Ruang Jalan
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Jaringan jalan merupakan salah satu pembentuk struktur kota, menjadi aspek penting dalam pembangunan wilayah, ekonomi, sosial dan politik. Melalui fungsinya sebagai sarana transportasi, jaringan jalan memiliki keterkaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan perkotaan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyatakan manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Ruang manfaat jalan hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. Trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.
Badan jalan hanya diperuntukkan bagi pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan. Saluran tepi jalan hanya diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air agar badan jalan bebas dari pengaruh air. Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang publik kota yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan.
Tiap ruas jalan memiliki bagian-bagian jalan, dimana masing-masing memiliki fungsi khusus. Bagian-bagian jalan terdiri dari:
1. Ruang manfaat jalan
Adalah ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas (dengan atau tanpa jalur pemisah), bahu jalan dan jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak dibagian paling luar dari ruang manfaat jalan yang digunakan untuk mengamankan bangunan jalan.
2. Ruang milik jalan
Adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keleluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang.
Menurut Moughtin (1992), jalan adalah garis komunikasi yang digunakan untuk melakukan perjalanan di antara dua tempat yang berbeda, baik menggunakan kendaraan maupun berjalan kaki. Jika disebut jalur, jalan adalah
cara untuk menuju akhir tujuan atau perjalanan. Jalan merupakan permukaan linier dimana pergerakan terjadi di antara dua tempat, sehingga dapat dikatakan fungsi jalan adalah menjadi penghubung antara dua bangunan, penghubung antara dua jalan dan penghubung antara dua kota. Pendapat ini diperkuat oleh Carr (1992), yang mengatakan bahwa jalan adalah komponen dari sistem komunikasi kota sebagai sarana pergerakan benda, masyarakat dan informasi dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Ruang Publik (Public Space)
Pengertian ruang publik adalah suatu tempat umum dimana masyarakat melakukan aktivitas rutin dan fungsional yang mengikat sebuah komunitas, baik dalam rutinitas normal dari kehidupan sehari-hari, maupun dalam perayaan yang periodik (Carr, 1992). Seiring dengan perkembangan zaman, ruang publik baik pada zaman dahulu maupun pada saat sekarang tetap berfungsi sebagai tempat bagi masyarakat untuk bertemu, berkumpul dan berinteraksi, baik untuk kepentingan keagamaan, perdagangan maupun membangun pemerintahan.
Dalam tata guna lahan atau pemanfaatan ruang wilayah/area perkotaan, yang dimaksud dengan ruang publik adalah ruang terbuka (open space) yang dapat diakses atau dimanfaatkan oleh warga kota secara cuma-cuma sebagai bentuk pelayanan publik dari pemerintah kota yang bersangkutan demi keberlangsungan beberapa aktivitas sosial warganya.
Menurut bentuk dan aktifitas yang terjadi pada ruang terbuka, Lynch (1987) mengkategorikannya menjadi 2 (dua), yaitu lapangan (square) dan jalur/jalan (the street). Ruang terbuka, baik berupa lapangan maupun koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen rancang kota yang sangat penting dalam pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial (Shirvani, 1985).
Ruang publik yang berbentuk ruang terbuka dapat digunakan sebagai wahana rekreasi, paru-paru kota, memberikan unsur keindahan, penyeimbang kehidupan kota, memberikan arti suatu kota dan kesehatan bagi masyarakat kota. Ruang publik juga bermanfaat untuk melayani kebutuhan masyarakat sebagai sarana rekreatif maupun sebagai tempat untuk melakukan interaksi dan kontak sosial dalam kehidupan masyarakat. Demi untuk menjamin kepentingan sosial bagi semua golongan masyarakat maka semestinya semua ruang publik tersebut adalah milik pemerintah kota.
Keberadaan ruang publik pada suatu kawasan di pusat kota sangat penting artinya karena dapat meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan baik itu dari segi lingkungan, masyarakat maupun kota melalui fungsi pemanfaatan ruang di dalamnya yang memberikan banyak manfaat. Dalam pengembangan ruang publik dalam konteks perkotaan perlu memperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh didalamnya. Sebagai suatu ruang publik, perlu diketahui karakteristik pemanfaatan ruangnya agar tercipta ruang luar yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan tersebut selain berupa aktivitas juga mempertimbangkan karakteristik ruang dan ketersediaan sarana pendukungnya. Bagaimana ketiga faktor tersebut (aktivitas, karakteristik ruang
dan sarana pendukung) dapat saling mendukung agar terjadi kesesuaian pada tiap fungsi pemanfaatannya sehingga dapat dijadikan sebagai arahan pengembangan ruang publik pada umumnya.
Ruang publik sebagai ruang yang dapat diakses oleh setiap orang dan dengan sendirinya harus memberikan kebebasan bagi penggunanya. Sedang menurut Lynch dan Carr (1981), penggunaan ruang publik sebagai ruang bersama merupakan bagian integral dari tata tertib sosial, sehingga perlu adanya pengendalian terhadap kebebasan tersebut. Pengendalian dalam penggunaan ruang publik berkaitan dengan toleransi akan kepentingan orang lain yang juga menggunakan ruang publik tersebut.
