image suatu daerah dibutuhkan terlebih dahulu pemahaman tentang identitas kawasan tersebut. Identitas itu sendiri adalah suatu informasi yang terlihat dari kondisi fisik dan non-fisik yang dapat dirasakan, yang memberikan ciri bagi kawasan tersebut. Pengidentifikasian tidak hanya berbentuk interprestasi yang didapat dari apa yang dirasakan tapi juga dari siapa yang mengatur kawasan itu, siapa yang membuatnya, bagaimana pengaturannya dan makna apa yang dimilkinya. Informasi yang didapat dari pengidentifikasian tadi diubah menjadi suatu interprestasi (Image) yang bertujuan memudahkan seseorang dalam memahami atau memberikan makna dalam suatu kawasan. Image yang baik dari suatu tempat adalah sesuatu yang jelas dan mengikutsertakan atau mengajak pengamatnya, mempunyai struktur yang kokoh, fleksibel dan memiliki jangkauan yang luas serta memungkinkan untuk perkembangan dan eksploitasi lebih lanjut Tito Alfani, Pengaruh Waktu Terhadap Identitas dan Image, (2008 ; 18-20).

Sabtu, 14 Februari 2015

Teori Elemen Kota

Teori Elemen Kota menurut Roger Trancik

Figure Ground Theory

Teori-teori figure ground dipahami dari tata kota sebagai hubungan tekstual antara bentuk yang dibangun (Building Mass) dan ruang tebuka (Open Space). Analisis Figure/Ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan (Urban Fabric), serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang perkotaan.

a. pola sebuah tempat

Kemampuan untuk menentukan pola-pola dapat membantu menangani masalah mengenai ketepatan (Constancy) dan perubahan (Change) dalam perancangan kota serta membantu menentukan pedoman-pedoman dasar untuk menentukan sebuah perancangan lingkungan kota yang konkret sesuai tekstur konteksnya Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 79).

b. Fungsi pengaturan

Untuk memahami lingkungan binaan, seseorang harus pula memahami bagaimanakah pikiran manusia bekerja karena pikiran manusia menentukan suatu tatanan dunia. Dalam pikiran tradisional, dunia alam adalah kacau dan tidak tertib (contoh:daerah hutan). Artinya, manusia selalu cenderung untuk menggolongkan, mengatur, dan menghasilkan bagan-bagan kognitif (berdasarkan pengalaman, pengetahuan, termasuk kesadaran mengenai hal-hal dan hubungannya). Pemukiman-pemukiman, bangunann-bangunan, dan pertamanan yang luas adalah hasil dari aktivitas semacam itu.

c. Sistem pengaturan

Suatu lingkungan binaan tidak dapat dirasakan tanpa adanya satu bagan kognitif yang mendasarinya. Beberapa pola pengarah (pola lama dan/atau pola baru) harus ada sehingga suatu bentuk dapat dimunculkan. Bentuk-bentuk tersebut selalu menggambarkan suatu kesesuaian antara organisasi ruang fisik dan organisasi ruang sosial. Pemakaian analisis Figure/Ground sangat berguna dalam pembahasan pola-pola tekstural itu.
Pola tekstur sebuah tempat sangat penting didalam perancangan kota, dan secara teknis sering disebut sebagai landasan pengumpulan informasi untuk analisis selanjutnya. Pola-pola tekstur perkotaan dapat sangat berbeda, karena perbedaan tekstur pola-pola tersebut mengungkapkan perbedaan rupa kehidupan dan kegiatan masyarakat perkotaan secara arsitektural. Artinya, dengan menganalisis pola-pola tekstur perkotaan dan menemukan perbedaan data pada pola tersebut, akan didapatkan informasi yang menunjukan ciri khas tatanan kawasan itu dan lingkungannya. Namun dalam kenyataannya, yang sering terjadi
ketika menganalisis suatu kawasan perkotaan adaah kurang jelasnya pola di tempat tersebut. Oleh karena itu, di dalam kota pola-pola kawasan secara tekstural yang mengekspresikan rupa kehidupan dan kegiatan perkotaan secara arsitektural dapat diklasifikaskan dalam tiga kelompok sebagai berikut :
  • Susunan kawasan bersifat homogen yang jelas, di mana ada hanya satu pola penataan
  • Susunan kawasan yang bersifat heterogen, di mana dua (atau lebih) pola berbenturan
  • Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau
Di dalam tingkat kota Figure/Ground dapat dilihat dengan dua skala, yaitu skala makro besar dan skala makro kecil.

