ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
1. Pengertian
Arsitektur Tradisional Bali merupakan suatu karya arsitektur yang lahir dari suatu tradisi, kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali yang diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik. Seperti rumah adat, tempat suci (tempat pemujaan yang disebut pura), balai pertemuan, dan lain-lain. Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografi, budaya, adat-istiadat, dan sosial ekonomi masyarakat
a. Arsitektur tradisional Bali merupakan microkosmos dari alam raya sebagai makrokosmos.
b. Arsitektur tradisional sebagai wadah untuk membina dan menempatkan manusia secara
individu maupun kelompok agar selaras dengan alam semesta..
c. Arsitektur tradisional merupakan gambaran alam yang dituangkan dalam analogi – analogi,
dan menyatakan terjemahan prinsip – prinsip kehidupan tradisi yang memberi gambaran
totalitas kehidupan individu dan masyarakat yang ritual.
2. Hubungan Konseptual Antara Manusia, Bangunan, dan Alam.
A. Tinjauan Filosofi :
Sebelum kedatangan pengaruh Agama Hindu, Bali telah memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan setelah adanya pengaruh Hindu. Perbedaan itu tampak pada beberapa hal, misalnya dalam segi tata ruang, tata bentuk, bahan bangunan, serta fungsi bangunan. Pengaruh Hindu ke dalam berbagi aspek kehidupan baik itu ritual, kehidupan, kemasyarakatan, berkesenian, dan lain –lain. Moksantam Jagadhita adalah tujuan akhir ajaran Hindu. untuk mencapai tujuan tersebut maka semua dilakukan, dalam kehidupan rumah tangga maka timbul “ banjar” dari desa yang bertahan hingga sekarang. Di dalam filsafat hidup mengajarkan hendaknya mengharmoniskan diri dengan alam, berbeda dengan ajaran barat : hendaknya menundukan alam. Menurut ajaran Hindu alam mini terdiri atas 5 unsur yang disebut “ Pancamahabhata”, yaitu :
- Pertiwi ( Zat padat )
- Apas ( Zat air )
- Teja ( Sinar )
- Wahyu ( Udara )
- Akasa ( …… )
Dunia dan segenap isinya berasal dari 5 unsur tersebut, dari sinilah muncul beberapa konsep bahwa Bhuwana Agung dan Buwana Alit bersumber satu yaitu : “Panca Mahabhata” ( Parisada Hindu Dharma, 1..68 : 12 )
Filsafat hindu yang lazim disebut “ Tutur Sukma “ atau Tatwajhana. kemoksaan senantiasa mengajarkan tentang hubungan harmonis antara Bhuwana Agung dan Bhuwana alit. di dalam tatwa – tatwa disebut dengan istilah – istilah Pasak Weko, misalnya Panca Dewata di Bhuwana Agung yaitu : Iswara di timur, Brahma di selatan, Mahadewa di barat, Wisnu di utara, dan Ciwa di tengah. Panca dewa di Buwana Alit , yaitu : Iswana di jantung, Brahma di hati, Mahadewa di ……, Wisnu di empedu, dan Ciwa di paunduhan hati.
Dalam arsitektur Bali mengandung filosofis symbol dari Bhuwana Agung dengan Trilokanya, yaitu :
- Bhur Loka ( alam semesta )
- Bwas Loka ( alam manusia )
- Swah Loka ( alam dewa )
Sedangkan dalam Bhuwana Alit ( Badan Manusia ) juga di bagi 3 bagian, disebut “ Tri Angga “ :
- Nistama Angga ( Kaki )
- Madya Angga ( Badan )
Utama Angga ( Kepala ) Arsitektur Bali mengikuti konsep Bhuwana Agung dengan pembagian menjadi 3 bagian, dan memiliki hitungan ganjil seperti 1,3,5,7,9, dan seterusnya.