Ruang Jalan sebagai Ruang Publik
Menurut Spurrier dalam Bishop (1989), jalan tidak dapat dipertimbangkan hanya sebagai jalur kendaraan, tetapi secara keseluruhan menjadi bagian integral kehidupan manusia. Dan Budiharjo (2005), mengatakan bila jalan direncanakan hanya berdasarkan anggapan akan fungsinya, maka akan menutup peluang untuk memanfaatkan jalan sebagai ruang untuk beraktivitas. Lewelyn–Davies (2000), menguraikan bahwa pada setiap perencanaan sebuah jalan timbul pertanyaan ”apa yang dapat terjadi di jalan ini?”. Selanjutnya Lewelyn–Davies mengungkapkan dari fungsi awal jalan sebagai jalur penghubung, muncul kegiatan lain di sepanjang jalan tersebut, namun harus dilihat pula dari beberapa aspek lainnya, seperti peranan jalan itu sendiri dari sudut pandang masyarakat, tipe dari bangunan disekitarnya serta penataan landscape yang mendukung.
Appleyard (1981), mengungkapkan bahwa jalan adalah pusat sosial kota dimana masyarakat berkumpul, tapi juga sekaligus merupakan saluran pencapaian dan sirkulasi. Ditambahkan oleh Jacobs (1993) bahwa jalan yang baik mendorong partisipasi, masyarakat berhenti untuk berbicara atau mungkin mereka duduk dan melihat, sebagai peserta pasif, menerima apa yang ditawarkan jalan.
Maka dapat disimpulkan bahwa jalan merupakan sarana untuk melakukan perpindahan dari suatu tempat menuju pada suatu tempat, dari satu titik menuju ke titik lainnya. Namun jalan merupakan suatu arena kegiatan sosial pula, sebagai pintu gerbang ruang privat manusia menuju ke ruang dengan dimensi yang lebih luas yaitu masyarakat/publik.
Lebih lanjut Rapoport (1977) menjelaskan bahwa terjadinya aktifitas di suatu lingkungan termasuk ruang publik kota dapat dianalisa dalam empat komponen yaitu:
- Aktifitas.sesungguhnya (makan, berbelanja, minum, berjalan);
- Aktifitas spesifik untuk melakukannya (berbelanja di bazaar, minum di bar, berjalan di jalan, duduk di lantai, makan bersama orang lain);
- Aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi yang mana menjadi bagian dari sistem aktivitas (berbelanja sambil bergosip, pacaran sambil jalan-jalan);
- Aktifitas simbolik (berbelanja sebagai konsumsi yang menyolok, memasak sebagai ritual, cara menegakkan identitas sosial).
Rapoport kemudian juga menyatakan bahwa aktifitas sesungguhnya (activity proper) dan aktifitas spesifik (specific activity) merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” sedangkan aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi (activity additional, adjacent and associationed) dan aktifitas simbolik (symbolic activity) merupakan perwujudan “fungsi laten”. Aktifitas tambahan, berdampingan atau terassosiasi dan aktifitas simbolik inilah yang membentuk “citra” suatu tempat.
Kegiatan di ruang terbuka publik di pusat kota merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” (ruang terbuka sebagai pusat interaksi sosial budaya masyarakat dan fungsi ekologis kota, pedestrian dan jalan sebagai linkage system) dan juga fungsi laten (ruang terbuka sebagai aktifitas ekonomi dan jalan/pedestrian sebagai tempat aktifitas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat). Terjadinya aktifitas tersebut sebagai perwujudan fungsi manifestasi dan laten dalam ruang publik sehari-hari yang saling bercampur baur antara satu aktifitas dengan aktifitas lainnya dan saling mempengaruhi, yang dilakukan oleh sekelompok orang atau kelompok yang mempunyai persepsi atau nilai-nilai sama atau mirip dan melakukan suatu rangkaian kegiatan atau perilaku tertentu untuk makna dan tujuan yang telah disepakati (Rapoport, 1977).
Jika dikaitkan dengan ruang jalan, maka jalan dengan fungsi manifestasinya sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan antara dua tempat yang berbeda, dan jalan memiliki fungsi laten sebagai tempat beraktifitas sosial, tempat berhubungan antar masyarakat, masyarakat sebagai peserta aktif maupun pasif yang mungkin hanya duduk atau melihat apa yang ditawarkan oleh jalan tersebut.
Ruang publik ditinjau dari aspek fisik
Menurut Shirvani dalam urban design dikenal enam elemen fisik yang digunakan untuk membuat kebijakan, rencana, panduan design dan program. Namun dalam penelitian ini akan ditekankan pada empat elemen fisik yang paling berkaitan dengan subyek penelitian. Elemen fisik tersebut antara lain sistem keterkaitan ruang (sirkulasi, aksesibilitas dan parkir) Jalur pejalan kaki (pedestrian ways), aktifitas penunjang (activity support), street furniture.
Salah satu fungsi urban space adalah sebagai sebagai simpul kegiatan. Fungsi ini memiliki keterkaitan yang erat dengan pola sirkulasi transportasi kota. Oleh karenanya urban space yang memiliki fungsi ini harus memperhatikan aspek aksesibilitas sarana transportasi serta pemberhentiannya (perparkiran), sekaligus memenuhi tuntutan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki pengguna jalan maupun urban space tersebut.
Ketersediaan jalur sirkulasi dan area parkir merupakan elemen penting bagi suatu kota dan merupakan suatu alat ampuh untuk menata lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat menjadi alat kontrol bagi pola aktivitas penduduk kota dan mengembangkan aktivitas tersebut. Selain mampu menampung kuantitas perjalanan, sirkulasi di harapkan juga memberikan kualitas perjalanan melalui experiencenya (Davit dan Kulash dalam Naupan, 2007). Dan sirkulasi yang baik (dalam konteks transportasi/lalu-lintas) memiliki beberapa indikator, antara lain kelancaran, keamanan dan kenyamanan.
Sirkulasi dapat dikelompokkan sesuai dengan pelaku, sesuai dengan pembagian tempat/areanya maupun sesuai pola yang dibentuk sirkulasi itu sendiri. Sirkulasi menurut tempat/area dapat dibagi menjadi dua:
- Sirkulasi outdoor yaitu sirkulasi yang terjadi pada ruang luar suatu bangunan atau sirkulasi di luar suatu bangunan.
- Sirkulasi indoor yaitu sirkulasi yang terjadi di dalam bangunan itu sendiri.
Sirkulasi menurut pelakunya dibagi menjadi dua (Ashihara,1986) yaitu:
- Sirkulasi manusia yaitu sirkulasi yang dilakukan oleh manusia. Sirkulasi yang dilakukan manusia dapat terjadi pada outdoor atau indoor.
- Sirkulasi kendaraan yaitu sirkulasi dari kendaraan sebagai sarana transportasi. Umumnya sirkulasi kendaraan banyak melibatkan mengenai penataan ruang untuk parkir. Sirkulasi untuk parkir juga dapat terjadi di outdoor atau indoor.
Sirkulasi menurut polanya (Ching, 1990) dibagi menjadi:
- Sirkulasi dengan pola terpusat, yaitu sirkulasi dengan pola menuju ke pusat sebagai tujuan utama.
- Sirkulasi dengan pola linier, ysitu sirkulasi yang membentuk suatu garis yang menghubungkan tempat yang satu ke tempat lain.
- Sirkulasi dengan pola radial, yang merupakan perkembangan dari sirkulasi linier.
- Sirkulasi dengan pola cluster, yaitu sirkulasi dengan pola yang membentuk persamaan kriteria seperti sirkulasi dengan satu pintu masuk utama
- Sirkulasi dengan pola grid, yaitu sirkulasi yang membentuk modul- modul tertentu.
Sedangkan perparkiran merupakan unsur pendukung sistem sirkulasi kota, yang menentukan hidup tidaknya suatu kawasan. Perencanaan tempat parkir harus memperhatikan hal-hal berikut:
- Keberadaan strukturnya tidak mengganggu aktifitas di sekitarnya, mendukung kegiatan street level dan menambah kualitas visual lingkungan.
- Pendekataan program penggunaan berganda dengan cara time sharing. Satu lokasi parkir dapat digunakan secara bergantian untuk beberapa lembaga. Misalnya, pagi untuk parkir karyawan perkantoran, pada malam hari atau pada waktu hari libur area parkir tersebut dapat digunakan oleh pengguna urban space.
- Lokasi kantong parkir seyogyanya ditempatkan pada jarak jangkau yang layak bagi para pejalan kaki. Sistem perletakan parkir diharapkan dapat secara maksimal mempersingkat jarak jalan kaki menuju jalur pedestrian.
Dan menurut PP No 41 tahun 1993 tentang Standar Angkutan Jalan, parkir yang disyaratkan adalah:
- Ruang parkir mobil diasumsikan 4,8 x 2,3 m.
- Dilarang parkir dijarak 50 m dari penyeberangan.
- Parkir tidak diperbolehkan di badan jalan kolektor dan lokal.
Area parkir seyogyanya membutuhkan ruang yang cukup sehingga kendaraan bermotor mempunyai ruang yang cukup untuk parkir dan keluar dari area parkir tanpa harus berdesakkan/terganggu dengan kendaraan lain yang juga akan parkir. Selain itu juga perlu diperhatikan ruang tambahan dari pintu bukaan mobil apabila pengguna kendaraan roda empat keluar dari mobilnya.
Tipe tata letak parkir, baik di tepi jalan, pada lahan parkir atau garasi dapat dibagi menjadi parkir sejajar, membentuk sudut serta parkir tegak lurus dengan tepi jalan atau dinding. Pilihan tergantung pada bentuk dan ukuran daerah yang tersedia, rencana sirkulasi serta jalan masuk keluar kendaraan.
Parkir sejajar dengan jalan umumnya diperuntukkan di tepi jalan raya. Ruang parkir sejajar paling sedikit 20 kaki, bila memungkinkan 22 kaki. Apabila waktu parkir cukup singkat, misalnya 15 menit, maka ruang parkir harus lebih panjang sehingga kegiatan datang dan pergi dapat dilakukan dalam satu gerakan.
Tata letak yang normal dan biasanya paling efisien untuk tempat parkir yang lebih besar adalah parkir secara tegak lurus dengan jalan. Hal ini memungkinkan masuk atau ke luar pada dua arah dan penggunaan ruang yang paling ekonomis, dengan tempat parkir selebar 8 kaki 6 inci dan jalan selebar 25 kaki maka tempat parkir dapat dimasuki oleh seorang pengendara dengan mudah tanpa memerlukan gerakan khusus.
Parkir yang membentuk sudut memberikan tempat parkir yang lebih sedikit dibandingkan dengan parkir tegak lurus dalam suatu satuan panjang tertentu, dan memerlukan jalan satu arah, akan tetapi tempat masuknya lebih memudahkan pengendara dan jalan antara biasa lebih sempit, sehingga memungkinkan penggunaan lahan yang terlalu sempit bagi parkir tegak lurus.
Dalam melakukan aktivitasnya, pejalan kaki membutuhkan suatu sarana berjalan kaki yang dikenal dengan sebutan jalur pejalan kaki atau jalur pedestrian. Jalur pedestrian ini menurut Shirvani (1985) adalah elemen yang esensial dalam urban design, dan bukan hanya menjadi bagian dari program beutifikasi. Lebih dari itu, jalur pedestrian menjadi suatu sistem kenyamanan dan elemen pendukung bagi efektivitas retail dan vitalitas ruang–ruang kota. Selanjutnya, dikatakan bahwa jalur pedestrian adalah bagian dari kota dimana orang bergerak dengan kaki, biasanya berada di sepanjang sisi jalan, baik yang direncanakan atau terbentuk dengan sendirinya, yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya.
Berjalan kaki masih merupakan cara bergerak yang paling sering bagi kebanyakan orang. Dengan demikian sistem jalur pedestrian merupakan penghubung penting yang menghubungkan aktivitas–aktivitas yang ada di kawasan suatu kota, elemen ini menjadi sebuah elemen penyusun (structuring element), pergerakan pejalan kaki akan mengikuti jalur yang paling mudah, menghindari halangan-halangan, jalan terdorong oleh daya tarik visual, perubahan ketinggian, tekstur pergerakan. Namun demikian, tetap menuntut pencapaian yang aman. Menurut Spreiregen (1965) menyebutkan bahwa pejalan kaki tetap merupakan sistem transportasi yang paling baik meskipun memiliki keterbatasan kecepatan rata-rata 3–4 km/jam serta daya jangkau yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. Jarak 0,5 km merupakan jarak yang berjalan kaki yang paling nyaman (Uterman, 1984).
Utermann (1984) mendefinisikan berbagai macam jalur pejalan kaki (pedestrian) di ruang luar bangunan menurut fungsi dan bentuk. Menurut fungsinya, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Jalur pejalan kaki yang terpisah dari jalur kendaraan umum (sidewalk atau trotoar) biasanya terletak bersebelahan atau berdekatan dengan jalur kendaraan umum sehingga diperlukan fasilitas yang aman terhadap bahaya kendaraan bermotor dan mempunyai permukaan rata, berupa trotoar dan terletak di tepi jalan raya. Pejalan kaki melakukan kegiatan berjalan kaki sebagai sarana angkutan yang akan menghubungkan tempat tujuan. Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur menyeberang untuk mengatasi/menghindari konflik dengan moda angkutan lain, yaitu jalur penyeberangan jalan, jembatan penyeberangan atau jalur penyeberangan bawah tanah. Untuk aktivitas ini diperlukan fasilitas berupa zebra cross, skyway, dan subway.
- Jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif dan mengisi waktu luang yang terpisah sama sekali dari jalur kendaraan bermotor dan biasanya dapat dinikmati secara santai tanpa terganggu kendaraan bermotor. Pejalan kaki dapat berhenti dan beristirahat pada bangku yang disediakan, fasilitas ini berupa plaza pada taman kota.
- Jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas, untuk berjualan, duduk santai, dan sekaligus berjalan sambil melihat etalase pertokoan yang biasa disebut mall.
- Footpath atau jalan setapak, jalan khusus pejalan kaki yang cukup sempit dan hanya cukup untuk satu pejalan kaki.
- Alleyways atau pathways (gang) adalah jalur yang relatif sempit dibelakang jalan utama, yang terbentuk oleh kepadatn bangunan, khusus pejalan kaki karena tidak dapat dimasuki kendaraan.
Sedangkan menurut bentuknya, jalur pejalan kaki dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- Arcade atau selasar, suatu jalur pejalan kaki yang beratap tanpa dinding pembatas di salah satu sisinya.
- Gallery, berupa selasar yang lebar digunakan untuk kegiatan tertentu.
- Jalan pejalan kaki tidak terlindungi/tidak beratap.
Sucher dalam Ekawati (2006) mengemukakan bahwa jalur pedestrian dapat berfungsi dengan baik bagi pejalan kaki dalam melakukan kegiatannya bila memenuhi beberapa persyaratan berikut ini:
- Kontinuitas, umumnya pejalan kaki di segala usia lebih suka berjalan memutar dimana mereka dapat diketahui saat datang dan pergi. Namun yang terpenting adalah rutenya menerus dan dapat dilakukan sewaktu–waktu.
- Jarak, jalur pedestrian tidak boleh terlalu panjang sehingga pejalan kaki dapat melaluinya bersama beberapa pejalan kaki lainnya. Pejalan kaki harus dapat membuat kontak mata dengan pejalan kaki lain agar terjadi kontak sosial.
- Lebar, beberapa pejalan kaki menyukai berjalan–jalan bersama, jadi sangatlah ideal bila jalur pedestrian memiliki lebar yang cukup untuk dua orang berpapasan satu sama lainnya tanpa canggung untuk menyela suatu percakapan. Jalur pedestrian akan baik dan humanis bila terdapat elemen pendukung atau street furniture.
Dan menurut Utermann (1984), seyogyanya jalur pejalan kaki haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Keamanan (safety), pejalan kaki harus mudah bergerak atau berpindah dan berlindung dari kendaraan bermotor.
- Menyenangkan (convenience), pejalan kaki harus memiliki rute sesingkat mungkin (jarak terpendek) yang bebas hambatan dari suatu lokasi ke lokasi tujuan lain.
- Kenyamanan (comfort), pejalan kaki harus memiliki jalur yang mudah dilalui, seperti halnya kendaraan bermotor berjalan di jalan bebas hambatan.
- Menarik (attractiveness), pada tempat tertentu diberikan elemen yang dapat menimbulkan daya tarik seperti elemen estetika, lampu penerang jalan, lansekap, dll.
Dimensi lebar ruang yang dibutuhkan jalur pedestrian di kawasan perdagangan untuk jalur berkapasitas dua orang minimal 150 cm, sedangkan jalur berkapasitas tiga orang minimal membutuhkan ruang 200 cm. Aktivitas pejalan kaki memiliki lingkup dan pergerakan yang lebih kompleks dari pada jenis transportasi lainnya terutama dikawasan perdagangan. Sehubungan hal tersebut, suatu jalur pedestrian harus berkualitas tinggi dan memberikan keleluasaan ruang gerak atau tempat luas, serta lingkungan yang bebas dari konflik dengan lalu lintas bagi aktivitas pejalan kaki. Keadaan tersebut akan menciptakan pergerakan yang lancar, kegiatan sosialisasi, dan kenyamanan bagi pejalan kaki (Ekawati, 2006).
Selanjutnya adalah pertimbangan akan faktor penarik di sepanjang jalur pedestrian, dan yang terakhir adalah pertimbangan fasilitas publik (perabot jalan) dalam jalur pedestrian seperti bangku, pot tanaman, penerangan, dan lain – lain. Apek jalur pedestrian dapat dibagi dalam tiga kelompok fungsi dan kebutuhan, kenyamanan psikologis, dan kenyamanan fisik.
Dalam aspek teknis, perancangan jalur khusus untuk pejalan kaki harus memperhatikan:
- Penghindaran kemungkinan pejalan kaki berbenturan fisik dengan kendaraan bermotor (jalur tersendiri).
- Pedestrian harus didukung oleh tempat orientasi (point of interest).
- Kapasitas dan dimensi ruang mencukupi sehingga tidak terjadi kontak fisik dengan pejalan kaki lain.
- Peniadaan detail bangunan yang berbahaya, seperti lubang sanitasi, besi penanda, polisi tidur dan sebagainya.
- Mempunyai lintasan langsung dengan jarak tempuh terpendek. f. Didukung dengan pepohonan yang rindang.
Adapun fungsi utama activity support adalah menghubungkan dua atau lebih pusat–pusat kegiatan umum dan menggerakkan fungsi kegiatan utama kota menjadi lebih hidup, menerus dan ramai. Tujuannya adalah untuk menciptakan kehidupan kota yang sempurna/lebih baik yang dengan mudah mengakomodasikan kebutuhan atau barang keperluan sehari–hari kepada masyarakat kota, disamping memberikan pengalaman yang memperkaya pemakaidan memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya budaya urban melalui lingkungan binaan yang baik dan bersifat mendidik (Danisworo dalam Carolina, 2007).
Aktifitas penunjang mencakup segala penggunaan dan aktifitas yang dapat memperkuat urban public space, sebab antara aktifitas dan ruang fisik selalu saling melengkapi. Aktifitas cenderung untuk berada di tempat yang sesuai (cocok) dengan yang dibutuhkan oleh aktifitas tersebut. Saling bergantungan antara ruang dan fungsi adalah elemen penting dalam urban design.
Menurut Whyte (1980), aktifitas penunjang juga dapat meningkatkan elemen desain fisik, terutama ruang terbuka. Ia juga menyatakan pentingnya berjualan makanan (food services), hiburan, dan kegiatan pendorong yang lain sebagai obyek fisik dan obyek amatan.
Menurut Gehl-Gemzoe (1996), keberadaan aktifitas penunjang dalam ruang publik kota dapat dibagi dalam dua kategori, pertama meliputi kelompok informal dan event–event dalam skala kecil seperti musisi jalanan, pertunjukan jalanan, dll. Di lain sisi adalah event–event yang diselenggarakan dalam skala yang lebih besar, pertunjukan yang memerlukan persiapan seperti festival dan aktifitas–aktifitas kebudayaan yang menggunakan ruang publik sebagai wadah aktifitasnya.
Pertunjukan dan aktifitas kebudayaan tersebut adalah atraksi yang menarik untuk ruang publik kota dan akan menjadi magnet tersendiri sehingga mengundang pengunjung dalam jumlah yang sangat besar untuk menikmatinya. Aktifitas–aktifitas ini menjadikan ruang publik kota menarik, amusing dan tak terduga (Gehl-Gemzoe, 1996).
Street furniture menjadi istilah yang digunakan oleh para kalangan praktisi untuk memberikan sebutan bagi perabot jalan atau aksesoris jalan, dimana perletakannya selalu berada di sepanjang jalan raya atau jalan lingkungan yang fungsinya sebagai fasilitas pendukung aktivitas masyarakat di jalan raya. Perabot jalan atau street furniture ini cara perletakannya mempunyai kaidah – kaidah fungsi utama maupun seni.
- Fungsi utama street furniture adalah sebagai petunjuk dan berfungsi sebagai pelayanan terhadap masyarakat pengguna, sehingga diharapkan dengan adanya street furniture, masyarakat dapat nyaman didalam melaksanakan aktivitasnya.
- Fungsi seni, yaitu perletakan street furniture di sepanjang jalan raya mengikuti kaidah–kaidah seni, baik cara perletakan elemen– elemen itu sendiri maupun desain yang diharapkan mempunyai nilai seni tinggi, sekaligus mempunyai kualitas bahan yang baik.
Menurut Rubenstein (1969) dalam suatu ruang kota dibutuhkan elemen– elemen pendukung (street furniture) sebagai berikut:
Ground Cover
Merupakan penutup tanah dan elemen utama yang harus diperhatikan dalam perencanaan jalur pedestrian, menyangkut skala, pola, warna, tekstur, ketinggian dan material, dimana material ini dibedakan menjadi:
- Hard material: paving, beton, batu bata, batu dan aspal.
- Soft material: tanah liat (gravel) dan rumput.
Pemilihan ukuran, pola, warna dan tekstur yang tepat akan mendukung suksesnya desain jalur pedestrian.
Lampu
dimana standar penerangan untuk skala jalur pedestrian secara umum adalah ketinggian maksimum 12 kaki dan penerangan maksimum 75 watt dengan jarak masing–masing penerangan 50 meter.
Signage
berupa tanda–tanda yang diperlukan untuk menunjukkan identitas jalur pedestrian, arah, rambu lalu lintas serta memberi informasi lokasi atau aktivitas (gambar 2.1). Dalam sudut pandang urban design, ukuran dan kualitas desain dari papan iklan pribadi haruslah diatur agar tercipta keserasian, mengurangi dampak visual yang negatif, dan mengurangi rasa kebingunan dan kompetisi antara penandaan lalu lintas dengan penandaan publik. Desain penandaan yang baik dapat menghidupkan streetscape dan difungsikan untuk menginformasikan tentang barang dan layanan individu. Ukuran, bentuk dan warnanya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dilihat
oleh sasaran penerima informasi. Sasaran ini bisa pejalan kaki atau pengendara kendaraan bermotor. Oleh karenanya desain harus memperhatikan skala pergerakannya, cepat atau lambat.
Gambar Contoh Signage Berupa Rambu-rambu Lalu Lintas
Sculpture
berfungsi sebagai eye catching, dibuat untuk mempercantik jalur pedestrian atau menarik perhatian mata (vocal point) pada sebuah ruang terbuka, juga dapat berfungsi sebagai sign/tanda. Sculpture bisa berbentuk patung, air mancur dan abstrak
Gambar Contoh sculpture sekaligus menjadi node dari kawasan
Bollards
Semacam balok–balok batu yang berfungsi sebagai barier atau pembatas antara jalur pedestrian dengan jalur kendaraan yang biasanya terdapat pada pedestrian tipe semi mall.
Bangku
Digunakan untuk mengantisipasi keinginan pejalan kaki untuk beristirahat atau menikmati suasana sekitarnya. Bangku dapat dibuat dari kayu, besi, beton atau batu. Bangku yang nyaman adalah yang memiliki tinggi sekitar 15-18 inch dari lantai dan memiliki sandaran. Bangku dapat dilengkapi dengan kisi–kisi sehingga angin dapat masuk melalui kisi–kisi tersebut. Bangku merupakan tempat duduk primer, sedangkan tempat duduk sekunder dapat berupa rerumputan, tangga, dan tembok pembatas tanaman/tanah. Ketersediaan tembok pembatas ini disarankan 50% dari bangku–bangku yang ada di ruang terbuka tersebut, dan agar dapat dipergunakan sebagai tempat duduk sekunder haruslah memiliki tinggi 40-75 cm dan lebar 40-45 cm. Pengunjung akan lebih memilih bangku kayu, baru kemudian tangga dan pembatas tanaman/tanah. Bangku dengan ukuran 3x6 kaki akan sangat sesuai untuk ruang terbuka, baik digunakan saling berhadapan maupun saling membelakangi. Sedangkan pengunjung yang memilih untuk duduk di tangga dan tembok pembatas karena lebih sederhana. Tangga dan tembok pembatas yang ada haruslah memiliki banyak lekukan atau sudut.
Bentuk, ukuran dan pengaturan tempat duduk sangat berpengaruh terhadap pengunjung ruang terbuka. Orientasi duduk haruslah memungkinkan orang untuk memandang sekitarnya dengan leluasa. Dan perlu juga diperhatikan perlindungannya terhadap sinar matahari. Sedangkan pengelompokan tempat duduk akan memberikan lebih banyak variasi orientasi dan pengguna.
Kios
Peneduh (shelter) dan kanopi, keberadaan kios dapat memberi petunjuk jalan dan menarik perhatian pejalan kaki sehingga mereka mau menggunakan jalur pedestrian dan menjadikan jalur tersebut hidup, tidak monoton. Shelter dapat dibangun berbentuk linier sebagai koridor atau sitting group yang fungsinya dapat berupa tempat untuk istirahat, berteduh dari panas terik atau hujan, maupun untuk halte pemberhentian jalur kendaraan umum. Sedangkan kanopi digunakan untuk mempercantik wajah bangunan dan dapat memberi perlindungan terhadap cuaca.
Gambar Contoh shelter berupa halte pemberhentian kendaaraan umum
Tanaman
Peneduh, disamping untuk mempercantik kawasan dan menjadi pengarah, juga sebagai pembatas jalur pedestrian dengan jalur lalu lintas kendaraan atau parkir. Barier yang dapat mengurangi deru bising serta asap kendaraan bermotor serta peneduh disaat hujan dan mengurangi radiasi panas matahari. Adapun kriteria tanaman yang diperlukan untuk jalur pedestrian menurut Hakim (1993) adalah memiliki ketahanan terhadap pengaruh udara; bermassa daun padat; jenis dan bentuk pohon berupa ngsana, akasia besar, bougenville, dan teh-tehan pangkas; tanaman tidak menghalangi pandangan pejalan kaki maupun pengguna kendaraan.
Jam dan tempat sampah
Dimana penempatan jam dapat menjadi fokus atau landmark, sedangkan tempat sampah perlu untuk menjaga kebersihan jalur pedestrian sehingga pejalan kaki merasa nyaman dan tidak terganggu.
Gambar Contoh design tempat sampah
Elemen pendukung lain
adalah elemen yang memberikan kemudahan jalur pejalan kaki dalam mendukung aktivitas manusia yang melewatinya. Misalnya telepon umum, tempat sampah, kotak pos, bahkan di dekat sitting group sering ditempatkan mesin penjual minuman ringan dan koran.
Street furniture atau perabot jalan/taman merupakan perabot yang penting bagi kelangsungan aktifitas di jalan atau taman. Desain dan penataan street furniture akan membentuk kesan place dan mendukung identitas kawasan.
Ruang publik ditinjau dari aspek sosial
Ruang publik dapat mengakomodasi kebutuhan warganya akan kontak sosial, berteman dan berkomunikasi. Menurut Roy dalam Budiharjo (1997), ruang publik merupakan third place yang melengkapi first place yaitu rumah tinggal dan second place yaitu tempat kerja.
Ruang publik dalam fungsinya sebagai area sosial dapat dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul oleh berbagai macam golongan, dimana kegiatan yang terjadi dapat beragam seperti olah raga dan bermain dengan suasana yang nyaman dan teduh dari vegetasi yang cukup rindang (Nazaruddin, 1996). Selain itu, ruang publik yang dilengkapi dengan street furniture, vegetasi dan unsur pelengkap lainnya juga berfungsi sebagai area sosial karena dapat dimanfaatkan oleh setiap orang dan dapat memberikan keuntungan bagi pengembang kota karena akan mengurangi beban yang harus dikeluarkan untuk mengolah area baru yang berfungsi sebagai area berkumpul masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan.
Menurut Gehl-Gemzoe (1996), aktifitas yang dapat terekam dalam suatu ruang terbuka publik dapat dikategorikan menjadi:
- Aktifitas wajib adalah aktifitas yang wajib dilakukan, dan umumnya berjalan masuk dalam kategori ini.
- Aktifitas pilihan adalah aktifitas yang dilakukan karena memang ingin dilakukan, seperti berdiri, duduk–duduk di bangku taman dan cafe, dan aktifitas rekreatif lain yang biasa ditemui dalam ruang terbuka publik termasuk dalam kategori ini. Pengunjung hanya terlibat dalam aktifitas pilihan ini jika tempat dan kondisinya memungkinkan, pada saat menghabiskan waktu dalam ruang terbuka publik menjadi sangat menyenangkan. Aktifitas ini merupakan aktifitas rekreatif yang wajib diapresiasi dan ruang terbuka publik yang baik akan mampu menyuguhkan kesempatan bagi para pengunjung untuk terlibat dalam aktifitas santai dan menikmati waktu yang mereka habiskan di ruang publik tersebut.
Gehl-Gemzoe (1996) juga berpendapat bahwa salah satu cara untuk menilai kualitas suatu ruang kota bukan dari jumlah orang yang hadir didalamnya melainkan bagaimana mereka menghabiskan waktu di dalam ruang kota.
“One way to judge quality in a city is not to look at how many people are walking, but to observe whether they are spending time in the city, standing about, looking at something, or sitting just enjoying the city, the scenery and the other people.”
Berdasarkan Delianur (2000) jenis aktifitas rekreasi yang biasa terjadi pada ruang terbuka publik yang dilakukan seseorang atau kelompok antara lain aktifitas aktif dan aktifitas pasif. Aktifitas-aktifitas ini dapat mempengaruhi terbentuknya ruang terbuka publik yang dapat dipergunakan seluruh kalangan baik untuk aktifitas bergerak (aktif) maupun aktifiktas tidak bergerak seperti istirahat (pasif).
Aktifitas aktif
Suatu aktifitas yang dilakukan seseorang atau kelompok orang dengan bergerak aktif di dalam ruang terbuka. Kegiatan yang tergolong dalam aktifitas ini adalah rekreasi (jalan-jalan), olah raga dan bermain (Simond, JO, 1976).
1. Olah raga
Kegiatan ini biasa dilakukan di ruang terbuka di pusat kota karena merupakan kebutuhan masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Kegiatan ini hanya bersifat rekreatif saja sehingga sarana olah raga di ruang terbuka tidak perlu mengikuti standart. Ada pun jenis olah raga yang biasa dilakukan di ruang terbuka, antara lain:
- Jogging, yaitu kegiatan lari santai yang umumnya dilakukan di atas perkerasan yang nyaman dengan ukuran sesuai kebutuhan manusia. Umumnya lebar area yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan ini berkisar antara 1,5–2 meter sehingga masih tersisa ruang untuk berpapasan dengan pengguna lainnya.
- Senam, jenis olah raga yang satu ini memerlukan area yang lebih luas karena memerlukan kebebasan untuk bergerak.
- Sepeda, umumnya dilakukan oleh anak–anak hingga orang dewasa dan sangat umum dilakukan di ruang terbuka.
2. Bermain
Aktifitas ini dilakukan oleh anak–anak dan umumnya salah satu tujuan anak–anak untuk datang ke ruang terbuka adalah untuk bermain karena memiliki kebebasan yang lebih dibanding di rumah. Fasilitas bermain merupakan salah satu daya tarik yang umum digunakan bagi pengelola ruang terbuka untuk menarik minat anak– anak. Sedangkan alas dari area bermain pada ruang terbuka adalah pasir, tanah atau rumput.
Bentuk dari ruang terbuka yang dapat menampung aktifitas aktif ini dapat berupa plaza, lapangan olah raga, tempat bermain, penghijauan tepi sungai sebagai area rekreasi, dll.
Aktifitas pasif
Adalah aktifitas di yang dilakukan seseorang atau kelompok orang tanpa banyak berpindah tempat atau tanpa banyak bergerak aktif, seperti berhenti untuk beristirahat, atau duduk-duduk santai. Umumnya aktifitas seperti ini dilakukan di ruang terbuka berupa penghijauan/taman sebagai sumber pengudaraan lingkungan.
Berikut adalah lima kategori orang yang duduk di ruang terbuka:
- Orang yang sedang menunggu.
- Pengunjung yang duduk di tepi ruag terbuka publik hanya sekedar untuk melihat kendaraan dan orang yang melintas.
- Orang yang duduk dan melihat ke dalam ruang terbuka publik, dan ketiga kategori ini umumnya dilakukan oleh perorangan.
- Umumnya orang akan memilih untuk duduk tidak begitu dekat dengan jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki sehingga dapat terbentuk ruang untuk duduk berkelompok.
- Sekelompok kecil pasangan yang mencari tempat yang cukup tertutup dan intim.