d. Skala makro besar

Dalam skala makro besar, Figure/Ground memperhatikan kota keseluruhannya. Artinya, sebuah kawasan kota yang kecil dalam skala ini menjadi tidak terlalu penting, karena gambar Figure/Ground secara makro besar berfokus pada ciri khas tekstur dan masalah tekstur sebuah kota secara keseluruhannya
image
Sumber : Perncangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd
Gambar Figure/Ground di dalam skala makro besar ( Figure/Ground kota secara keseluruhan )

e. Skala makro kecil

Dalam skala makro kecil, biasanya yang diperhatikan adalah sebuah figure/ground kota dengan fokus pada satu kawasan saja. Artinya, pada skala ini kota secara keseluruhan tidak terlalu penting, karena gambar figure/ground secara makro kecil berfokus pada ciri khas tekstur dan masalah tekstur sebuah kawasan secara mendalam
image
Sumber : Perncangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd
Gambar Figure/Ground di dalam skala makro kecil ( Figure/Ground kawasan secara mendalam)

f. Dua pandangan pokok terhadap pola Kota

Disebuah wilayah yang besar seperti kota, muncul aktivitas-aktivitas sangat luas dan berbeda. Semua aktivitas itu secara umum menggambarkan pilihan yang dibuat berdasarkan seluruh kemungkinan alternatif yang ada. Pilihan yang dibuat cenderung menjadi sah menurut budaya orang-orang yang bersangkutan. Dengan demikian, kawasan perkotaan tidak hanya mengesankan suatu tatanan sebagai bagian dari daerah yang lebih luas, tetapi pemukiman itu sendiri terorganisasikan menurut prioritas-prioritas tertentu. Kedua pandangan pokok tersebut dapat digambarkan sebagai berikut Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 83) :
  • Figure yang figuratif Pandangan pertama ini memperhatikan konfigurasi figure atau dengan kata lain, konfigurasi massa atau blok yang dilihat secara figuratif, artinya perhatian deberikan pada figure massanya.
  • Ground yang figuratif Pandangan kedua ini mengutamakan konfigurasi ground (konfigurasi ruang atau void). Artinya ruang atau void dilihat sebagai suatu bentuk tersendiri. Konfigurasi ruang itu dianggap sebagai akibat kepadatan massa bangunan yang meninggalkan beberapa daerah publik sebagai ground. Ruang publik ini biasanya secara organis sering berkualitas sebagai bentuk yang mampu meninggalkan identitas kawasannya.

g. Solid dan Void sebagai elemen perkotaan

Seperti telah dikatakan, sistem hubungan di dalam tekstur Figure/Ground mengenal dua keompok elemen yaitu, solid dan void. Selanjutnya akan dikemukakan elemen-elemen kedua kelompok tersebut. Ada tiga elemen dasar yang bersifat solid serta empat elemen dasar yang bersifat void Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 98).
image Sumber : Perncangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd
Gambar tiga elemen dasar yang bersifat Solid
image
Sumber : Perncangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd
Gambar empat elemen dasar yang bersifat Void
Tiga elemen solid (atau blok) adalah blok tunggal, blok yang mendefenisi sisi, dan blok medan. Ketiga elemen itu merupakan elemen konkret karena dibangun secara fisik (dengan bahan massa). Paling mudah untuk diperhatikan adalah elemen blok tunggal karena bersifat agak individual. Akan tetapi, elemen ini juga dapat dilihat sebagai bagian dari satu unit yang lebih besar, di mana elemen tersebut sering memiliki sifat yang penting (misalnya sebagai penentu sudut, hirarki, atau penyambung). Lain halnya dengan sifat elemen blok yang mendefenisis sisi yang dapat berfungsi sebagai pembatas secara linear. Pembatas tersebut dapat dibentuk oleh elemen ini dari satu, dua , atau tiga sisi. Lain lagi dengan sifat elemen blok medan yang memiliki bermacam-macam massa dan bentuk, namun masing- masing tidak dilihat sebagai individu-individu, melainkan hanya dilihat keseluruhan massanya secara bersama.
Dalam tekstur Figure/Ground, kecenderungannya adalah memperhatikan elemen konkret yang massif (bersifat blok) saja. Akan tetapi, empat elemen void (ruang) sama pentingnya, walaupun keempat elemen berikut ini lebih sulit untuk dilihat karena semua bersifat abstrak atau kosong (spasial). Tetapi karena keempat eemen ini mempunyai kecenderungan untuk berfungsi sebagai sistem yang memiliki hubungan erat dengan massa, maka elemen-elemen void ini perlu diperhatikan dengan baik pula, yakni sistem tertutup yang linear, sistem tertutup yang memusat, sistem terbuka yang sentral dan sstem terbuka yang linear.
Elemen sistem tertutup linear memperhatikan ruang yang ersifat linear, tetapi kesannya tertutup. Elemen ini paling sering dijumpai di kota. Elemen sistem tertutup yang memusat sudah lebih sedikit jumlahnya karena memiliki pola ruang yang berkesan terfokus dan tertutup. Ruang tersebut dapat diamati pada skala besar (misalnya di pusat kota) maupun di berbagai kawasan (didalam kampung dan lain-lain). Elemen sistem terbuka sentral ada di kota, di mana kesan ruang bersifat terbuka namun masih tampak terfokus (misalnya kawasan sungai dan lain-lain) dalam literatur arsitektur, elemen terbuka kadang-kadang juga diberikan istilah Soft-Space, sedangkan ruang tertutup dinamakan Hard-Space.