Bangunan itu sendiri merupakan symbol dari Bhuwana Agung dengan Trilokanya, yaitu:
- Pondasi dan lantai sebagai kaki ( Bhur Loka )
- Kontruksi Vertikal ( tiag dan dinding ) sebagai badan ( Bwas Loka )
- Pondasi atap sebagai kepala ( Swah Loka )
B. Norma Agama dan Kepercayaan :
Dalam proses pembangunan, diawali dengan pengukuran tapak yang disebut dengan nyikut karang. Dilanjutkan dengan caru pengeruak karang yaitu ritual persembahan kurban dan mohon izin untuk membangun. Setelah izin didapat barulah dilakukan peletakan batu pertama yang disebut nasarin. Ini bertujuan untuk mohon kekuatan pada ibu pertiwi agar kelak bangunan menjadi kuat dan kokoh. Untuk pekerjanya termasuk ahli bangunanya dilakukan upacara prayascita untuk memohon bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika semua ritual sudah dilaksanakan barulah pembangunan dimulai. Setelah bangunan berdiri dan sebelum digunakan dilakukan upacara syukuran yang disebut melaspas dan pengurip. Ini bertujuan membersihkan bangunan dari energi-energi negatif dan menghidupkan aura bangunan tersebut.
Masyarakat Bali selalu mengawali dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Semua ritual tersebut pada intinya bertujuan memberi kharisma pada bangunan yang akan dibangun dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.Tata cara penempatan bangunan di dalam dengan pekarangan berpangkal pada konsep Rwa Bhineda, artinya kata Rwa = dua , dan Bhineda = berbeda. artinya dua hal yang selalu ditentangkan ( berlawanan ), seperti halnya Utara >< Selatan, Baik >< Buruk, dan lain sebagainya. dan hal demikian disebut konsep dualisme.
Selain itu juga ada konsep sumbu bumi ( uatra – selatan / “ Kaja – kelod” dengan nilai utama pada „ kaja „ ( arah gunung), nilai nista pada arah kelod ( arah laut ), dan nilai Madya ( diantara gunung dan laut ).Sumbu timur ( kaugin ), barat ( kauh ) sebagai sumbu spiritual, pada lintasan matahari dengan nilai utama di timur, sebagai arah terbitnya matahari, dan nilai nista = barat ( terbenamnya matahari ). pertemuan kedua sumbu tersebut menjadi 9 daerah dengan nilainya masing – masing, yang disebut Nawa Sanga sebagi konsep ritual, dan Sanga Mandala dalam konsep wujud atau jiwa dan raga.
Mereka percaya bahwa bangunan tradisional adalah hidup secara spiritual, bukan benda mati semata, maka selalu diadakan upacara ritual dalam :
- Upacara Pangruak karang dengan maksud memuja terhadap ibu pertiwi agar mengijinkan tempat itu di bangun.
- Upacara Prayascita untuk para Undagi dengan membuat sanggaran tempat menaruh Banten Pejat, agar para undagi diberi keselamatan.
- Upacara Mamakah , Mempulang dan Mempedogingkan dengan maksud memberi korban untuk keselamatan dan kelancaran proses pembangunan.
- Upacara Melaspas sebagai simbolis pencucian.
- Upacara Pengurip dengan maksud menghidupkan kembali bangunan secara spiritual.
Simbol pengurip ini diwujudkan dengan mengoleskan kapur warna putih, darah ( warna merah ), dan arang ( warna hitam ) sebagai unsur Tri Kona, sebagai kekuatan Tri Murti sebagai manipestasi Sang Hyang Wahdi ( Tuhan ), yang memiliki symbol – symbol. symbol – symbol tersebut antara lain :
- Kapur ( warna putih ) sebagai unsur Utpati ( pencipta ) dilaksanakan oleh Dewa Brahma.
- Darah ( warna merah ) sebagi unsur Shiti( pemelihara ) di laksanakan oleh Dewa Wisnu.
- Arang ( warna hitam ) sebagi unsur Pralina ( pengembali pada sumbernya ) yang dilaksanakan oleh Dewa Shiwa.
Agar terjadi keharmonisan antara makrokosmos ( alam semesta ) dan mikrokosmos ( manusia ), di buat aturan – aturan dalam lontar, yaitu :
- Wismakarma : isinya tentang tata cara menjadi arsirtek.
- Hastokosali : isinya tentang ukuran – ukurang matrik dari tangan ( hasta ), dankaki,untuk berbagi bangunan suci,pawongan dan bangunan umum.
- Hastabhumi : isinya tentang tata tertib letak bangunan, denah dan sebagainya.
- Padmabhumi : isinya tentang historis meletakan pura di Bali berdasarkan huruf –huruf sakral.
- Bhama….. : isinya tentang tata cara upacara dalam mendirikan bangunan.
- Dewatatwa : isinya tentang jenis – jenis korban untuk upacara bangunan.
- Fananthaka : isinya tentang klasifikasi kayu untuk bangunan suci, pawongan, dan sebagainya, serta status kayu untuk masing – masing dewa.
C. Alam Lingkungkungan
Manusia dan alam ibarat bayi dan ibunya, manusia tanpa alam akan gersang tanpa keindahan, sebaliknya alam tanpa manusia bagaikan rimba liar dan menakutkan.Salah satu konsep arsitektur tradisional Bali adalah penyelarasan diri dengan alam lingkungan, atap di bentuk selaras dengan gunung, bukit pegunungan yang melatarbelakangi bangunan, kerangka bangunan dari bahan yang ….., sebagai pemindahan alam kepada ruang – ruang konstruksi, lantai dan dinding dibangun dengan bahan batu alam, batu merah, dan bahan alam dengan tujuan menampakan warna aslinya.
Ruang – ruang arsitektur Bali pada umumnya terbuka, kecuali ruang untuk menyimpan barang berharga, dengan ruang terbuka maka pemandangan lebih luas dan lebih menyatu dengan alam.
Bahan – bahan bangunanpun ditempatkan pada posisi awal, batu di bawah, kayu ditempatkan di dataran sebagai tiang – tiang., injuk dan alang – alang yang tebal di tempatkan di atas bukit sebagai atap.Dasar – dasar bumi secara simbolis di wujudkan bentuk kura – kura raksasa yang di belit dengan dua Ular Naga raksasa sebagai pengikat kesetabilan alam.Bentuk hiasan Asti ( kepala gajah ), Karang Guah ( kepala burung ), ditempatkan sesuai dengan kehidupan di alam ini.
3. Pola Bangunan Tradisional Bali
A. Aspek Sosial Budaya
Arsitektur tradisional Bali sebagi hasil karya masyarakat yang mengandung unsur – unsur normative, tampak dalam fungsi bangunan terhadap kelompok organisasi kemasysrakatan ( desa / banjar ) atau kelompok organisasi geneologis ( kelompok warga ,pededian / paibon.), Berdasarkan itu maka terbagi menjadi 3 bagian , yaitu :
- Bangunan yang digunakan sebagai tempat sembahyang ( Pura, Sanggal, Pemerajah )
- Bangunan untuk tempat tinggal ( Grya, Jero, Puri, Umah )
- Bangunan yang digunakan sebagai tempat perrtemuan umum ( Balai, Wantilan, Balai Banjar )
Pengelompokan bangunan menjadi 3 jenis di hubungkan dengan hakikat manusia sebagai mahluk tuhan dan mahluk social, yang berhubunagn secara harmonis.
Konsep keseimbangan kekuatan positif dan negatif di dalam Lontar Civa tatwapurana ada istilah Bhutaya, Manusya, Dewaya. Kekuatan ala mini dapat berubah menjadi kekuatan positif – negatif. Buta ( sebagai pemusnah ),Dewa ( sebagai pelindung ). konsep ini digunakan dalam struktur bangunan yang berpegang pada penghuninya. Penempatan, penggunaan, dan pembuatan bangunan akan memberikan rasa tentram, rukun, dan makmur pada penghuninya, dan sebaliknya dapat membuat sengsara pemiliknya, selain itu konsep Luhur Teben ( huku hilir ), Meral – Propan, Ala – Ayu ( baik – buruk, nista, madya – utama ) utpati, ashiti, Pralina, juga menjadi konsep pertimbangan dalam mendirikan sebuah bangunan.
Jenis jenis Bangunan Berdasarkan Sifat :
1. Bangunan Sakral ( suci )
Ada 2 macam golongan bangunan Bali, yaitu :
- Pura
Pura adalah tempat pemujaan sebagai symbol kebesaran Tuhan YME, pura jenis ini disebut pura khayangan.
Kayangan tiga dan khayangan jagad ( Sad Khayangan )
Termasuk jenis Pura Tiga, yaitu : Pura desa, Puseh, Palem, yang terdapat di dalam suatu wilayah desa. Termasuk jenis Pura Sad Khayangan adalah pura – pura yang besar, biasanya tersebar di seluruh penjuru mata angina. misalnya : Pura Lempuyang, Batukara, Ulu Watu, Bukit Peneglengan, dan pura Besakih.
Setiap Banjar biasanya merupakan kesatuan sosial – budaya yang memiliki : pura yang berfungsi sebagai Ulun Banjar dan pura ulun sawi, ulun danu, dan juga pura Melanting.
Pura – pura lainnya yang ada di Bali adalah Pura Bukit, Pura Beji, Pura Kerajaan yang pernah berkuasa ( Penataran, Dasar di Gelgel)
- Bangunan Tempat Tinggal.( Pawongan )
Tempat tinggal ini berdasarkan status social adat istiadat Bali yang di sebut system : Kewangsaan. Hal ini dapat dibedakan menjadi 4 jenis , yaitu :
a. Griya tempat tinggal dari wanga brahmana..
b. Puri wilayah tempat tinggal raja dan kerabatnya.
c. Jenis tempat tinggal wangsa Khasatria.
d. Umah tempat tinggal golongan Sapta Sadma, yaitu Pasek Beudesa, Kebagan, Gadung,
Pande, Senggu, dan sebagainya
2. Bangunan untuk Kepentingan Umum :
Bangunan untuk kepentingan umum di sebut : Wantilan, biasanya di bangun dalalam suatu komplek desa, kalau di banjar disebut “ Bale Banjar” ( ukurannya lebih kecil dari wankitan )
4. Tata Ruang Bangunan Tradisional Bali :
a. Tata letak pekarangan dan bangunan :
- Bangunan Suci
Letak pura di Bali sekarang ini seakan tidak beraturan, namun dapat diamati dari ciri – cirinya, yaitu :
- Pura yang didirikan di atas bukit adalah jenis pura agung.
- Pura pantai di pantai.
- Pura Khayangan di dataran biasa.
- Pura desa di tengah desa.
b. Bangunan tempat tinggal ( Pawongan )
Ada aturan dalam membuat tempat tinggal pawongan, dan ada Pantangan, di sekitarnya :
- Tidak boleh numbak burung ( Berpapasan dengan gang )
- Di lingkupi oleh pekarangan rumah keluarga ( )
- Di apit oleh pekarangan keluarga lain ( Karang apit )
- Di jatuhi cucuran atap dari rumah orang lain ( Karang kelebon amuk )
- Berada sebelah jalan umum dan berpapasan ( karang negen )
c. Bangunan umum ( Wantilan )
Tidak ada aturan yang pasti.
Ukuran dalam membuat bangunan :
- Ukuran yang di pakai adalah satuan yang ada pada manusia, misalnya : ukuran Depa Agung, Depa Madya , dan Depa Alit ( sebagai ukuran panjang dan lebar pekarangan ).
- Tapak kaki untuk mengukur halaman pekarangan ( Natah Umah ) dan untuk mengukur jarak tembok sekelilingnya.
- Mengukur bangunan di gunakan dengan bagian – bagian tangan, misalnya : Ruas jari, tebal jari, (agul, ngembel, acengkang, alengkat, dan amurti ).
Dalam perkembangannya Arsitektur Tradisional Bali mengalami perkembangan dan pergeseran fungsi yang berpengaruh pada bentuk, struktur, konstruksi, bahan dan cerminan sosial pemiliknya. Seperti wantilan yang dulunya untuk balai pertemuan dan kegiatan adat mengalami perkembangan fungsi yaitu sebagai pendidikan Taman Kanak-kanak, tempat usaha, arena olah raga, dan lain-lain. Kemajuan pariwisata juga berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat Bali sehingga sekarang sulit dibedakan mana puri dan rumah masyarakat biasa. Karena masyarakat biasa yang ekonominya sudah mapan tidak ada larangan membangun tempat tinggal layaknya sebuah puri. Begitu juga puri yang dulunya merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya yang mana penjagaannya sangat ketat dan penuh aturan sekarang ada yang difungsikan sebagai tempat kunjungan wisatawan, justru keluarga puri yang keluar mencari tempat tinggal yang baru.
Pesatnya perkembangan teknologi tidak bisa dipungkiri juga berpengaruh pada Arsitektur Tradisional Bali. Walau arsitektur tradisional yang selalu didasari atas tradisi juga mengalami perkembangan dan selalu mengikuti perkembangan zaman.
Tipologi Bangunan Tradisional Bali
Tipologi Bangunan Tradisional Bali Bangunan perumahan tradisional yang digolongan utama, madya, dan sederhana (nista) masina-masing ada pula tingkatannya. Tipologi bangunan tradisional umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama, madya, dan nista. Tipe terkecil untuk bangunan perumahan adalah sakapat, bangunan bertiang empat. Tipe-tipe membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang Sembilan dan bertiang dua belas. Dari bangunan bertiang dua belas dikembangkan dengan emper ke depan, dan ke samping dan beberapa variasi masing-masing dengan penambahan tiang jajar. Tembok penyengker (batas) pekarangan, Kori dan lumbung dalam bangunan perumahan, tipologinya disesuaikan dengan tingkatan perumahan yang masing-masing mempunyai fungsi sebagai berikut
ada sunduk pengikat.Dalam komposisi bangunan perumahan, sakenem menempati bagian Kangin atau Kelod untuk fungsinya sebagai Sumanggen. Jika sakanem difungsikan sebagai Paon ditempatkan di bagian Kelod Kauh. Sakenem yang difungsikan sebagai Bale Piyasan di Sanggah atau di Pamerajan ada pula yang disederhanakan. Dua tiang di tengah diganti sati tiang dengan canggahzvang panjang disebut Bale Panca Sari. Konstruksi atap dengan kampiah atau limasan. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan tingkat kualitasnya. sumber: I Nyoman Gelebet, 1986
- Sakepat
- Sakanem
ada sunduk pengikat.Dalam komposisi bangunan perumahan, sakenem menempati bagian Kangin atau Kelod untuk fungsinya sebagai Sumanggen. Jika sakanem difungsikan sebagai Paon ditempatkan di bagian Kelod Kauh. Sakenem yang difungsikan sebagai Bale Piyasan di Sanggah atau di Pamerajan ada pula yang disederhanakan. Dua tiang di tengah diganti sati tiang dengan canggahzvang panjang disebut Bale Panca Sari. Konstruksi atap dengan kampiah atau limasan. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan tingkat kualitasnya. sumber: I Nyoman Gelebet, 1986
- Sakatus
- Sakaroras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar