Minggu, 01 Juni 2014

SISTEM KOTA-KOTA DAN PENATAAN RUANG

PERKEMBANGAN DAN PENGELOLAAN FUNGSI KOTA



PERKEMBANGAN DAN PENGELOLAAN FUNGSI KOTA

Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota sangat cepat seiring dengan pesatnya pembangunan yang dilaksanakan. Dewasa ini jumlah penduduk perkotaan di Indonesia semakin meningkat, sudah sekitar 35% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Diperkirakan jumlah ini akan meningkat pada akhir PJP II yaitu sekitar 60% dari jumlah penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Sementara itu distribusi penduduk perkotaan akan semakin meningkat di setiap propinsi, hal ini menunjukkan terjadinya- peningkatan pendapatan yang lebih tinggi yang disertai dengan tingginya diversifikasi kegiatan ekonomi. Pada akhir PJP II diperkirakan akan terdapat 23 kota yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, 11 kota diantaranya berada di luar jawa. Kontribusi yang diberikan oleh kawasan-kawasan perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial sangat berarti, diperkirakan lebih dari 60% dari PDB nonmigas akan berasal dari kawasan-kawasan perkotaan tersebut.

Perkembangan kota dan perkotaan yang pesat menuntut pengelolaan fungsi kota yang lebih baik karena semakin berkembang suatu kota dan perkotaan maka unsur-unsur pembentuknya pun akan semakin kompleks pula. Pada dasarnya pengelolaan kota dititikberatkan pada tinjauan terhadap penataan ruang yang ada mulai dari penyiapan rencana induk kota sampai dengan penyiapan rencana unsur kota, pengaturan pemanfaatannya, pengelolaan pengendaliannya, dan kaitannya dengan aspek-aspek lain terutama dengan aspek-aspek:

pembangunan ekonomi kota;
finansial kota;
kelembagaan kota;
partisipasi swasta; dan
partisipasi masyarakat
Berkaitan dengan pengelolaan kota dan perkotaan tersebut, langkah-langkah yang ditempuh dalam kebijaksanaan pengembangan kota adalah sebagai berikut:
Desentraliasasi pengembangan kota, dalam hal ini jelas bahwa peran daerah harus ditingkalkan dalam pengembangan kota, dengan demikian perlu diberikan kesempatan kepada daerah (Dati II) untuk mengembangkan kota-kota itu sesuai dengan potensi/sumber daya yang ada, hal ini tentunya sejalan dengan kebijaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah.
Peningkatan partisipasi swasta dan masyarakat, sesuai dengan amanat yang termaktub dalam UU No 24 Tahun 1992 Bab III yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban sehubungan dengan penataan ruang tersebut. Dalam pasal 4 ayat 2 UU No.24 Tahun 1992 dijeIaskan bahwa setiap orang berhak untuk berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian perlu diciptakan pola kemitraan antara pemerintah dan swasta maupun masyarakat dalam kegiatan penataan ruang ini.
Meningkatkan akses kepada fasilitas fisik, sosial, ekonomi, dan budaya serta pelayanan, juga menetapkan peraturan dan sistem hukum yang mendukung pembangunan dan pengelolaan kota.
Meningkatkan peranan kota-kota dalam meningkalkan pembangunan nasional dan wilayah. Dalam kaitan ini perlu ditingkalkan kerjasama antar pemerintahan kota dan antara kota dan daerah sekitarnya dalam kawasan andalan.
Sementara itu bagi penataan ruang kawasan tumbuh cepat seperti metropolitan atau kota besar maka diperlukan adanya beberapa strategi pembangunan yaitu:
Adanya rencana strategik yang dikombinasikan dengan rencana anggaran (budget planning). Rencana strategik ini lebih menitikberatkan pada program-program konkret didalamnya termasuk koordinasi lintas sektoral dalam pelaksanaan dan pembiayaan perkotaan. Dalam hal ini unsur manajemen dalam pembangunan perkotaan lebih diulamakan. Dalam hal ini baik partisipasi swasta maupun masyarakat sudah teridentifikasi secara jelas. Karena rencana itu tidak hanya mencakup kegiatan-kegiatan pemerintah kota saja tetapi mempertimbangkan kegiatan-kegiatan aktor lain yang terlibat dalam pembangunan kota. Rencana strategik harus mempunyai tujuan yang jelas dan sudah disepakati bersama baik antar instansi terkait, masyarakat maupun pihak swasta. Rencana yang dibuat harus realistis, transparan dan dapat diukur tingkat pencapaiannya untuk mempermudah evaluasi terhadap efektivitas dan efisiensi dari rencana tersebut. Dengan demikian terlihat perbedaan antara rencana strategik dengan rencana tradisional (comprehensive planning) atau master plan. Rencana yang diperlukan untuk penataan ruang kawasan tumbuh cepat adalah rencana yang mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan, serta operasional.
Perlu diiakukan usaha peningkatan pendapatan daerah melalui pemungulan pajak lokal yang ditargelkan untuk dapat mengganti biaya modal dalam pengoperasiannya. Usaha yang dilakukan antara lain melalui penerapan tarif yang didasarkan pada prinsip biaya penuh bagi pelayanan air minum, pembuangan air limbah, dan sampah.
Perlu peningkatan desentraliasasi dalam penentuan dan pemungutan pajak bumi dan bangunan termasuk peningkatan administrasi pengelolaannya.
Peningkatan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan kota, peran pemerintah dalam hal ini sebagai facilitator dan enabler dalam pengadaan fasilitas kota.
Pengintegrasian strategi transportasi perkotaan untuk mengurangi biaya yang disebabkan oleh kemacetan akibat buruknya penanganan transportasi.
Peningkatan peraturan yang berkaitan dengan kontrof polusi air, udara,dan tanah serta pengurangan kemacetan lalu lintas. Antara lain melalui inspeksi kendaraan, pemasangan alat kontrol emisi kendaraan, peningkatan pajak bahan bakar untuk mengurangi polusi udara.
Perlu peningkatan fungsi dan peran kota-kota kecil yang berada di kawasan metropolitan, yang diharapkan berfungsi sebagai kota penyangga (buffer cities) yang mandiri baik dalam penyediaan lapangan kerja maupun dalam penyediaan fasilitas perkotaan bagi penduduk di wilayahnya.
Dari uraian tersebut maka dapat dilihat bahwa pembangunan daerah dirasakan sangat penting untuk mendukung perkembangan dan pengelolaan kota. Berkaitan dengan dengan hal tersebut, pengembangan wilayah dilakukan harus selaras dengan pembangunan daerah, mengingat pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang terpadu dengan pembangunan nasional yang terpadu dengan pembangunan nasional yang terpadu dengan pembangunan sektoral dalam rangka mengupayakan pemerataan pembangunan antar daerah. Arah kebijaksanaan pembangunan daerah dalam PJP II adalah sebagai berikut :
Memacu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air, daerah, dan kawasan yang kurang berkembang (seperti kawasan timur Indonesia, daerah terpencil, dan daerah perbatasan) dan hasil-hasiInya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Meningkatkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat.
Meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah, hal ini sesuai dengan sasaran pembangunan daerah dalam PJP II sebagaimana diamanatkan dalam GBHN 1993 adaIah mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, serta makin meratanya pembangunan dan hasil-hasiInya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sasaran pembangunan daerah dalam Repeiita VI adalah berkembangnya otonomi daerah yang nyata, serasi, dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II. 

SISTEM KOTA-KOTA DAN PENATAAN RUANG



SISTEM KOTA-KOTA DAN PENATAAN RUANG
 Definisi fungsional mengenai kota atau daerah perkotaan adalah "Pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai status pemerintahan sendiri dan karenanya telah mempunyai batas wilayah administratif, maupun yang belum mempunyai status pemerintahan tetapi memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan serta belum memiliki batas administratif". Suatu daerah disebut sebagai kota atau perkotaan karena pertimbangan aspek-aspek sebagai berikut: 
tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi 
kegiatan utama masyarakatnya di sektor non pertanian
status sosial masyarakat penghuninya heterogen, baik dari segi adat, budaya, dan agama
Dilihat dari jumlah penduduknya, kota-kota atau daerah perkotaan tersebut ada yang termasuk golongan kota metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil:
Megapolitan, adalah kota dengan jumlah penduduk di atas 5 juta jiwa.
Kota raya/metropolitan adalah kota dengan jumlah penduduk antara 1 sampal 5 juta jiwa
Kota besar adalah kota dengan jumlah penduduk antara 500.000 sampai 1 juta jiwa.
Kota sedang adalah kota dengan jumlah penduduk antara 100.000 sampai 500.000 jiwa.
Kota kecil adalah kota dengan jumlah penduduk antara 20.000 sampai 1.00.000 jiwa.
Kota atau daerah perkotaan, direncanakan atau tidak, membentuk suatu sistem karena saling keterkaitannya, baik secara fisik maupun secara sosial ekonomi. Dalam Repelita VI kota atau daerah perkotaan dibagi atas 4 (empat) kelompok berdasarkan fungsi dan pelayanannya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu:
Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan nasionat (PKN). Yang dimaksud adalah kota atau daerah perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan skala nasional, disamping merupakan pintu gerbang bagi kefuar masuknya arus barang dan jasa, juga merupakan simpul perdagangan interrnasional. Kota atau perkotaan yang termasuk klasifikasi ini merupakan pusat pelayanan jasa, produksi, dan distribusi serta merupakan simpul transportasi untuk pencapaian beberapa pusat kawasan atau propinsi. Biasanya yang termasuk golongan kota/perkotaan ini adalah kota-kota besar/metropolitan, disebabkan karena kelengkapan sarana dan prasarana yang dimilikinya.
Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW). Daerah perkotaan atau kota yang mempunyai wilayah pelayanan yang mencakup beberapa kawasan atau kabupaten. Golongan ini biasanya merupakan kota besar dan kota sedang.
Kota atau daerah perkotaan yang berfungai sebagai pusat kegiatan lokal (PKL). Kota atau perkotaan yang termasuk klasifikasi ini adalah yang mempunyai wilayah pelayanan beberapa kawasan dalam lingkup kabupaten dan umunya merupakan kota sedang.
Kota atau daerah perkotaan yang mempunyai fungsi khusus dalam menunjang sektor ekonomi tertentu. Kota atau perkotaan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah yang mempunyai fungsi pelayanan khusus dalam menunjang sektor strategis, menunjang pengembangan wilayah baru atau penyebaran kegiatan ekonomi dan berfungsi pula sebagai daerah penyangga aglomerasi pertumbuhan pusat kegiatan yang sudah ada.
Pengelompokkan kota-kota ini ditujukan untuk dapat merumuskan kebijaksanaan yang lebih terarah dan sesuai dengan setiap kelompok tersebut.
Dari uraian sebelumnya, terlihat bahwa sistem kota-kota atau daerah perkotaan tidak terlepas dari setiap aspek kegiatan penataan ruang karena keduanya merupakan faktor yang saling terkait, yang mempengaruhi satu sama lain. 


P E N A T A A N R U A N G P E R K O T A A N



P E N A T A A N   R U A N G   P E R K O T A A N
Ringkasan 
Kota-kota besar di Indonesia "tidak sehat". Struktur pertumbuhannya cendrung meniadakan ruang terbuka, sedangkan pemukiman terus terdesentralisasi, bergerak menjauh dari pusat kota, menyebar dan menggeser wilayah pertanian di wilayah pinggiran. Proses ini tidak saja kian membebani pengelolaan kota namun juga mengorbankan fungsi ekologis lingkungan dan tanah pertanian di wilayah pinggiran dengan segala dampaknya. Permukimam kumuh, kemacetan, degradasi lingkungan, polarisasi kemampuan masyarakat, serta social unrest adalah sejumlah indikator permasalahan yang secara kumulatif tidak efektif bagi pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat kota dan wilayah pingirannya serta membebani roda pertumbuhan nasional. Transformasi struktur perkonomian Indonesia yang prematur menjadi akar seluruh permasalahan ini sehingga laju urbanisasi menjadi terlampau tinggi di atas kemampuan kota untuk berbenah. Dengan demikian, pengelolaan kota, termasuk penataan ruangnya, tidak dapat lagi dipandang sebagai beban internal kota.

Pendahuluan

Di masa mendatang, fungsi kota sebagai pusat pertumbuhan, titik kontak hubungan dan perdagangan internasional, nodal informasi dan inovasi teknologi menjadi semakin stategis. Selain itu, tetap saja kota akan menjadi ruang yang paling ideal bagi pertumbuhan dan diversifikasi kegiatan ekonomi berbasis sektor industri, jasa dan perdagangan. Wajarlah, dalam menghadapi tantangan global kelak, peran stategis ini harus ditingkatkan.

Hal tersebut masih mungkin bagi Indonesia. Lihat saja komposisi urbanisasi, perbandingan penduduk perkotaan dengan pedesaan masih tergolong rendah, hanya 30 %. Padahal rata-rata penduduk perkotaan di negara-negara yang berpendapatan menengah adalah sekitar 48%, bahkan di negara-negara maju mencapai di atas 70%. Jakarta, meskipun dihuni kurang lebih 9.7 juta jiwa namun hanya menampung + 20 persen penduduk perkotaan, sementara Manila 30 persen, Bangkok 69 persen dan Soul 43 persen . Jadi, dari sisi komposisi penduduk, perkotaan Indonesia masih tergolong aman.

Masalahnya justru terletak pada kecepatan laju urbanisasi yang terlampau tinggi yakni 5,4 % per tahun dalam dekade 1980 . Tidak saja tinggi, namun urbanisasi di Indonesia merupakan hasil proses transformasi struktur ekonomi yang prematur, yang terjadi karena dualislistik pembangunan di Indonesia dalam era Orde Baru. Dualistik pembangunan ini telah menempatkan sektor pertanian sebagai lapangan usaha kelas bawah, gurem, tidak efisien dan tidak "prestigous", sehingga menyebabkan pelepasan tenaga kerja pertanian ke sektor moderen, industri dan jasa, di perkotaan menjadi terlampau cepat. Sehingga meskipun lapangan kerja di sektor moderen ini sangat kompetitif, tetap saja urbanisasi meningkat tajam. Apabila asumsi ini benar, maka transisi komposisi penduduk perkotaan akan meningkat sangat tajam menjadi 42 % pada tahun 2010 dan mencapai 60 % pada tahun 2018 .

Pertumbuhan Kota

Pertumbuhan penduduk yang terlalu pesat dan tersentralisasi di pusat-pusat kota secara simultan telah memberikan beban masalah pengelolaan kota yang muskil dan bahkan "counter produktive" terhadap manfaat "agglomerasi" dan "economic of scale". Karena tekanan masalah yang demikian berat maka kebijaksanaan pengelolaan perkotaan seringkali tidak mampu efisien dan cenderung mengikuti mekanisme pasar yang lebih mengejar maksimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan tanah-tanah kota. Proses ini dapat saja menyebarkan kepadatan penduduk dalam kota dan mendistribusikannya ke wilayah pinggiran, namun sekaligus menciptakan pemekaran fisik kota yang tidak tertata yang justru pada gilirannya menambah beban permasalahan pengelolaan kota itu sendiri.

Pembangunan fisik kota berpola "urban sprawl" telah jauh merambat ke wilayah-wilayah pinggiran bahkan di sebagian besar wilayah perbatasan pembangunan fisik ini telah menyatu dan sulit dibedakan. Permasalahan ini mempersulit penyediakan dan pemelihara fasilitas perkotaan. Tidak saja itu, permukimam pinggiran ini hanya terikat secara administratif dengan wilayah sekitar namun secara fungsional dan spatial telah terintegrasi dengan kota sehingga sedikit sekali mempunyai keterkaitan dengan ekonomi dan sosial pedesaan. Sementara itu, meningkatnya permintaan terhadap tanah di wilayah pinggiran kota ikut mendorong kompetisi penggunaan dan kelangkaan tanah di wilayah tersebut. Kompetisi dan kelangkaan ini secara langsung mengangkat harga tanah sekaligus menempatkan wilayah pinggiran kota sebagai ladang subur usaha spekulan tanah. Tentu saja hal ini akan mendorong percepatan mutasi penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian yang kian hari kian bertambah.

Berkurangnya tanah pertanian karena terdesak oleh perkembangan fisik kota berdampak percepatan fragmentasi pemilikan tanah sehingga luas garapan menjadi semakin kecil dan tidak lagi efisien untuk usaha pertanian. Hal ini menjadi pemicu lebih lanjut pengalihan penguasaan dan penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian yang akhirnya menyebabkan tanah-tanah pertanian dipinggiran kota menjadi semakin rentan terhadap mutasi penggunaan tanah. Pengalihan fungsi penggunaan tanah pertanian ke kegiatan non pertanian di wilayah pinggiran Kota memberikan dampak ekologis yang serius seperti berkurangnya penyediaan air bagi masyarakat kota atau justru kebanjiran di musim hujan.

Selain itu, pola pembangunan fisik kota yang horizontal yang terutama didominasi oleh pembangunan perumahan-perumahan di pinggiran kota secara langsung meningkatkan jumlah masyarakat "Commutter". Kemacetan di jalan raya terutama di waktu pagi dan sore hari terus menjadi-jadi, kian hari kian buruk.

Dalam menghadapi kompleksitas beban permasalahan kota tersebut, pengelolaan perkotaan seyogyanya perlu diselenggarakan secara lebih arif dan efektif. Visi utama pembangunan perkotaan perlu diperioritaskan untuk menciptakan iklim perkotaan yang lebih manusiawi, berwawasan lingkungan dan tidak semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi dan fisik. Kegiatan pembangunan fisik yang selama ini cendrung untuk mengurangi ruang terbuka dan kehijauan kota seyogyanya di evaluasi kembali. Demikian juga, pemerintah kota perlu tetap memberikan perlindungan bagi masyarakat yang kurang mampu. Tingginya polaritas kemampuan untuk memperoleh akses pelayanan dan menikmati hasil-hasil pembangunan yang tersebar dalam berbagai segmen mayarakat terbukti dengan indikasi-indikasi meningkatnya kriminalitas, ketidakperdulian dan gangguan-gangguan sosial lainnya. "Social distress" semacam itu menyebabkan kenyamanan dan keamanan untuk tinggal dan berusaha di dalam kota akan cepat menurun dan semakin menjauh dari maksud dan tujuan pembangunan itu sendiri.

Dinamika perkembangan kota dan urbanisasi tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah internal kota semata-mata melainkan sudah memiliki dimensi yang lebih luas dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial, ekonomi, informasi dan politik secara nasional dan global. Dalam kontek inilah perlu diciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah, pembangunan lingkungan hidup yang layak, serta memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan oleh wilayah dengan tingkat pertumbuhan tinggi terhadap wilayah-wilayah yang lambat pertumbuhannya. Dengan demikian kegiatan – kegiatan perencanaan penataan ruang kota dengan penataan ruang wilayah di sekitarnya tidak pantas lagi dilakukan secara terpisah, seperti yang selama ini dilakukan

Disamping itu, kebijaksanaan pembangunan perkotaan perlu juga diarahkan kepada pembangunan kota-kota baru yang mandiri. Langkah-langkah HHHini sangat penting untuk tujuan desentralisasi dan dekonsentrasi pembangunan kota dan sebagai alat untuk menarik migran potensial yang cendrung ke kota-kota metropolitan. Dengan demikian kota-kota ini dapat berperan dalam membenahi ketimpangan antar daerah serta mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional, oleh karenanya mempunyai arti yang sangat strategis.

Dalam sisi lain, visi pembangunan perkotaan tersebut harus lebih melibatkan peran aktif pihak swasta dan masyarakat karena pada kenyataannya merekalah yang menjadi motor penggerak pembangunan kota. Untuk itu diperlukan peningkatan kemampuan dalam perencanaan dan transparansi dalam pembangunan dan pengelolaan perkotaan agar peran aktif swasta dan masyarakat dapat ditumbuh-kembangkan.

Pengendalian Ruang Kota

Kegiatan penataan dan pemanfaatan ruang kota pada dasarnya adalah kegiatan penataan dan pemanfaatan tanah - tanah perkotaan yang dikuasi oleh masyarakat dan badan hukum. Dengan demikian, diperlukan serangkaian tindakan-tindakan yang melibatkan kegiatan-kegiatan pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah dalam mengendalikan atau mengintervensi mekanisme pasar dalam pemanfaatan tanah yang terikat akan hukum "the highest and best use of land". Secara operasional, upaya-upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang untuk mewujudkan kondisi ideal dari suatu perencanaan tersebut ditempuh melalui mekanisme pengadaan tanah dan pengendalian penggunaan tanah melalui kebijaksanaan perijinan hingga pemberian hak atas tanah.

Wajar, sebagai syarat untuk menjamin berfungsinya rencana tata ruang perkotaan, maka diperlukan sarana pengendalian yang salah satunya adalah mekanisme perijinan dan hak atas tanah. Tentu saja dalam pelaksanaan pemberian ijin hingga penerbitan hak harus menghormati hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian akan tercapai suatu proses yang saling berkesinambungan dalam penataan dan pemanfaatn ruang dimana pemberian perijianan adalah esensi dari upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang.

Penataan ruang perkotaan dapat juga dilaksanakan dengan program antara lain konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah secara konsepsional merupakan langkah yang sangat strategis dalam pengelolaan pembangunan perkotaan, yang antara lain adalah: 1) mempercepat penyediaan dan pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum lainnya, 2). Meningkatkan intensitas penggunaan tanah serta memperbaiki kondisi lingkungan, 3). Menghemat pengeluaran anggaran pemerintah untuk mengadakan tanah dan pembangunan infratruktur dan fasilitas umum, 4). Meningkatkan nilai tanah, 5). Menghindarkan penggusuran masyarakat pemilik tanah dari lokasi asalnya, 6). Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkotaan sekaligus menurunkan ketimpangan sosial yang bersumber dari kondisi permukimam, 7). Memungkinkan terbentuknya sistem perpajakan yang lebih baik dan adil.

Selain program konsolidasi tanah, pemerintah kota sudah saatnya melibatkan partisipasi yang lebih aktif pihak swasta dalam mengembangkan program pembangunan rumah vertikal terutama dengan sistim sewa. Pembangunan perumahan susun vertikal untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah melalui sistim sewa memang terkesan mahal. Namun program rumah susun memberikan dampak jangka panjang yang sangat menguntungkan. Hal tersebut adalah atas beberapa pertimbangan.

Pertama bila separasi ruang menyempit atau gradasi kepadatan penduduk yang menurun tajam dari pusat kota ke wilayah pinggiran maka penyediaan dan pemeliharaan fasilitas umum dapat dilakukan dengan lebih efektif karena lebih terkonsentrasi. Kedua, bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sistim sewa akan lebih efektif dari pada sistim kepemilikan rumah terutama karena mereka tidak mampu memiliki rumah. Selain itu, karena letak perumahan susun berada di dalam kota, maka tambahan beban biaya transportasi bagai masyarakat berpenghasilan rendah akan dapat dihindarkan, sehingga kelompok masyarakat ini mempunyai peluang yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Demikian juga, sudah waktunya pengendalian lebih serius fenomena mutasi penggunaan tanah pertanian ke non-pertanian yang terjadi akibat pemekaran kota. Hal ini penting mengingat lokasi tanah-tanah persawahan sawah berkualitas tinggi justru berada di pinggiran kota-kota besar. Apabila luas minimal tanaman padi untuk komsumsi beras di Indonesia pada tahun 1990 adalah 10.25 juta hektar maka luas ini di tahun 2025 akan meningkat menjadi 13, 170 juta hektar. Padahal, luas tanah sawah di Indonesia justru menurun rata-rata 8.255 hektare per tahun dan lebih dari 80 persen mutasi ini justru terjadi di sekitar kota-kota di pulau Jawa. Sulit dibayangkan dampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia apabila terjadi kelangkaan pangan terutama beras di masa mendatang. Alternatif penciptaan sawah-sawah baru di luar pulau Jawa bukanlah gampang, sama tidak logisnya apabila mengalihkan pola konsumsi beras ke menu pangan non-beras bagi masyarakat Indonesia. 


PENDEKATAN KETERPADUAN SEBAGAI JAWABAN TERHADAP PERMASALAHAN PENATAAN RUANG PERKOTAAN DI MASA MENDATANG


PENDEKATAN KETERPADUAN SEBAGAI JAWABAN TERHADAP PERMASALAHAN PENATAAN RUANG PERKOTAAN DI MASA MENDATANG


PENDAHULUAN
Masa mendatang yang populer disebut dengan milenium ke tiga, bercirikan globalisasi kehidupan sosial-ekonomi, hak azasi manusia, tuntutan desentralisasi dan peran serta masyarakat dalam pembangunan termasuk pembangunan perkotaan. Globalisasi kehidupan sosial-ekonomi yang didukung oleh teknologi khususnya teknologi informasi, akan mengubah arti batas wilayah negara menjadi lebih bebas dari yang terjadi sekarang, dimana kondisi demikian akan membuat daya saing antar negara semakin bergantung pada tingkat efisiensi dan produktivitas wilayah perkotaannya. Dalam konteks ini, kemampuan pengelolaan aspek-aspek kependudukan, teknologi, modal, barang dan jasa, dan informasi oleh suatu kota akan sangat menentukan daya saingnya.

Kemampuan individu kota untuk bersaing dalam menarik investasi, menuntut kemandirian suatu kota yang sangat bergantung dari kebijaksanaan pengembangan desentralisasi dan otonomi daerah yang mantap dimana kemampuan pengelolaan kota (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian) oleh stakeholders' kota (pemerintah, masyarakat dan swasta, serta asosiasi profesi pemerhati), sangat diperlukan. Kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan memberi ruang gerak yang cukup luas bagi peran serta masyarakat dan swasta dalam gagasan, pelaksanaan pembangunan, maupun pengendaliannya. Peranan masyarakat dan swasta yang dominan tersebut membutuhkan pola kemitraan yang tangguh dan saling menguntungkan satu dengan lainnya, serta resiko ditanggung bersama.

Perkembangan kemampuan individu kota di satu sisi akan meningkatkan efisiensi, namun di sisi lain secara makro dapat menimbulkan kocendenungan terbentuknya polarisasi ke beberapa kota metro sehingga kurang mendorong pemerataan perkembangan antar wilayah. Disamping itu hubungan antar kota dan desa juga terpolarisasi ke kota, dimana ekonomi kota dan desa kurang saling menguatkan. Dengan demikian, disamping optimasi kemampuan individu kota, sinerjitas pengembangan sistem perkotaan termasuk diantaranya sistem kota-desa perlu pula ditingkatkan.

Kondisi ekstemal yang sangat berpengaruh pada sast ini adalah krisis ekonomi yang dimulai dari krisis moneter. Daya tahan ekonomi nasional sangat dipengaruhi struktur ekonomi nasional yang kurang kuat dimana resource base industri manufaktur banyak tergantung bahan import, bukan dari bahan lokal seperti hasil pertanian (agroindustri). Oleh karenanya, aktivitas ekonomi perkotaan sangat terpukul karena tidak berbasis struktur yang kuat, termasuk dukungan struktur fungsional kota-kota yang tangguh.

Penataan ruang kawasan perkotaan hendaknya mampu mendorong pemanfaatan ruang yang optimal dan tidak koku, tetapi tegas dalam pembentukan struktur kawasan perkotaan, serta dinamika kegiatan pembangunan perkotaan bersifat global yang berwawasan lingkungan baik dilaksanakan oleh pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat secara menyeluruh sehingga dicapai kualitas ruang kehidupan perkotaan yang serasi, selaras, seimbang, layak, berkeadilan serta menunjang pelestarian nilai-nilai sosial budaya.

Pembangunan Kawasan Perkotaan, diarahkan secara berencana dan terpadu baik dilihat dari sistem perkotaan maupun secara individu. Sasaran yang harus dicapai harus didorong oleh kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dengan pendayagunaan sumber daya alam yang optimal; dan didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, produktif dan profesional; iklim usaha yang sehat; serta pengembangan sumber daya boatan dengan pemanfaatan ilmu dan teknologi yang tepat guna, berhasil guna dan berdaya guna serta terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup dan keserasiannya dengan sistem sosial-budaya.

Pemerintah telah memberlakukan peraturan perundangan tentang Penataan Ruang yaitu Undang-Undang No. 24/1992, demikian pula upaya pemerintah dalam melaksanakan perimbangan peran dan tanggung jawab pembangunan wilayah di perkotaan, yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat. Hal ini semua membutuhkan operasionalisasi di daerah dan antar daerah. Kiranya masih dibutuhkan pembahasan-pembahasan bagaimana mempertajam hal tersebut agar ruang kota dapat ditata sesuai jiwa otonomi, namun dapat sekaligus mewujudkan sinerjitas perkembangan antar kota.

TANTANGAN KE DEPAN DALAM PEMBANGUNAN PERKOTAAN Di masa yang akan datang, kita mengharapkan terwujudnya perkembangan setiap kota di wilayah nasional secara berkelaniutan, dan menjadi tempat permukiman dan usaha, dimana seluruh penghuni merasa memiliki (citizenship city), sehingga dapat menjadi kota yang memberikan keamanan, kenyamanan dan kesejahterean bagi seluruh penghuninya.

Memperhatikan pelaksanaan pembangunan perkotaan yang ada saat ini dan harapan sebagaimana tersebut di atas, maka pembangunan kota membutuhkan pendekatan-pendekatan yang dapat menciptakan suatu lingkungan kerja dan hunian yang terpadu, berkeadilan dan berkelanjutan, mempunyai daya saing serta adanya rasa kepemilikan warga masyarakat yang tinggi.

Untuk itu kota harus dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah sekitar dan mempunyai jaringan dengan kota-kota yang lain. Pembangunannya dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan dari "masyarakat kota untuk masyarakat kota" dimana seluruh pelaku pembangunan berperan saling menguatkan, meningkatkan kinerja Kota.

Pemanfaatan sumber daya perkotaan diharapkan dapat dilakukan secara efisien dan bertanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas perkotaan (urban productivity) dalam kerangka pengembangan ekonomi perkotaan, sehingga tetap dapat memelihara keberlangsungan pembangunan perkotaan secara berkelanjutan (sustainable urban development).

Dari pengalaman perkembangan kota-kota dapat disimpulkan bahwa hal-hal tersebut dapat diwujudkan apabila pembangunan kota bercirikan prinsip-prinsip berikut:

Pembangunan perkotaan dilakukan secara demokratis oleh seluruh stakeholders kota;
Pemanfaatan sumber daya perkotaan secara lebih efisien yang akan menjamin keseimbangan lingkungan perkotaan yang baik dan berkelanjutan (environmentally sustained);
Program pembangunan perkotaan yang bertumpu pada budaya lokal yang spesifik untuk masing-masing individu kota, sehingga memiliki ketahanan dan kota berkembang atas landasan budaya dan mempunyai jab diri yang mantap (culturally vibrant) dan diharapkan tidak terombang-ambing dalam menghadapi globalisasi;
Pembangunan perkotaan dapat mencerminkan keadilan (socially justice), yang terejawantahkan dalam mekanisme dan kapasitas pelayanan perkotaan terhadap masyarakat kota dimana masyarakat mempunyai akses yang sama pada seluruh fasilitas pelayanan perkotaan;
Program pembangunan perkotaan selalu didudukkan dalam kerangka pembangunan nasional sehingga pembangunan perkotaan akan meningkatkan produkbvitas perkotaan dalam kerangka pengembangan ekonomi perkotaan dan sekaligus ekonomi nasional;
Hal ini semua membutuhkan manajemen pembangunan perkotaan yang tertib dan efisien. Pemanfaatan sumber daya perkotaan perlu dilaksanakan secara hati-hati, mengingat secara spasial seluruh kegiatan sosial-ekonomi yang ada membutuhkan ruang, dan oleh karenanya perlu dilakukan suatu pendekatan pembangunan untuk dapat mengatur lokasi kegiatan-kegiatan tersebut dalam ruang, sedemikian rupa sehingga terdapat optimasi interaksi positif (saling mengisi atau sinerjik) dan minimasi dampak negatif. Hal tersebut dilakukan dari mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Kegiatan ini harus dilakukan secara holistik (terpadu) di dalam pendekatan pembangunan perkotaan.
Pelaksanaan pengembangan kegiatan sosial-ekonomi kota dilakukan dengan menjabarkan rencana tata ruang kota kedalam program-program pengembangan SDM, produksi, prasarana dan lingkungan hidup, dengan memperhatikan perkembangan ekonomi, kemampuan pendanaan pusat, investasi swasta dan masyarakat. Kegiatan dilakukan secara bersama antara seluruh stakeholder sehingga penggunaan investasi dan ruang kota dapat terlaksana secara efisien. Pengendalian ruang kota didasarkan pada rencana tata ruang dan didukung oleh suatu sistem monitoring yang transparan dan sistem insentif dan disinsentif yang accountable.

PEMBANGUNAN PERKOTAAN TERPADU DI MASA MENDATANG

A. MANAJEMEN PEMBANGUNAN PERKOTAAN

Pengelolaan (manajemen) pembangunan perkotaan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan kota melalui suatu pendekatan yang sistematis meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian secara terpadu kegiatan pembangunan di bidang SDM, produk dan jasa, infrastruktur, fisik, kelembagaan dan pelestarian lingkungan. Upaya ini melibatkan seluruh pelaku pembangunan (pemerintah dengan berbagai tingkatan, serta masyarakat termasuk masyarakat dunia usaha/swasta) serta mobilisasi sumber daya (SDA, SDB maupun SDM) guna mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial serta peningkatan fungsi dan peran kota dalam pengembangan wilayah dan pembangunan nasional.

Secara umum manajemen pembangunan perkotaan bertujuan untuk memberikan rambu-rambu agar program-program pembangunan:

dapat berjalan secara berkelanjutan (sustainable development);
mempunyai nilai ekonomi yang tangguh (economic viability);
merupakan hasil kemitraan dan konsensus;
merupakan keputusan untuk investasi pembangunan;
mencerminkan keadilan dan sebagai alat kontrol pembangunan.
Manajemen pembangunan perkotaan merupakan alat bagi manajer kota agar manajer kota dapat:
mengambil langkah-langkah efisien;
bertindak efektif dan tepat sasaran;
berfikir strategis dalam menetapkan prioritas;
berpandangan integraff dalam mengakomodir kebijakan pembangunan perkotaan dengan para pelaku pembangunan;
bersikap fleksibel dalam pelaksanasn program pembangunan menghadapi perubahan yang terjadi;
berlaku demokratis yang mampu menciptakan iklim yang dapat mendorongpartisipasi masyarakat.
Memperhatkan lingkup, tujuan dan sasaran manajemen pembangunan perkotaan tersebut di atas, maka terdapat tiga variabel utama dalam manajemen pembangunan perkotaan, yaitu:
Pelaku pembangunan(subyek); dengan mengefektifkan keterlibatan pemerintah, masyarakaat dan swasta dalam pembangunan perkotaan, sehingga pelayanan kota dan sekaligus produktivitas perkotaan dapat ditingkatkan yang akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi kota dan nasional secara menyeluruh. Efektivitas keterlibatan pemerintah, masyarakat dan swasta dalam pembangunan perkotaan dilakukan melalui (Kenneth J Davey, 1993):
Re-definisi peran pemerintah, baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun antara pemerintah dengan swasta dalam pembangunan perkotaan; Penguatan kapasitas pemerintah kota/daerah dalam pembangunanperkotaan; khususnya dalam kemampuan manajerial, pembiayaan, dan kemampuan pemeliharaan infrastruktur perkotaan; Kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat (PPCP) dalam pembangunan perkotaan;

Mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan swasta/ masyarakat harus bersifat demokratis serta bercirikan dimana pemerintah sebagai enabler sementara masyarakat dan swasta sebagai pelaksana.
Sumber daya perkotaan (Obyek); memanfaatkan sumber daya yang ada di perkotaan yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya buatan dan sumber daya lainnya seefisien mungkin untuk mendapatkan hasil yang setinggi-tingginya, serta terjaminnya sustainabilitas pembangunan perkotaan.
Efisiensi sumber daya tersebut meliputi efisiensi pemanfaatan lahan perkotaan, enerji, air tanah, tenaga kerja dll, tanpa harus mengeksploitasinya secara tidak bertanggung jawab (berlebihan);
Pemanfaatan sumber daya perkotaan harus bertumpu pada budaya spesifik masing-masing daerah, sehingga memiliki ketahanan dan jati diri (city image) yang kuat dalam menghadapi globalisasi;
Pemanfaatan sumber daya perkotaan harus berkeadilan (socially just), sehingga pelayanan perkotaan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat perkotaan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan;
Efisiensi pemanfaatan sumber daya, baik fisik, finansial maupun personil, dilakukan melalui sistem penganggaran yang baik, project appraisal, personel management, dan program execution;
Metoda pengelolaan perkotaan; melalui penerapan manajemen pembangunan secara konsisten sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan yang cermat, integratif dan komprehensif; pelaksanaan pembangunan yang tepat melalui pengorganisasian yang mantap; serta pengawasan melekat yang ketat untuk menjamin kualitas pembangunan perkotaan atas dasar perencanaan yang telah disusun.
B. PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, pada prinsipnya manajemen pembangunan perkotaan ialah bagaimana mengelola pembangunan perkotaan secara efektif dan efisien dalam rangka menciptakan kota yang livable, visible, productive, efficient, sociality, culturally, dan enviromentaly. Pembangunan perkotaan itu sendiri merupakan proses yang berjalan secara siklus (development cycle) dan Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang menyebutkan ada 3 (tiga) tahapan manajemen yaitu perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Ketiga tahap ini berjalan secara siklus.

Pembangunan dapat diawali dengan perencanaan dengan melihat masukan yang didapat dari proses pengendalian pemanfaatan. Kebutuhan akan perencanaan akibat adanya suatu "keterkaitan" (interconnectedness) dan kompleksitas. Sepanjang masih dijumpai keterkaitan yang erat antar unsur pembangunan perkotaan dan terdapatnya kompleksitas pembangunan perkotaan, maka diperlukan suatu perencanaan yang matang (Lery, John M, 1991). Mengingat unsur-unsur pembangunan yang meliputi kegiatan sosial, ekonomi, keberadaan sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia harus saling terkait satu sama lain dan membutuhkan ruang sebagai wahana, maka pengaturan lokasi kegiatan budidaya dan non budidaya akan dapat membantu efisiensi pemanfaatan sumber daya untok pembangunan dan kelestarian lingkungan alam.

Oleh karena itu dalam rencana pembangunan perkotaan dilakukan perencanaan pembangunan sosial ekonomi kota secara bersamaan dengan perencanaan pemanfaatan ruang (Rencana Tata Ruang Kota). Penyusunan rencana pembangunan kota memuat keterpaduan rencana pengembangan kegiatan sosial, sumber daya manusia, ekonomi, infrastruktur, dan upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup secara terpadu pada berbagai tingkatan (Rencana umum untuk seluruh kota, Rencana detail untok bagian kota dan Rencana teknik untuk beberapa bangunan). Dalam rencana kota tersebut telah diperkirakan perkembangan kebutuhan besarnya investasi, sumber-sumber pembiayaan dan mekanisme perolehannya.

C. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN

Sesuai dengan rencana pengembangan sosial ekonomi dan rencana tata ruang disusun strategi pembangunan (pemanfaatan ruang), program implementasi pembangunan. Tahap proses pemograman sampai pada pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

Penetapan strategi pembangunan
Dalam pelaksanean pembangunan kota, apabila pengembangan blok-blok kota dibangun secara sporadis, maka menyebabkan pembangunan infrastruktur kota yang bersifat city wide akan mengalami kesulitan, dan akhimya terjadi biaya ekonomi tinggi serta terjadi contra productive terhadap perkembangan kota. Hal ini dialami banyak kota di Indonesia dimana kawasan-kawasan yang dibangun, tidak diikuti penunjangan jaringan jalan maupun jaringan utilitas ke kawasan tersebut, sehingga terjadi kemacetan dan banjir.

Dengan demikian diperlukan suatu pendekatan pelaksanaan pembangunan yang mensinkronkan kegiatan sosial, ekonomi dan pembangunan infrastruktur sehingga perkembangan kota dapat dimanfaatkan sesuai dengan rencana pengembangan kawasan perkotaan. Hal ini membutuhkan suatu pengembangan Rencana Induk Sistem (RIS). Rencana Induk Sistem ini berisi tahapan pengembangan kawasan-kawasan/blok-blok/bagian-bagian kota (beserta besaran dan jenis kegiatannya) dan rencana sistem jaringan secara keseluruhan (memuat jaringan prasarana, besaran yang dibutuhkan, hirarki sistem, sumber-sumber air, potensi pembuangan sampah, serta keterkaitannya dengan infrastruktur regional).

Penentuan strategi pelaksanaan pembangunan sangat perlu didasarkan pada telaahantelaahan:

kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan di dalam pencapaian rencana tata ruang;
sistem nilai yang hendak digunakan untuk pelaksanaan pembangunan sesuai dengan yang direncanakan;
sasaran yang hendak dicapai.
Ringkasnya, strategi pembangunan perkotaan mencakup bagaimana melaksanakan pembangunan perkotaan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Perumusan program dan rencana tindak
Strategi pembangunan perkotaan dilengkapi dengan program pembangunan perkotaan dan rencana tindaknya, sebagai penjabaran dari strategi yang sudah ditetapkan agar program-program tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang kota. Dalam perumusan program ini perlu diperkirakan target pertumbuhan, investasi yang dibutuhkan, sumber-sumber pembiayasn yang dibutuhkan, baik melalui pemerintah pusat, daerah, loan, swasta dan masyarakat. Untuk itu rencana program pembangunan dan rencana tindak harus pula dilengkapi dengan:

Pembentukan sistem kelembagaannya;
Persiapan legal instrument;
Sumber daya manusia;
Aspek pembiayaan; dan
Kemungkinan pola kemitraan (public-private-partnership project scoping)
Promosi dan diseminasi
Dengan rencana induk sistem prasarana perkotaan dan rencana program pembangunan perkotaan, maka bagian-bagian kota dapat ditawarkan pengembangannya kepada swasta dan masyarakat. Pembangunan infrastruktur dapat digunakan sebagai insentif pertumbuhan kegiatan ekonomi serta alat pengontrol untuk kelestarian lingkungan dan efisiensi transportasi. Rencana blok (misalnya kawasan industri dan permukiman skala besar) disiapkan oleh swasta atau developer. Sedangkan Pemerintah hanya melakukan penilain-penilaian agar kesesuain dan keselarasan blok-blok pengembangan dengan bagian-bagian kota yang lain terjamin.

Strategi promosi dan diseminasi bagi pembangunan perkotaan menjadi sangat penting, terutama bila dikaitkan dengan pencapaian sasaran pembangunan. Beberapa hal yang diperlukan dalam perumusan strategi, antara lain:

Pengenalan target group;
Pengenalan media promosi dan diseminasi; serta
Pengenalan terhadap materi promosi.
Perikatan/kerjasama
Keberhasilan tahap promosi dan diseminasi akan melahirkan kesiapan masyarakat (termasuk masyarakat dunia usaha), maupun pemerintah untuk melakukan investasi pembangunan perkotaan secara langsung atau melalui kerjasama/kemitraan antara pemerintah masyarakat-swasta (public-private-community partnership). Adapun kegiatan yang berkaitan dengan proses kemitraan/kerjasama tersebut, sekurang-kurangnya mencakup:

Kegiatan pengajuan "LOI" (Letter of Intension);
Kegiatan evaluasi terhadap investor;
Kegiatan negosiasi;
Kegiatan persetujuan baik berupa "MOU" atau kontrak kerja.
Pelaksanaan Pembangunan Hal yang disampaikan pada huruf (a) hingga (d) diatas adalah kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pemanfaatan ruang. Untuk pelaksanaannya harus dikaitkan dengan komponen pembiayaan; engineering; sumber daya manusia serta metoda pengembangannya. Dalam pemanfaatan ruang berbagai variasi metoda dapat dilakukan, namun harus didasarkan pula pada musyawarah masyarakat setempat. Metoda pengembangan yang mungkin dilaksanakan misalnya perbaikan tata letak bangunan dalam kawasan kota melalui manajemen lahan perkotaan seperti Land Consolidation atau Land Readjusment atau Guided Land Development agar penyediaan infrastruktur dapat lebih efisien.
Dapat pula dilakukan tokar tempat dimana penghuni pindah ke lokasi lain dengan nilai tanah dan bangunan yang lebih baik. Keseluruhan ini membutuhkan rencana blok yang rinci dan harus disepakati masyarakat secara demokratis. Dengan demikian pembangunan kota dimulai dengan rencana (ditetapkan dengan peran serta stakeholders) dan harus didukung manajemen sumber daya (tanah, air, infrastruktur, manusia dan lain-lain) dan peran serta masyarakat yang nyata

D. PENGENDALIAN PEMBANGUNAN
Pengendalian pembangunan dilaksanakan dalam rangka pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang sehingga lahan perkotaan termanfaatkan secara efisien dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap linkungan hidup perkotaan oleh pelaku pembangunan. Rencana kota yang telah disusun oleh pemerintah dengan melibatkan peran serta masyarakat sudah tentu berisikan kesepakatan-kesepakatan terhadap muatan rencana pemanfaatan ruang kota di masa yang akan datang. Dengan demikian rencana tata ruang kota (baca: Rencana umum, Rencana Rinci dan Rencana Detail) dapat dipergunakan sebagai alat pengendali dan pengawasan dalam pelaksanaan pembangunan melalui penerbitan ijin-ijin pembangunan.

Dalam konteks makro, pengendalian pelaksanaan pembangunan dilakukan melalui rencana umum tata ruang kota sebagai alat pengendalian pengembangan kawasan-kawasan fungsional yang akan membentuk struktur tata ruang kota di masa yang akan datang. Dengan demikian kota-kota yang direncanakan akan berkembang sinkron dan seimbang dengan wilayah sekitamya serta sejalan dengan arahan strategi nasional pembangunan perkotaan.

Dalam konteks mikro (internal kota), rencana tata ruang dapat dipergunakan sebagai alat pengendali dan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan pada kawasan-kawasan perkotaan sesuai dengan tingkatan rencana tata ruang serta sifat pembangunan yang dilaksanakan pada kawasan perkotaan tersebut.

Rencana umum tata ruang pada dasarnya berperan sebagai pedoman untuk pengembangan kawasan-kawasan fungsional perkotaan dan pengelolaan kawasan-kawasan lindung (non budidaya) dalam rangka menjaga keseimbangan dan pelestarian lingkungan. Pengendalian dapat dilakukan melalui penerbitan ijin-ijin lokasi pembangunan yang memanfaatkan ruang kota dalam skala besar. Pengendalian juga dapat dilakukan dalam bentuk pemberian insentif dan disinsentif pada kawasan-kawasan perkotaan yang direncanakan.

Rencana Detail dipergunakan sebagai alat untuk mengendalikan pelaksanaan pembangunan pada kawasan-kawasan perkotaan agar tercipta perwujudan ruang yang mencerminkan keterkaitan dan keserasian fungsi kawasan dengan wilayah kota. Bentuk pengendalian dapat dilakukan melalui penerbitan advice planning dan ijin pembangunan bangunan dan bukan bangunan.

Rencana teknik, dipergunakan sebagai alat untuk mengendalikan pembangunan kawasan-kawasan perkotaan agar tercipta perwujudan keterkaitan dan keserasian antar pemanfaatan ruang kota. Pengendalian dilakukan melalui penerbitan ijin-ijin oleh dinas-dinas terkait secara terkoordinasi, seperti; ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin pemanfaatan bangunan,dan lain-lain. Dalam hal rencana teknik dipergunakan sebagai alat untuk mengendalikan pelaksanaan pembangunan, maka muatan rencana teknik telah mengatur letak dan geometrik bangun-bangunan dan bukan bangunan, sehingga keserasian dan keselarasan antar massa bangunan maupun terhadap utiltas pendukungnya dapat terwujud dengan baik.

Rencana tata ruang sebagai alat pengendali dalam pelaksana pembangunan pada kawasan perkotaan dapat berfungsi dengan baik apabila beberapa hal dapat dipenuhi, yaitu: pertama; apa bila rencana tersebut telah memiliki kekuatan hukum (legal base and law enforcement), dengan demikian rencana tersebut harus disahkan terlebih dahulu sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Kedua, ada keterbukaan dan demokratisasi pada saat proses penyusunan rencana maupun sosialisai produk rencana, bagi selunuh warga masyarakat perkotaan dengan demikian pengendalian dan pengawasan terhadap pembangunan dapat terjadi dua arah yaitu oleh masyarakat dan pemerintah. Ke bga, koordinasi antar instansi terkait dan stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan. Pengendalian pemanfaatan ruang juga akan dapat efektif dilakukan apabila dalam proses pelaksanaan pemberian ijin-ijin tidak dikaitkan dengan upaya peningkatan pendapatan daerah. Dengan pendekatan ini, perijinan betul-betul ditempatkan dalam konstelasi pengaturan pemanfaatan ruang.

KESIMPULAN

Pola pikir secara holistik (terpadu) dalam penataan kota diperlukan, tidak saja dalam pengertian komprehensif terhadap unsur-unsur pembangunan kota namun juga mengandunq pengertian terhadap pendekatan sistem yang tak terpisahkan antara perencanaan, pemanfaatan den pengendalian (development cycle) dalam setiap tahap penatean kota. Artinya pada tahap perencanaan, kita harus berfikir tentang bagaimana mencapai rencana yang kita susun (pemanfaatan), sekaligus bagaimana kita dapat konsisten terhadap rencana yang kita rumuskan (pengendalian). Sebaliknya pada tahap pengendalian, kita harus melihat ijin pelaksanaan pembangunan (pemanfaatan) dan sekaligus mengacu pada rencana yang telah dibuat. Hal yang lebih penting, adalah bagaimana kita memandang mekanisme perijinan sebagai unsur pengendalian dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Penataan kota di masa mendatang adalah penataan kota yang dapat mewujudkan suatu kota yang menjamin keseimbangan lingkungan yang baik, mempunyai jati diri (budaya) yang mantap, berkeadilan, produktif den efisien. Hal tersebut hanya dapat dicapai melalui penataan kota yang demokratis (melibatkan stakeholders) sehingga seluruh masyarakat kota merasa memiliki (citizenship city). Dengan demikian kita memandang perencanaan bukan produknya, namun yang lebih penting adalah proses bagaimana kita menghasilkan produk perencanaan tersebut, apakah melalui proses yang demokratis atau top-down, dengan pendekatan holistik atau parsial, serta melalui langkah-langkah strategis (strategic planning) atau ekstrapolasi.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pekerjaan Umum, (Draft) Pedoman Umum Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan, Jakarta, 1999.
John M Bryson, Strategic Planning for Public and Non Profit Organizations, Jossey-Bass Publishers, San Francisco-Oxford, 1991.
Kenneth J Dawey, Urban Management Programme: Elements of Urban Management, The World Bank, Wasington DC, 1993.
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Jakarta, 1992.
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 1999.
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemenntah Pusat dan Daerah, Jakarta, 1999.
The World Bank, Urban Policy and Economic Development: An Agenda for the 1990s, Washington DC, 1991. 




PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG PERKOTAAN BERCIRIKAN LOKAL



PENGEMBANGAN DAN
PENATAAN RUANG
PERKOTAAN BERCIRIKAN LOKAL



Pergeseran paradigma pembangunan saat ini, dimana daerah diberikan hak otonomi yang luas dalam menyelenggarakan pembangunan di daerahnya sesuai dengan potensi dan kemampuan yang ada di masing-masing daerah tersebut akan berpengaruh besar terhadap pengembangan dan penataan ruang perkotaan. Perubahan tersebut pada hakekatnya diharapkan dapat memunculkan kreativitas dan innovasi cemerlang dari daerah itu sendiri. Dalam sistem pemerintahan dimasa datang aspirasi daerah mendapat porsi yang lebih besar, dimana sifat keterbukaan yang mendukung terwujudnya pertisipasi aktif masyarakat akan menjadi prasyarat, khususnya dalam melaksanakan penataan ruang perkotaan.

Dalam pelaksanaan penataan ruang yang bercirikan lokal, pendayagunaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber daya buatan sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat perlu dilakukan secara terencana, terpadu, rasional, optimal dan bertanggung jawab sejalan dengan pengelolaannya dikemudian hari. Tatanan daya dukung dan mutu lingkungan serta flora dan fauna yang ada dalam perencanaan perlu diperhitungkan agar fungsi dan daya dukung lingkungan dapat dilestarikan.

Berbicara mengenai tata ruang perkotaan yang bercirikan lokal dan perkembangannya, maka hal utama yang perlu diketahui adalah :


Pengertian konsep penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal
Permasalahan perkembangan dan penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal
Penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal sebagai salah satu solusi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah
A. Konsep Pengembangan dan Penataan Ruang Perkotaan yang bercirikan Lokal

Yang dimaksud dengan penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal adalah perencanaan tersebut tidak menghancurkan tatanan sosial yang sudah ada. Tatanan sosial yang dimaksud meliputi aspek (1) adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat, (2) potensi sumberdaya manusia yang dimiliki, termasuk didalamnya lembaga yang mampu membuat perencanaan tata ruang untuk kotanya.

Pendekatan yang perlu diterapkan adalah memperbaiki tatanan fisik secara dua dimensi dan tiga dimensi dengan memberdayakan tatanan sosial yang sudah ada. Yang dimaksud dengan tatanan fisik 2 dimensi adalah tata ruangnya, sedangkan tatanan fisik di kota tersebut serta penyediaan prasarana dan sarana kota.

Penataan Ruang dilihat dari dimensi manusia

Kegiatan penataan ruang pada hakekatnya sangat terkait erat dengan kondisi sosial dan ekonomi dari penduduknya, pemanfaatan sumberdaya alam yang ada serta pengelolaan lingkungan. Kaitan tersebut berinteraksi dalam berbagai cara dan bergantung pada tempat, waktu, dan budaya masyarakat setempat. Sebaliknya, pola, tingkat dan jenis kegiatan yang ada sangat menentukan kondisi sosial dan ekonomi penduduk. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika kualitas manusia yang ada di suatu daerah/kota baik, maka penataan ruang akan mampu menggali dan mengembangkan nilai tambah yang dimiliki kota tersebut dengan bertolak dari dimensi ruang yang tersedia.

Penataan Ruang dilihat dari dimensi wilayah

Penataan tata ruang perkotaan berkaitan erat dengan upaya pemanfaatan sumberdaya yang ada secara efektif, serta alokasi ruang untuk kegiatan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan alam dan daya tampung lingkungan binaan. Tepatnya dengan tetap memperhatikan sumberdaya manusia serta aspirasi masyarakat setempat. Singkatnya perencanaan tata ruang perkotaan harus dilakukan dengan memperhatikan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial dan interaksi antar lingkungan.

Rencana tata ruang diharapkan mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam.

Aspek-aspek dalam penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal meliputi sebagai berikut :


Letak geografis dan fisik kota. Beberapa kota memiliki tata kota yan spesifik karena letak geografis yang khas seperti kota Pontianak yang terletak tepat di garis katulistiwa; kota-kota yang berbatasan langsung dengan laut seperti DKI Jakarta, Surabaya ; kota-kota yang dilalui oleh sungai besar seperti Palembang, Samarinda, dan seterusnya.
Nilai-nilai sejarah berdirinya suatu kota yang ditandai oleh adanya bangunan-bangunan bersejarah yang ada di kota tersebut. Seperti penataan kota Semarang dan Jogyakarta diantaranya, dalam tata ruang perkotaannya memperhatikan bangunan-bangunan bersejarah yang ada.
Adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Seperti yang dimiliki oleh kota Jogyakarta, Solo, kota-kota di Pulau Bali, dan seterusnya.
Potensi alam yang dimiliki dan yang dapat dikembangkan. Seperti pada Kota Bandung yang terletak di daerah pegunungan.
Nilai-nilai keagamaan yang kuat dan dapat diperhitungkan dalam penataan ruang perkotaan, seperti pada kota Banda Aceh.
Potensi sumberdaya manusia yang dimiliki (termasuk didalamnya lembaga yang mampu membuat perencanaan perencanaan tata ruang untuk kotannya). Umumnya yang melatarbelakangi penataan kota-kota metropolitan di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya.
B. Permasalahan Pengembangan dan Ruang Perkotaan yang bercirikan Lokal

Sebagaimana yang umum terjadi permasalahan dalam penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal adalah terjadinya penghancuran terhadap tatanan sosial yang sudah ada. Selain itu perkembangan dan penataan ruang kota-kota di Indonesia pada dewasa ini, menunjukan kecendrungan homogenitas yang disebabkan oleh keseragaman dalam membuat rencana tata ruang tanpa melihat bahwa masing-masing kota mempunyai ciri khas sendiri. Hal ini terjadi dikarenakan :


Adanya kecendrungan untuk mengutamakan efisiensi dalam setiap investasi tanpa memperhitungkan nilai-nilai lain seperti potensi yang ada di daerah tersebut serta keunikan dari tiap-tiap daerah yang dapat dijadikan aset untuk pengembangan kota di masa depan
Kecenderungan homogenitas kota di dorong oleh perwujudan idealisme negara kesatuan, sehingga rencana tata ruang kota di Indonesia harus memperlihatkan ciri kesamaan yang dipandang sebagai cermin dari wujud persatuan
Besarnya peran pemerintah pusat dalam menentukan perencanaan tata ruang daerah, menjadikan produk tata ruang yang dulu sangat homogen
Kurangnya pemanfatan lembaga lokal dalam membuat rencana tata ruang suatu kota juga sangat mempengaruhi terjadinya keseragaman dalam pembuatan rencana tata ruang kota.
Dengan beragamnya kondisi fisik kota dan budaya masyarakat Indonesia, seharusnya permasalahan perbedaan (diversity) atau keaneka-ragaman yang ada di masing-masing daerah dapat menjadi suatu kekuatan dalam melakukan rencana tata ruang yang bercirikan lokal dan bukan menjadi kelemahan, sehingga pola yang digunakan dalam penataan ruang perkotaan yang ada saat ini tidak lagi sama antara satu kota dengan yang lainnya. Disisi lain memang masih diperlukan suatu guidelines dalam membuat rencana tata ruang yang bersifat makro, namun perlu dibedakan apabila sudah menyangkut pembuatan rencana tata ruang yang bersifat detail seperti rencana tata ruang perkotaan.

Perkembangan kota-kota di Indonesia, dapat dilihat dari :


Peranan dan fungsi kota, yang dahulu dualistik sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, kini telah berkembang menjadi pusat informasi, pusat inovasi teknologi dan pusat akumulasi modal. Bahkan lebih jauh lagi, kota telah berperan sebagai pintu gerbang kemakmuran bagi daerah pedesaan. Kota telah menjadi indikator untuk mengukur kemakmuran suatu negara. Karenanya, paradigma lama bahwa kota merupakan benteng (fungsi kekuasaan) dan fungsi permukiman (fungsi perlindungan), dalam menghadapi era globalisasi sudah harus ditinggalkan.
Perkembangan fisik kota, karena alasan praktis dan efisiensi, telah tumbuh mengikuti perkembangan jalur transfortasi dan dirancang dengan tipe bangunan yang homogen. Model perencanaan tata ruang kota yang disusun dengan kriteria yang seragam, turut mendorong pertumbuhan kota menjadi homogen. Padahal sesungguhnya, rancang bangun kota pantai (coastal city) tidak harus sama dengan kota gunung (inland city). Pola perkembangan fisik kota yang demikian, untuk masa depan sudah harus ditinggalkan. Karenanya perlu dicari model-model rancang bangun kota yang mengacu pada kondisi fisik wilayah dan bersumber pada akar budaya masyarakat setempat. Ini menjadi paradigma baru dimasa mendatang dan dapat disebut sebagai model rancang bangun yang bernuansa lokal.
Pergeseran nilai-nilai sosial budaya masyarakat perkotaan, cenderung mengarah pada budaya individualistis. Hal ini sering tidak dapat dihindari karena adanya pengaruh dari luar yang berakulturasi dengan nilai yang mentradisi dan berkembang menjadi nilai-nilai sosial yang baru. Pergeseran nilai-nilai ini perlu dikendalikan untuk mencegah lunturnya semangat gotong royong dan paguyuban yang menjadi akar dari falsafah kehidupan bermasyarakat Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, paradigma baru pembangunan masyarakat perkotaan dimasa datang perlu dikendalikan melalui perkuatan jatidiri dan falsafah hidup masyarakat setempat.
C. Penataan Ruang Perkotaan Bercirikan Lokal sebagai salah satu solusi Dalam Rangka Otonomi Daerah

Dengan adanya UU No.22 dan 25 tahun 1999 pelaksanaan penataan ruang perkotaan di Indonesia diharapkan tidak lagi sama, dan lebih bervariasi sesuai dengan potensi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia) serta keunikan yang ada di daerah tersebut. Dengan kata lain, pengembangan dan penataan ruang perkotaan yang akan datang hendaknya bercirikan lokal.

Pelaksanaan tata ruang kota bercirikan lokal akan menjadi dasar yang penting untuk membangun masa depan perkotaan yang lebih terarah dan konkrit. Beberapa aspek yang akan mendasari pelaksanaan pembangunan perkotaan dimasa depan adalah :


Penghargaan terhadap nilai-nilai sejarah berdirinya kota yang kemudian sekaligus dilestarikan.
Penggalian potensi kebhinekaan yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dimana masing-masing kota memiliki sumberdaya internal yang perlu dikembangkan.
Mendorong perwujudan otonomi daerah yang lebih nyata.
Mengantisipasi pengaruh globalisasi, karena suatu kota yang tidak bercirikan lokal akan terbawa arus globalisasi.
Memberdayakan sumberdaya lokal maupun lembaga lokal dalam membuat rencana tata ruang kota untuk daerahnya.
Sebagai catatan bahwa penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal akan berhasil apabila :


Menghargai ciri lokal dari daerah lainnya, sehingga daerah-daerah di suatu kota akan selalu saling bergantungan satu dengan lainnya.
Melibatkan peran aktif ketiga aktor pembangunan dalam melakukan kemitraan. Ini merupakankunci keberhasilan pelaksanaan penataan ruang bercirikan lokal.
Menetapkan visi dan misi kota dalam pembangunan yang akan sangat besar berpengaruh bagi tercapainya penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal di Indonesia.




PARADIGMA PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA KEDEPAN.


PARADIGMA PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA KEDEPAN.



Penerapan paradigma baru perencanaan pembangunan kota pada kota-kota di Indonesia ke depan memerlukan pendalaman dari berbagai aspek. Kondisi kota-kota di Indonesia saat ini sangat mempengaruhi penerapan paradigma kedepan. Fenomena yang terdapat pada kota-kota besar dan menengah di Indonesia saat ini adalah kontradiksi sosial yang dapat dilihat dalam bentuk eksklusivisme di kalangan masyarakat atas berhadapan dengan kebersamaan yang kental di kalangan masyarakat bahwa. Selanjutnya juga ada fragmentasi yang kontras antara sikap egosentrik dari masyarakat klas atas dibandingkan dengan komunalisme dari rakyat biasa dan yang juga penting dicatat adalah makin besarnya kemampuan individual yang tidak egaliter. Pada dasarnya ini adalah kontras antara kelas menengah yang dinamis dan independen berlawanan dengan rakyat kelas bawah yang cenderung tetap (immobile) namun kohesif yang dalam batas tertentu terkait pada pendekatan primordial. Dari gambaran di atas, maka perlu dirumuskan visi kota-kota Indonesia ke depan.. Visi ke depan dari kota-kota di Indonesia adalah keterpaduan sistem global, yang mempunyai arti persaingan yang diwujudkan ke dalam pencapaian standar yang berlaku umum dalam berbagai aspek kekotaan dengan kemampuan memberi warna dengan kekhasan yang tetap lokal. Ke depan kota-kota harus mampu menyajikan mutu kehidupan (quality of life) yang terus membaik. Pelaksanaan dari pencapaian mutu lingkungan hidup harus dilakukan dalam kerangka konsep pembangunan yang berkelanjutan berangkat dari kondisi yang ada yang harus membaik. Pelaksanaan politik kekotaan harus mampu mendorong dan merangsang pertumbuhan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya yang bermutu dalam mekanisme pasar yang merakyat (equitable and just) sesuai dengan dinamika permintaan dan penawaran masyarakat luas dan didasarkan pada kebutuhan bukan mencapai laba semata.

Karena dunia dan kota menghadapi tingkat kompetisi yang makin gencar dan ketat, maka setiap kota harus mampu mengembangkan kekhasan lokal dalam arti luas agar daya tawar masyarakat makin tangguh dan tidak mudah dipermainkan oleh pengaruh luar yang masuk bersama dengan arus globalisasi.

Kota juga harus secara matang siap menerima perubahan bentuk masyarakat yang makin pluralistik dalam arti manusia dan kemanusiaan. Sifat pluralistik ini diantisipasi dengan pola otonomi daerah atas dasar demokrasi dan kedaulatan rakyat. Sifat pluralistik ini harus dimanfaatkan dan dijadikan sebagai kekuatan karena ada lebih banyak pilihan yang terbaik. Ini penting untuk mendukung ketangguhan bersaing yang lebih baik.

Pembangunan kota ke depan harus membuat masyarakat makin mampu membaca peluang dari keadaan (kesempatan dan dan tantangan yang berlaku. Peluang ini kemudian harus mampu diitransformasikan menjadi rencana tindak yang nyata (action plan). Pelaksanaan rencana tindak ini perlu melibatkan makin luas petaruh (stakeholder) kota yang handal dan profesional serta dengan wawasan nasionalisme yang kental, bahwa kampung harus ikut maju dan imbang sesuai dengan kemajuan kotanya. Yang dikaji dan dicari adalah model untuk memajukan kampung agar tidak tertinggal maupun kehilangan kekhasan dan potensi dasarnya. Sebagai acuan dalam kajian ini adalah kemajuan dari "kampung" lama di Kyoto yang tanggap dan mampu mengambil manfaat dari kemajuan kotanya tanpa kehilangan kekhasan fisik dan non fisik yaitu sebagai warisan lama.

Faham globalisasi yang diajukan oleh pakar beragam, mulai dari konsep berbagai keseimbangan secara global (sumberdaya manusia, modal, keuangan, gagasan, teknologi, dan sebagainya) sampai keterikatan antar kota secara dunia. Salah satu konsep globalisasi yang kurang mendapat perhatian khususnya bagi kota adalah keharusan untuk mampu memenuhi standar yang berlaku internasional (keselamatan, keamanan, dan sebagainya) sehingga pergerakan manusia secara global yang berlangsung baik. Tetapi karena globalisasi mengandung sifat persaingan yang berat, maka kota juga harus punya kekhasan agar dapat bersaing secara tangguh.

Ke depan fungsi kota harus dilihat dari dampak pembangunan terhadap masyarakat harus mampu mengandung sifat yang berorientasi pada rakyat dan meningkatkan mutunya; selalu peka terhadap kemunduran mutu lingkungan; memahami dan menghargai warisan budaya lokal; memanfaatkan IPTEK secara kontekstual, profesional dan kompetitif. Secara konseptual, pemukiman tidak dapat difahami hanya sebagai tempat bermukim, tetapi menyangkut beragam aspek hidup perkotaan (urbanisasi) meliputi kegiatan ekonomi (mencari nafkah), sosial (internaksi bermasyarakat kota), lingkungan (pelestarian/pengkayaan), budaya (meningkatkan peradaban) yang tidak lepas dari warisan sebelumnya. Pemukiman mengandung konotasi kemandirian yang riil.

Era reformasi melahirkan banyak undang-undang yang pada prinsipnya mengurangi peran pemerintah (pusat) dan menghilangkan sistem sentralistik. Ini menimbulkan pengaruh secara signifikan terhadap pembangunan kota dan kemampuan (atau tidak mampu). Potensi mengambil keputusan akan berdampak tidak terbatas pada rakyat atau fihak tertentu saja, namun meluas melewati batas waktu dan tempat. Oleh karena itu harus diupayakan agar rakyat mampu ikut memutuskan dan bertanggung jawab atas hasil dan akibat yang timbul oleh pembangunan. Agar hal ini terlaksana dengan baik diperlukan platform yang dapat menjadi wadah dialog dan diskusi antar warga masyarakat (horisontal) dan dengan fihak pemerintahan (vertikal) dalam merumuskan pola pembangunan yang diperlukan. Wadah ini menjalankan proses pemberdayaan oleh, dari dan bagi rakyat sebagai prerequisite dari pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat.




FILOSOFI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA BERBASIS MASYARAKAT.



FILOSOFI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA BERBASIS MASYARAKAT.


Pada tahun 1994 UNCHS di Nairobi mendeklarasikan The New Planning Paradigm, yang pada intinya adalah bahwa dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan kota harus melalui/mempertimbangkan community-perticipation, involvement of all interest groups, horizontal and vertical coordination, sustainability, financial-feasibility, subsidiary and interaction of physical and economic planning. Penjabaran dari deklarasi dunia ini oleh masing-masing negara diadopsi dengan konsensus bahwa "masyarakat" lah yang menjadi target program-program publik. Siapa yang akan terpengaruh langsung oleh perencanaan pembangunan kota dan perencanaan pembangunan berhak memberikan share dalam keputusan-keputusan yang diterbitkan. Hal ini dilatar-belakangi kekurang-berhasilan system perencanaan nasional dan komprehensif yang penyusunannya didominasi pemerintah. Dalam perjalanan sejarah perencanaan pembangunan kota, wilayah dan kawasan, munculnya berbagai pendekatan dengan terminology baru seperti bottom-up planning, participatory planning, democratic planning, grass root planning, public involvement, collaborative planning, advocacy planning, dan sebagainya menunjukkan adanya kesamaan dalam hal filosofi dasar yaitu dalam suatu demokrasi anggota masyarakat harus memiliki kesempatan berperan serta di dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan mereka.
John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai planning sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan social dan proses transformasi social. Dikaitkan dengan kelembagaan, system perencanaan diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Perencanaan sebagai Social Reform. Dalam system perencanaan ini, peran Pemerintah sangat dominan, sifat perencanaan : centralized, for people, top-down, berjenjang dan dengan politik terbatas.

2. Perencanaan sebagai Policy Analysis. Dalam system perencanaan ini, Pemerintah bersama stakeholders memutuskan persoalan dan menyusun alternatif kebijakan. Sifat perencanaan ini decentralized, with people, scientific, dan dengan politik terbuka.

3. Perencanaan sebagai social learning. Dalam system perencanaan ini Pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Sifat perencanaan learning by doing, decentralized, by people, bottom-up, dan dengan politik terbuka.

4. Perencanaan sebagai social Transformation. Perencanaan ini merupakan kristalisasi politik yang didasarkan pada ideology 'kolektivisme komunitarian'.

Berdasarkan definisi luas planning yang dikemukakan oleh John Friedman dapat disimpulkan bahwa filosofi peran serta masyarakat dalam perencanaan mengalami suatu pergeseran, dari for people sebagai sifat perencanaan social reform menjadi by people sebagai sifat perencanaan dalam social learning.

Ada dua rational kunci bagi peran serta masyarakat, yaitu :

1. Etika, yaitu bahwa di dalam masyarakat demokratik, mereka yang kehidupan, lingkungan dan penghidupannya dipertaruhkan sudah seharusnya dikonsultasikan dan dilibatkan dalam keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi mereka secara langsung.

2. Pragmatis, yaitu atas program dan kebijakan seringkali tergantung kepada kesediaan orang membantu kesuksesan program atau kebijakan tersebut.

Peran serta dalam hal ini diterjemahkan dan asal kata participation, yang diantaranya mempertimbangkan pendapat, mengartikan secara singkat bahwa partisipasi itu adalah take a part atau ikut serta. Peran serta masyarakat dengan keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan (dalam perencanaan) atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek pembangunan untuk masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut di Inggris/Britania Raya lebih populer dengan istilah public participation, sedangkan di Amerika Serikat disebut dengan citizen participation, namun keduanya mengandung makna yang sama. Citizen participation didefinisikan sebagai proses yang memberikan peluang bagi masyarakat (citizens). Oleh karena itu, suatu peran serta memer;ukan kesediaan kedua belah pihak dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Adapun tujuan peran serta masyarakat yang ingin dicapai, pada prinsipnya harus pula dikondisikan suatu situasi dimana timbul keinginan masyarakat untuk berperan serta. Hal ini akan sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan peran serta masyarakat itu sediri. Pengkondisian tersebut harus mengarah kepada timbulnya peran serta bebas dan mengeliminir sebanyak mungkin peran serta terpaksa'. Peran serta bebas terjadi bila seorang individu melibatkan dirinya secara sukarela di dalam suatu kegiatan partisipatif tertentu, walaupun dalam klarifikasi ini masih dapat dibagi ke dalam :

- Peran serta spontan (keyakinan sendiri kehendak murni tanpa melalui penyuluhan/ajakan), dan

- Peran serta masyarakat terbujuk.

Peran serta terpaksa, dilakukan karena dua hal yaitu terpaksa oleh hukum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang mewajibkannya, dan terpaksa oleh tekanan situasi dan kondisi sosial ekonomi. Peran serta masyarakat memiliki keuntungan sosial, politik, planning dan keuntungan lainnya, yaitu :

• Dari pandangan sosial, keuntungan utamanya adalah untuk mengaktifkan populasi perkotaan yang cenderung individualistik, tidak punya komitmen dan dalam kasus yang ekstrim teralienasi. Di dalam proses partisipasi ini, secara simultan mempromosikan semangat komunitas dan rasa kerja sama dan keterlibatan. Pada kasus kelompok miskin dan lemah, partisipasi dapat berkontribusi ke proses peningkatan, pendidikan, dan pelatihan sebagai penyatuan (integrasi) ke dalam komunitas yang lebih luas yang di dalamnya rasa ketidakberdayaan (powelessness) dapat ditanggulangi dan swadaya (self-help) dan pembangunan kepemimpinan dapat dipromosikan.

• Dari segi politik, partisipasi lebih mempromosikan participatory dibanding demokrasi perwakilan (representative democracy) sebagai hak demokrasi dan setiap orang dan dengan demikian publik secara umum, untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi publik juga akan membantu dewan (counsellors) dan para pembuat keputusan lainnya untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai permintaan-permintaan dan aspirasi konstituen mereka atau semua pihak yang akan terpengaruh, dan sensitivitas pembuatan keputusan dapat dimaksimalkan jika ditangani secara tepat.

• Dan segi planning partisipasi menyediakan sebuah forum untuk saling tukar gagasan dan prioritas, penilaian akan public interest dalam dinamikanya serta diterimanya proposal-proposal perencanaan.

• Keuntungan lain dan public participation adalah kemungkinan tercapainya hubungan yang lebih dekat antara warga dengan otoritas kota dan menggantikan perilaku they/we menjadi perilaku us.

Banyak faktor yang menjadi hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam perencanaan. Peran serta masyarakat dalam sistem perencanaan dihadapkan pada berbagai persoalan, baik pada level negara bagian maupun lokal. Hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam penataan ruang (Donald Perlgut) yaitu :

1. Partisipasi dalam proses perencanaan lokal umumnya dimulai sangat terlambat, yaitu setelah rencana (the real planning directions) telah selesai disusun, sehingga masyarakat akhirnya hanya mempertanyakan hal-hal bersifat detail.

2. Partisipasi komunitas yang sungguh-sungguh sangat sedikit apalagi mengenai isu-isu besar seperti pertumbuhan dan pembangunan kota.

3. Ketika partisipasi tersebut benar-benar diinginkan, terlalu sedikit masyarakat yang terorganisasi atau yang terstruktur secara mapan yang efektif mengajukan masukan dan komunitas.

4. Pemerintah negara bagian maupun pemerintah lokal (kota), jika memang ingin, mampu menghindari peran serta masyarakat, dengan membuat keputusan-keputusan secara rahasia atau dengan menyediakan waktu yang tidak memadai untuk public discussion. Bahkan dengan peraturan (legislation) yang baik seperti di New South Wales, Environmental Planning and Assessment (EPA) Act (1979) dapat diabaikan atau dielakkan oleh peraturan baru.

5. Secara umum, komunitas tidak memiliki sumberdaya yang baik dalam hal waktu, keahlian atau ruang untuk membuat aspirasinya didengar secara efektif.



TATA RUANG & KEHIDUPAN SOSIAL


TATA RUANG, KEHIDUPAN SOSIAL, DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL*)


Pendahuluan

Dalam studi-studi ilmu-ilmu sosial, tata ruang sebagai sebuah variabel sering diabaikan dalam pengkajian mengenai tindakan-tindakan sosial dan pola-pola kekuatan manusia. Begitu pula pengkajian hubungan antara kebudayaan dengan tata ruang dan dengan pola kelakuan serta tindakan sosial manusia jarang diperhatikan. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial kini, khususnya dalam Antropologi, kelakuan tidak lagi dilihat semata-mata sebagai hasil kebudayaannya, tetapi sebagai motif dan response terhadap lingkungan yang dihadapi (lingkungan sosial yang dapat berupa pola-pola interaksi, dan sebagainya; lingkungan alam; dan lingkungan fisik), yang perwujudannya dipengaruhi oleh kebudayaannya dan diselimuti oleh simbol-simbol yang bersumber pada kebudayaannya tersebut.

Ceramah ini berisikan uraian pengantar singkat mengenai kaitan hubungan antara kebudayaan, tata ruang, kehidupan sosial, dan masalah-masalah sosial. Besar harapan bahwa ceramah ini akan mendapat merangsang para peserta ceramah untuk turut memikirkan berbagai masalah tata ruang dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari yang ada dalam masyarakat-masyarakat Indonesia yang sedang dengan cepat mengalami perubahan karena pembangunan.

Kebudayaan dan Tata Ruang

Tidaklah dapat disangkal akan adanya pengaruh kebudayaan terhadap perwujudan adanya ruangan (space) dimana hubungan-hubungan antar individu dapat diwujudkan dengan tepat sesuai dengan motif dan lingkungan yang dihadapi oleh yang bersangkutan. Hall (1959) telah menunjukkan bagaimana pentingnya peranan pengetahuan tentang kewilayahan (territoriality) yang dipunyai oleh hewan juga terdapat pada manusia dalam wujud jarak (distance), yang bagi manusia sebenarnya merupakan medium komunikasi di antara sesamanya. Dalam tulisan tersebut lebih lanjut ditunjukkan oleh Hall bahwa kebudayaan merupakan landasan bagi terwujudnya pola-pola mengenai tata ruang yang ada pada arsitektur, tata ruang pada umumnya (landscaping), dan pada desain tata kota.

Dalam studinya lebih lanjut mengenai ruang sebagai suatu dimensi yang tersembunyi dalam kebudayaan manusia, Hall (1966) memperlihatkan bahwa manusia hidup dalam ruangan-ruangan dengan tipe-tipe dan ukuran-ukuran tertentu yang tepat sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing. Salah satu dari ruangan-ruangan, dimana manusia hidup dan memperlihatkan adanya tipe dan ukuran yang tertentu adalah rumah (berikut pekarangannya) tempat manusia tinggal. Di dalam rumah ada pembagian ruangan-ruangan yang tepat sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan. Pada orang Jawa, misalnya, ruangan-ruangan dalam rumah dibagi menurut pola sebagai berikut:

Bagian luar (bagian depan terdiri atas ruangan untuk bercengkerama dan menerima tamu; dan bagian belakang terdiri dari dapur, kamar mandi dan sumur dan bagian paling luar adalah kakus).
Bagian dalam (terdiri atas ruang tengah untuk makan dan kamar-kamar tidur).
Batas-batas antara ruangan-ruangan ini adalah jelas; dan bahkan menurut konsep yang ada dalam kebudayaan orang Jawa, masing-masing ruangan ini mempunyai penunggu-penunggu makhluk halus tertentu sesuai dengan fungsi masing-masing ruangan dan tidak bisa dicampur adukkan yang menunggu dapur, misalnya, dikenal sebagai kyai atau nyai Geseng yang memberi berkah pada dapur; sedangkan yang menunggu tempat-tempat MCK adalah gendruwo. Mengenai pola ideal rumah menurut kepercayaan Jawa, saya persilahkan mempelajarinya dari buku Kitab Bentaljemur Adammakno.

Tata Ruang dan Kesatuan Sosial

Kalau kita melihat rumah sebagai suatu kesatuan tata ruang, kita melihat bahwa rumah bukanlah hanya semata-mata merupakan satuan ruang dengan batas-batas yang jelas dan nyata dapat dilihat dan diraba, tetapi juga merupakan suatu satuan sosial yang mempunyai batas-batas sosial yang jelas. Rumah adalah tempat keluarga melangsungkan kehidupannya, (memenuhi kebutuhan hidupnya) yaitu: mempersiapkan makanan dan minuman, melakukan hiburan dan bersendau gurau, pendidikan anak-anak dan sosialisasi, tempat belajar, tempat beristirahat, tempat berlindung, berkembang biak, melakukan kegiatan MCK, dan juga tempat mengadakan berbagai kegiatan sosial lainnya.

Bahkan juga, rumah dapat dilihat sebagai tempat terwujudnya berbagai situasi sosial dimana interaksi sosial dapat terwujud antara lain dengan adanya ruangan-ruangan yang berfungsi sesuai dengan berbagai kebutuhan manusia, yang fungsi tersebut sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan (Hall, 1977).

Tiga perspektif dalam melihat rumah telah diperlihatkan tersebut di atas, yaitu sebagai suatu tata ruang yang modelnya bersumber pada kebudayaan, sebagai tata ruang yang fungsinya berkaitan erat dengan corak dan pola kesatuan sosial yang hidup di dalamnya, dan sebagai tata ruang yang merupakan medium komunikasi dimana tata ruang tersebut menjadi situasi-situasi sosial dimana interaksi-interaksi dan kegiatan-kegiatan sosial dilakukan.

Ketiga perspektif dalam melihat rumah tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai luas rumah, pembagian rumah dalam ruangan-ruangan, fungsi rumah dan ruangan-ruangan rumah, dan jumlah serta kategori individu yang boleh tinggal di dalamnya, tidaklah sama pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda. Bahkan dalam satu mayarakat yang dapat digolongkan sebagai mempunyai kebudayaan yang sama, misalnya masyarakat kota dengan kebudayaan kotanya, perbedaan-perbedaan ini tetap ada karena adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan yang dipunyai oleh warga kota yang bersumber pada latar belakang asal kebudayaan (antara lain kebudayaan sukubangsa), tingkat ekonomi, lama tinggal di kota, profesi, dan lingkungan yang dihadapi di kota (termasuk antara lain kepadatan wilayah kota tempat mereka tinggal, pola kebudayaan dan pengelompokan pemukiman di sektor kota tempat mereka tinggal).

Model yang digunakan dalam contoh mengenai rumah tersebut di atas, dapat juga digunakan untuk mengkaji wujud tata ruang lainnya, seperti misalnya, tempat pemukiman, kampung, desa, kota, dan bahkan juga wilayah. Pengkajian tersebut di atas, belum lagi memperhitungkan macam-macam komponen/unsur- unsur yang ada dalam ruangan dan penataan unsur-unsur tersebut sehingga menciptakan suatu ruangan yang sesuai dengan fungsinya bagi situasi-situasi sosia dimana interaksi-interaksi sosial diwujudkan.

Tata Ruang dan Masalah-masalah Sosial

Masalah sosial dapat didefinisikan sebagai suatu gejala sosial yang dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan sebagai sesuatu yang tidak biasa, tidak benar, dan merugikan mereka. Masalah sosial dapat juga dilihat dengan kacamata pengukuran ilmiah sebagai suatu gejala yang merugikan para warga masyarakat walaupun para warga masyarakat tersebut tidak sadar akan hal itu. Biasanya setelah suatu hasil penemuan ilmiah berkenaan dengan gejala sosial yang merugikan warga masyarakat tersebut disebar luaskan di dalam masyarakat yang bersangkutan, barulah para warga masyarakat tersebut sadar akan adanya masalah sosial tersebut.

Kebudayaan selalu berada dalam proses berubah. Perubahan kebudayaan tersebut bersumber pada perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur yang ada dalam eko-sistem, dimana manusia, kebudayaan dan masyarakat merupakan sebagian lain eko-sistem tersebut. Perubahan kebudayaan yang dialami oleh suatu masyarakat biasanya berjalan secara lambat dan bertahap, sehingga perubahan tersebut tidak dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan pada umumnya, sehingga karena itu juga masalah sosial tidak terwujud dalam masyarakat seperti tersebut di atas.

Tetapi dalam keadaan yang khusus, yaitu misalnya, karena dilaksanakannya program pembangunan (yang terwujud dalam bentuk serangkaian usaha untuk menaikkan taraf hidup, baik secara kwalitatif maupun kwantitatif) dalam masyarakat yang bersangkutan, perubahan kebudayaan yang terwujud dapat berjalan dengan amat cepatnya. Dan sebagai hasilnya, juga, berbagai masalah sosial terwujud dan dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karenan hakekat pembangunan itu sendiri yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, berarti meningkatkan taraf konsumsi; dan meningkatkan taraf konsumsi harus dipenuhi oleh benda dan jasa. Pemenuhan konsumsi pada benda dan jasa secara kwantitas dan kwalitas hanya dapat dilakukan semaksimal mungkin kalau pengeksploitasian yang semaksimal mungkin juga dilakukan terhadap sumber daya yang ada dalam lingkungan alam, pisik dan terhadap manusia sendiri. Eksploitasi khususnya eksploitasi atas sumber daya alam, menyebabkan terjadinya perubahan dalam tata ruang, yang menyebabakan perubahan pada berbagai sektor kehidupan ekonomi, dan pada pola kehidupan sosial yang sudah ada sebelumnya. Karena tidak semua warga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan, dan bahkan ada yang menjadi korbannya, berbagai masalah sosial terwujud dalam masyarakat (antara lain kejahatan dan pelacuran). Contoh seperti tersebut di atas telah saya perlihatkan dalam laporan pendahuluan studi saya mengenai perubahan lingkungan hidup sosial di Citeureup (1980). 




Kota Dadakan


Kota Dadakan

Di negara berkembang yang sarat dengan perubahan, perencanaan kota sebaiknya merupakan latar yang mampu secara kenyal mewadahi perubahan fungsi dan tuntutan kebutuhan serta perilaku penduduk kotanya.

Perencanaan kota yang open-ended akan menciptakan lingkungan yang memberikan tingkat kebebasan dan tindakan yang lebih bervariasi, disamping pelibatan masyarakat yang lebih besar, dan peluang untuk penyesuaian secara kreatif, bahkan modifikasi.

Misalnya jalan yang dianggap oleh kebanyakan perencana kota hanya sekedar prasarana lalu lalang dan ruang transisi semata-mata, berpeluang juga untuk dimanfaatkan sebagai ruang kegiatan yang bermanfaat.

Di Semarang, Jogya, dan Solo, misalnya, jalan bukan semata-mata hanya untuk menampung arus lalu lintas, melainkan juga sebagai ruang terbuka bagi kontak sosial, wadah kegiatan upacara, rekreasi, dan bahkan untuk aktivitas perdagangan. Kehadiran pedagang kaki lima (pedagang kelana) yang mobil, misalnya, akan memberikan citra tersendiri pada wajah kota.

Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso, bakmi, dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil menumbuhkan suasana akrab beskala manusia. Munculnya pun hanya pada saat-saat tertentu saja, biasanya malam hari. Lantas, kondisi seperti itu mereka sebut instant city alias kota dadakan.

Hongkong juga dikenal sebagai kota yang dalam pola tradisionalnya memanfaatkan jalan sebagai tempat percampuran berbagai macam kegiatan. Jelas, pada lingkungan baru yang direncanakan sampai ke detail-detailnya, lingkungan yang penuh semangat kehidupan semacam itu tidak tercipta (Rapoport, 1980).




Standar-Standar Permukiman



Standar-Standar Permukiman 

Kesehatan dan syarat-syarat kehidupan di daerah-daerah perkotaan tergantung kepada adanya berbagai macam perlengkapan dan pelayanan tertentu. Adapun perlengkapan–perlengkapan tersebut minimal sebagai berikut:
1. Air, listrik, gas
 Persediaan air bersih untuk keperluan minum, masak, mandi dan mencuci perlu ada dalam tiap- tiap rumah, dan juga di setiap tempat bekerja, pendidikan, rekreasi dan sebagainya.
2. Pembuangan kotoran dan air hujan
 Tiap-tiap rumah mempunyai kakus yang memenuhi persyaratan kesehatan, yaitu yang dihubungkan dengan septictank atau dengan sistem riool. Kakus seperti itu harus pula disediakan untuk keperluan umum dan di tempat- tempat yang banyak orang berkumpul. Suatu sistem pengaliran air, yang direncanakan dengan baik, harus disediakan untuk mengalirkan air kotor, air huja yang datang dari bangunan, pekarangan, jalan, dan sebagainya, dan untuk mencegah kebanjiran selama ada hujan lebat.
3. Penempatan- penempatan utilitas
 Saluran-saluran air dan gas serta listrik sering ditempatkan di bawah tanah, tetapi haruslah sedemikian rupa sehingga mudah dicapai bila perlu mengadakan pemeriksaan, penggantian, atau pembetulan. Saluran-saluran tersebut tidak boleh di tempatkan di bawah jalan- jalan yang diperkeras untuk menghindarkan gangguan- gangguan lalu lintas bila diperlukan pembongkaran. Apabila terpaksa dibuat melintang jala, dibuatlah lorong untuknya yang cukup besar untuk pemeriksaan.
4. Pembuangan sampah
 Berupa tong-tong kosong yang dapat ditutup dan mudah dibersihkan. Disediakan pula di pekarangan tiap rumah dan di pekarangan bangunan lainnya serta mudah dicapai dari jalan.

Selain itu, pada perumahan harus juga disediakan kebutuhan hidup penduduk sehari- hari seperti makanan, pakaian, pendidikan, rekreasi, dan sebagainya yang seluruhnya haruslah dalam jarak yang tidak terlampau jauh dari perumahan mereka. Adapun pelayanan- pelayanan masyarakat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Taman Kanak- kanak (4 - 6 tahun)
2. Lingkungan berbelanja di rukun kampung
Suatu lingkungan untuk berbelanja harus disediakan dalam tiap- tiap rukun kampung yang mudah dicapai dari tiap- tiap rumah, dan terdiri dari satu pasar/swalayan dan sejumlah toko-toko bersama dengan tempat perhentian bermacam- macam kendaraan :
 Pasar di Rukun Kampung
Pasar merupakan sebagian dari lingkungan tempat berbelanja suatu rukun kampung. Jumlah banyaknya petak penjualan diperhitungkan atas dasar, tiap 5 petak penjualan untuk tiap- tiap 1.000 orang penduduk. Luas tanah yang disediakan untuk keperluan pasar dalah sekuarang- kurangnya 500 m² untuk tiap 1.000 orang penduduk.
 Toko- toko di Rukun kampung
 Toko merupakan bagian daripada lingkungan berbelanja suatu rukun kampung. Jumlah toko diperhitungkan atas dasar tiap 5 toko untuk tiap – tiap penduduk. Jumlah tanah yang harus disediakan untuk keperluan ini sekurang- kurangnya 1000m² untuk tiap 1000 orang penduduk.
3. Balai Pertemuan
 Balai pertemuan digunakan untuk mengadakan pertemuan – pertemuan, hiburan, keperluan sosial dan keperluan pendidikan. Luas tanah yang diperlukan untuk balai pertemuan adalah minimum 250 m² untuk tiap 1000 orang penduduk.
4. Balai Kesehatan
 Balai kesehatan harus disediakan di tiap rukun kampung dan merupaka sebagaian daripada pusat lingkungan tetapi harus ditempatkan jauh dari tempat yang kotor dan bising seperti pasar, sekolah,dll. Balai kesehatan ini harus memiliki jalan masuk tersendiri dan dilengkapi dengan ruang tunggu, ruang periksa, KM/WC, tempat parkir ,dan sebagainya. Luas tanah yang diperlukan untuk balai kesehatan ini adalah seluas 200 m² untuk tiap 1000 orang penduduk.
5. Musholla atau Masjid
 Minimal satu musholla atau masjid harus disediakan dalam tiap rukun kampung dan harus merupakan bagian dari pusat lingkungan kediaman. Disamping memperhatikan syarat-syarat keagamaan, syarat- syarat lain harus pula diperhatikan, seperti letaknya harus jauh dari tempat- tempat ramai. Luas tanah minimal yang harus disediakan untuk keperluan tersebut adalah 250 m² untuk tiap 1000 orang penduduk.
6. Rekreasi dan daerah hijau
 Taman di rukun kampung
 Harus disediakan sebuah taman di rukun kampung. Luas tanah yang diperlukan didasarkan atas perhitungan sekurang- kurangnya 3000 m² untuk tiap 1000 orang penduduk.
 Tempat bermain
 Tempat bermain disediakan untuk anak- anak kecil yang belum bersekolah dan harus pula disebarkan secara merata diseluruh daerah kediaman dalam suatu rukun kampung serta harus berada dalam jarak yang tidak boleh lebih dari 0,5 km dari tiap- tiap rumah. Jumlah luas tanah yang diperlukan diperhitungkan berdasarkan minimal 1000 m² untuk tiap 1000 orang penduduk, masing- masing berukuran minimal 500 m².









Tidak ada komentar:

Posting Komentar