Tidaklah cukup jika hanya memperhatikan tujuh elemen solid dan void saja karenaelemen-elemen di dalam tekstur perkotaan jarang berdiri sendiri, melainkan dikumpulkandalam satu kelompok. Oleh karena itu sering dipakai istilah ‘unit perkotaan’. Di dalam kota keberadaan unit adalah penting, karena unit-unit berfungsi sebagai kelompok bangunan bersama ruang terbuka yang menegaskan kesatuan massa di kota secara tekstural. Melalui kebersamaan tersebut, penataan kawasan akan tercapai lebih baik kalau massa dan ruang dihubungkan dan disatukan sebagai suatu kelompok yang mampu menghasilkan beberapa pola dan dimensi unit perkotaan sebagai berikut :
  • Grid
  • Angular
  • Kurvilinear
  • Radial konsentris
  • Aksial
  • organis
image
Sumber : Perancangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd
Gambar pola massa bangunan (solid) dan ruang terbuka (void)

Linkage Theory

Pada teori ini perhatian lebih banyak diberikan pada pola kawasan perkotaan serta bagaimanakah keteraturan massa dan ruangnya secara tekstural (tata ruang perkotaan). Namun demikian, perlu dilihat keterbatasan kelompok teori Figure/Ground karena, di samping memiliki kelebihan, pendekatannya sering mengarah ke gagasan-gagasan ruang perkotaan yang bersifat dua dimensi saja dan perhatiannya terhadap ruang perkotaan terlalu statis. Artinya, dinamika hubungan secara arsitektural antara berbagai kawasan kota belum diperhatikan dengan baik.
Oleh sebab itulah, perlu diperhatikan suatu kelompok teori perkotaan lain yang membahas hubungan sebuah tempat dengan yang lain dari berbagai aspek sebagai suatu generator perkotaan Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 107). Kelompok teori itu disebut dengan istilah linkage (perubungan), yang memperhatikan dan menegaskan hubungan-hubungan dan gerakan-gerakan (dinamika) sebuah tata ruang perkotaan (Urban Fabric). Sebuah linkage perkotaan dapat diamati dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Di dalam bab ini linkage perkotaan akan dikemukakan dalam tiga pendekatan, yaitu:
  • Linkage yang visual
  • Linkage yang struktural
  • Linkage yang kolektif
Kota adalah sesuatu yang kompleks dan rumit, maka perkembangan kota sering mempunyai kecenderungan membuat orang merasa tersesat dalam gerakan di daerah kota yang belum mereka kenal. Hal itu sering terjadi di daerah yang tidak mempunyai linkage. Setiap kota memiliki bayak fragmen kota, yaitu kawasan-kawasan kota yang berfungsi sebagai beberapa bagian tersendiri dalam kota.
Walaupun identitas serta bentuk massa dan ruang fragmen-fragmen itu bisa tampak sangat jelas, orang masih sering bingung saat bergerak di dalam satu daerah yang belum cukup meraka kenal. Kota-kota seperti New York atau Mexico City dan juga kota-kota di Asia telah menggambarkan masalah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa jumlah kuantitas dan kualitas masing-masing bagian (fragmen) di kota tersebut belum memenuhi kemampuan untuk menjelaskan sebagai bagian dalam keseluruhan kota. Oleh karena itu, diperlukan elemen-elemen penghubung, yaitu elemen-elemen linkage dari satu kawasan ke kawasan lain yang membantu orang untuk mengerti fragmen-fragmen kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar.

Linkage yang visual

Dalam Linkage yang visual dua / lebih fragmen kota dihubungkan menjadi satu kesatuan yang secara visual, mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 108). Pada dasarnya ada 2 pokok perbedaan antrara Linkage Visual, yaitu:
  • Yang menghubungkan dua daerah secara netral
  • Yang menghubungkan dua daerah, dengan mengutamakan satu daerah
Linkage visual memiliki 5 elemen yang mana ke 5 elemen tersebut memiliki ciri khas suasana tertentu yang mampu menghasilkan hubungan secara visual, terdiri dari :
  • Garis : menghubungkan secara langsung dua tempat dengan massa (bangunan atau pohon)
  • Koridor : dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) yang membentuk ruang
  • Sisi : menghubungkan dua kawasan dengan satu massa. Mirip dengan elemen garis namun sisi bersifat tidak langsung
  • Sumbu : mirip dengan elemen koridor, namun dalam menghubungkan dua daerah lebih mengutamakan salah satu daerah saja.
  • Irama : menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang
Capture Sumber :http://arsadvent.wordpress.com/teori‐roger‐tranci
Gambar Ilustrasi Lima Elemen Linkage Visual

Linkage yang struktural

Menggabungkan dua atau lebih bentuk struktur kota menjadi satu kesatuan tatanan. Menyatukan kawasan-kawasan kota melalui bentuk jaringan struktural yang lebih dikenal dengan sistem kolase (collage). Tidak setiap kawasan memiliki arti struktural yang sama dalam kota, sehingga cara menghubungkannya secara hirarkis juga dapat berbeda Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 116).
Fungsi Linkage struktural di dalam kota adalah sebagai stabilisator dan koordinator di dalam lingkungannya, karena setiap kolase perlu diberikan stabilitas tertentu serta distabilkan lingkungannya dengan suatu struktur, bentuk, wujud, atau fungsi yang memberikan susunan tertentu didalam prioritas penataan kawasan.
Ada tiga elemen Linkage struktural yang mencapai hubungan secara arsitektural, yaitu :
  • Tambahan : melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya
  • Sambungan : memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasan
  • Tembusan : terdapat dua atau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan akan disatukan sebagai pola-pola yang sekaligus menembus didalam suatu kawasan.
image
Sumber : http://arsadvent.wordpress.com/teori‐roger‐trancik
Gambar Tiga Elemen Linkage yang Struktural dalam Pencapaian Secara Arsitektural

Linkage bentuk yang kolektif

Teori Linkage memperhatikan susunan dari hubungan bagian-bagian kota satu dengan lainnya. Dalam teori Linkage, sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang merupakan kontribusi yang sangat penting. Linkage memperhatikan dan mempertegaskan hubungan-hubungan dan pergerakan-pergerakan (dinamika) sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric). Menurut Fumuhiko Maki, Linkage adalah semacam perekat kota yang sederhana, suatu bentuk upaya untuk mempersatukan seluruh tingkatan kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik suatu kota Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 126). Teori ini menjadi 3 tipe linkage urban space yaitu :
  • Compositional form : bentuk ini tercipta dari bangunan yang berdiri sendiri secara 2 dimensi. Dalam tipe ini hubungan ruang jelas walaupun tidak secara langsung.
  • Mega form : susunan-susunan yang dihubungkan ke sebuah kerangka berbentuk garis lurus dan hirarkis.
  • Group form : bentuk ini berupa akumulasi tambahan struktur pada sepanjang ruang terbuka. Kota-kota tua dan bersejarah serta daerah pedesaan menerapkan pola ini.
image Sumber : http://arsadvent.wordpress.com/teori‐roger‐trancik
Gambar Tiga Tipe Linkage Urban Space menurut Fumuhiko Maki

place Theory

Dalam teori ini, dipahami dari segi seberapa besar tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya, dan sosialisasinya serta lebih kepada arti dan makna sebuah tempat. Analisa place adalah alat yang baik untuk :
  • Memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya.
  • Memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual
Kelemahan analisa place muncul dari segi perhatiannya yang hanya difokuskan pada suatu tempat perkotaan saja. Trancik menjelaskan bahwa sebuah ruang (space) akan ada jika dibatasi dengan sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah tempat (place) kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya daerahnya. Schulz (1979) menambahkan bahwa sebuah place adalah sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Menurut Zahnd (1999) sebuah place dibentuk sebagai sebuah space jika memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Selanjutnya Zahnd menambahkan suasana itu tampak dari benda konkret (bahan, rupa, tekstur, warna) maupun benda yang abstrak, yaitu asosiasi kultural dan regional yang dilakukan oleh manusia di tempatnya.
Madanipuour (1996) memberikan penjelasan bahwa dalam memahami tempat (place)
dan ruang (space) menyebut 2 aspek yang berkaitan :
  • Kumpulan dari bangunan dan artefak ( A Collection of Building and Artifacts).
  • Tempat untuk berhubungan sosial ( A Site Social Relationship)
Selanjutnya menurut Spreiregen (1965), urban space merupakan pusat kegiatan formal suatu kota, dibentuk oleh facade bangunan (sebagai enclosure) dan lantai kota. Jadi sudah sangat jelas bahwa sebuah jalan yang bermula sebagai space dapat menjadi place bila dilingkupi dengan adanya bangunan yang ada di sepanjang jalan, dan atau keberadaan landscape yang melingkupi jalan tersebut, sebuah place akan menjadi kuat keberadaannya jika didalamnya memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya.