Senin, 30 Juni 2014

METODE DAN STRUKTUR BANGUNAN TRADISIONAL JEPANG


Awal dari perkembangan arsitektur Budhis di Jepang telah mengalami satu proses yang evolusioner. Munculnya sekte-sekte baru dalam agama Budha, berakibat pula pada pembangunan bangunan baru, perubahan kekuasaan, perkembangan teknologi, dan kesemua hal tersebut dapat memberikan sumbangan yang beragam, terutama pada detail-detail bangunanya. Perkembangan desain dari kuil-kuil Budhis yang terdapat di China dan Jepang, merupakan produk yang sangat kompleks meskipun melalui sebuah proses perubahan yang lambat. Dari hasil proses tersebut, akhirnya memberikan adanya perpaduan di antaranya, pengaruh-silang (cross-influences), percampuran (hybridization), perubahan (alteration), dan keunikan (idiosyncrasies). Dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, akhirnya mereka membuat kodifikasi dan standarisasi, terutama yang berkaitan dengan skala dan proporsi. Di China sendiri, desain bangunan pertama kali dikodifikasi pada abad ke-12 melalui publikasi yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah berupa standarisasi bangunan, yang tujuannya adalah untuk menggantikan pedoman yang telah ada yang dikeluarkan sekitar abad ke-8.
Dalam arsitektur klasik barat, arsitek telah menggunakan rincian sistem dari proporsi, dan kebiasaan dari arsitek atau tukang kayu/bangunan (carpenters) domestik, adalah selalu menggunakan metode-metode proporsi yang sederhana. Bagaimana pun pendokumentasian dari metode desain dari para tukang kayu/bangunan adalah sangat langka. Hal ini disebabkan, karena pertimbangan dari beberapa teknik yang mereka gunakan merupakan rahasia profesi. Hal yang sama menjadi benar di Jepang, bahwa tukang kayu/bangunan menyembunyikan metode-metode desain dalam keluarga mereka sebagai rahasia (Larsen, 1994:112). Bila pengetahuan dari kiwari telah dipertimbangkan betul-betul sebagai rahasia, hal ini dimaksudkan agar dapat diteruskan ke generasi berikutnya. Memang telah dipertimbangkan oleh beberapa tukang kayu/bangunan, bahwa publikasi mengenai kiwari ini membahayakan, karena menurut pendapat mereka arsitektur tidak dapat disimpan atau dicatat semata-mata dalam batas-batas peraturan yang tegas. Para arsitek atau tukang kayu/bangunan harus selalu mempertimbangkan lingkungan di tempat bangunan akan didirikan. Dalam praktek ritual, banyak permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam mempelajari peralatan tradisional yang dipergunakan tukang kayu/bangunan dalam merancang bangunan di Jepang, bahkan juga untuk metode dan teknik. Secara historis, kabut rahasia metode dan teknik tukang kayu/bangunan yang spesifik sudah terlihat sejak awal perkembangan arsitektur kuil-kuil sampai dengan bangunan rumah tinggal, mereka telah menggunakan beberapa ukuran, proporsi, teknik dan metode yang sangat indah. Kunci dari desain rekonstruksi adalah untuk menemukan formula proporsi yang asli, dan untuk mengulang kembali harmoni pada beberapa struktur yang berbeda ukuran dan perencanaan. Secara umum, formula proporsi masuk dalam dua kategori, yang pertama meliputi proporsi dari site; dan kedua, proporsi dari komponen bangunan itu sendiri. (Brown, 1989:46) Sebenarnya, pedoman untuk tukang bangunan/kayu di Jepang standarisasinya telah dimulai sejak periode Edo (1603~1867). Namun, dalam perkembangannya, sistim proporsi banyak mengalami perubahan dan perbedaan, dan kesemuanya tergantung pada periode, wilayah dan workshop (bengkel) perorangan, tetapi pada dasarnya serupa (Coldrake, 1990:24).
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai desain yang dinamis dari penempatan proporsi dan ukuran bangunan kuil-kuil dan komposisi bangunannya. Seberapa besar peran dari metode kiwari dan teknik kiku, yang digunakan sebagai dasar standard ukuran untuk menentukan ukuran dari keseluruhan rangka bangunan, proyeksi dari lengkungan atap, tinggi atap, dan lain sebagainya. Munculnya perubahan modul struktur ke modul spasial dalam desain ruangan yang memposisikan kolom menurut dimensi dan aransemen dari tatami. Bagaimana penerapan proporsi dalam bangunan rumah tinggal dan tokonoma yang menjadi standar ukuran di Jepang sampai saat ini.

PENGGUNAAN PROPORSI DAN UKURAN PADA KUIL-KUIL BUDHA
Pada tahun 552 AD, Budhisme masuk ke Jepang melalui Korea (melalui kerajaan Paekche), dan kemudian berkembang pesat terutama di kota Nara. Tipe-tipe bangunan yang ada pada waktu itu merupakan hasil sentuhan para tukang bangunan/kayu yang berasal dari Korea. Pada awal periode tersebut, ada dua tipe bangunan, yaitu pagoda (to) untuk menempatkan peninggalan-peninggalan Budha, dan golden hall/main hall (kondo) untuk menempatkan lukisan-lukisan atau patung-patung Budha. Bangunan-bangunan tersebut di kelilingi oleh koridor beratap (kairo) dengan sebuah gerbang (mon) yang sangat menonjol, dan juga terdapat beberapa bangunan-bangunan pendukungnya. Kuil-kuil yang paling awal adalah Asuka-dera dan Shitenno-ji, keduanya mengikuti pola simetris dan kaku, serta prototip dari China dan Korea. Di dalam bangunannya terdapat berbagai macam detail, namun pada komposisinya lebih tegas, yaitu dengan adanya pagoda yang menjulang tinggi, hal ini dinyatakan bahwa peninggalan-peninggalan Budha adalah betul-betul lebih dipertimbangkan dari patung-patung yang ditempatkan di dalam bangunan kondo. Denah bangunan-bangunan kuil relatif sederhana, hal ini disebabkan, karena keterbatasan di dalam menentukan sistem struktur pada balok dan kolom (post and lintel). Panjangnya kemungkinan berubah walaupun lebarnya terbatas, tergantung pada jarak balok melintang yang dapat menjangkau tanpa diberikan tambahan.
Kuil yang paling terkemuka adalah Horyu-ji, di Nara, didirikan pada tahun 607 AD oleh pangeran Shotoku. Pada halaman tengah dari kuil ini terdapat bangunan dengan struktur kayu yang paling tua di dunia, yang dibangun kembali setelah mengalami kebakaran. Desain yang dinamis dari bangunan kuil ini telah ditampilkan dengan baik sekali, akan tetapi prinsip pola simetris yang sama persis seperti dari negara asalnya sama sekali tidak ambil dengan bebasnya oleh para tukang bangunan/kayu di Jepang. (Gambar 1)

Gambar 1. Pola penataan bangunan pada komplek kuil Horyu-ji di kota Nara Jepang. (Suzuki, 1980)
Pada kasus bangunan kondo di kuil Horyu-ji, terbagi ke dalam 5 trave panjangnya, tetapi masing-masing ukuran dari 3 trave di tengah masing-masing dengan 9 koma-jaku (unit standard ukuran berasal dari kerajaan Koguryo di Korea, kurang lebih sama dengan 35 cm), dan 2 trave terakhir masing-masing dengan 6 shaku, dengan demikian rationya menjadi 1:1.5 (Suzuki, 1980:51). (Gambar 2)

Gambar 2. Denah, tampak depan, dan potongan dari kondo (golden hall/main hall) kuil Horyu-ji. (Kidder, 1972)
Dalam mendirikan pagoda, tukang bangunan/kayu memakai modul dengan ukuran .75 koma-jaku. Trave di tengah dari lantai pertama mempunyai ukuran lebar 10 unit; dua sisi trave masing-masing adalah 7 unit, total luas menjadi 24 unit, atau 18 koma-jaku (kurang lebih 6.4 m). Untuk bagian atas lebar total dari rangka masing-masing lantai berkurang dengan 3 unit modul. Pada lantai ke dua trave di tengah ukurannya 9 unit; dua sisi trave masing-masing 6 unit, pada lantai ke tiga berturut-turut adalah 6 unit dan 5 unit; pada lantai ke empat adalah 4 unit dan 7 unit; lantai ke lima lebarnya adalah 2 trave, masing-masing trave menjadi 6 unit. Dari permukaan bidang masing-masing lantai berkurang, seperti satu naik ke atas, akan tetapi ukuran sistem penyangga dan kayu sedikit berubah, dan rangka kayunya menjadi lebih tidak teratur. Hal ini, disebabkan dengan ketidakteraturan pada lantai ke lima yang terbagi 2 trave, dan resolusinya adalah, detail-detail menjadi tidak seimbang. Pertimbangan diberikan dengan sungguh-sungguh adalah adanya keseimbangan menyeluruh pada strukturnya, dan hal ini merupakan salah satu karakteristik arsitektur periode T’ang dari China di abad ke-8. (Gambar 3)

Gambar 3. Tampak depan dan potongan gojo no to (pagoda lima lantai) pada kuil Horyu-ji. (Nishi & Hozumi,1986)
Tipe-tipe konstruksi dan teknik dasar yang digunakan semenjak periode Nara (646~793), dilanjutkan pada periode Heian (794~1185), dan akhirnya sampai pada periode medieval. Skala dari sebuah bangunan dinyatakan dalam ken, atau jumlah bay (trave), dan men atau jumlah hishashi. (Parent, 1985:11) Istilah bay atau trave menandakan jarak antara dua kolom (hashira) yang teratur dari tengah kolom ke kolom berikutnya. (Suzuki, 1980:22)
Sebagai contoh, denah bangunan 3 trave panjang dan 2 trave lebar dapat dituliskan dengan 3 x 2, arah panjangnya selalu diberikan di pertama. Selain itu, lebar dari trave mungkin berubah dari bangunan ke bangunan atau pun juga dengan bangunan yang sama. (Gambar 4) Kembali mengambil contoh struktur bangunan 3 x 2, jika deretan kolom ditambah satu, dua, tiga atau pada kesemua sisinya, maka bangunan tersebut dapat bertambah satu trave. Ruang (space) yang tercipta membentuk semacam gang, dan dalam bahasa Jepangnya dinamakan hisashi. Sebagai pusat ruang, adalah inti dari bangunan yang dinamakan moya. Untuk menjelaskan sebuah bangunan yang hishasinya telah ditambah dengan memberikan jumlah dari trave pada moya, maka jumlah dari hishasi menjadi bertambah. Dengan demikian, 3 trave, 4 sisi berarti moya dengan panjang 3 trave dengan hishashi bertambah di sekeliling moya. (Suzuki, 1980:22)

Gambar 4. Denah struktur bangunan. Bangunan dengan trave 3 x 2. (Suzuki, 1980)
Pada kuil Yakushi-ji yang didirikan tahun 718 AD di kota Nara, sangat menarik untuk diperhatikan, ditandai dengan komposisi simetris oleh dua pagoda yang tingginya 33 m, mengapit bangunan kondo. Sebuah aransemen yang merefleksikan image tambahan bagi pemujaan sebagai penghormatan dari peninggalan-peninggalan Budha. Pagoda sebelah barat berisi relics (tulang-tulang peninggalan Budha), sedangkan di sebelah timur terlihat sebagai elemen keindahan. Di kuil Yakushi-ji, eksisting pagoda di sebelah timur memberikan keseluruhan informasi yang sangat penting untuk merekonstruksi kembali sebuah bangunan, tidak hanya pada pagoda di sebelah barat, tetapi juga bangunan lainnya yang terdapat di halaman utama tersebut. Seperti data informasi tentang hubungan antara tinggi dan lebar kolom, antara tinggi kolom dan ukuran dari kumimono (bracket complexes), dan antara jarak dari lantai utama, detail-detail, bidang lengkung dan dekorasi. (Gambar 5) Awal dari investigasi menunjukkan, bahwa pola kuil Yakushi-ji secara keseluruhan telah ditentukan oleh sebuah sistem proporsi yang sederhana berdasar pada ketinggian dari satu bangunan pagoda. Ketinggian pagoda, 120 shaku (shaku adalah standard ukuran Jepang yang berbeda dari setiap periode ke periode, dan dari masing-masing daerah juga berbeda, tetapi kira-kira sama dengan satu kaki). Ketentuan jarak dari pagoda meliputi dimensi dari koridor yang mengelilingi, dan perletakkan dari bangunan lainnya di dalam halaman kuil. (Brown, 1989:46) (Gambar 6) Hal itu diperjelas oleh Kidder, (1972:84), bahwa awal dari bangunan kuil-kuil yang didirikan di Jepang menggunakan komashaku atau Korea foot sebagai unit ukuran. Kemudian sedikit membesar dibanding ukuran shaku Jepang, ialah 1.158 dari ukuran Inggris foot.

Gambar 5. Denah, potongan dan detail bracket complex (kumimono) pada pagoda tiga lantai (sanju no to) di bagian timur dari kompleks kuil Yakushi-ji. (Hirotaro, 1992; Brown, 1989)

Gambar 6. Diagram proporsi pada kompleks kuil Yakushi-ji. Lingkaran-lingkaran menunjukkan faktor utama yang sangat menentukan, adalah 120 shaku atau dalam ukuran “feet” (jarak dari pondasi sampai ke finial pagoda yang di sebelah timur). (Brown, 1989)

METODE KIWARI DAN TEKNIK KIKU
Pada periode Asuka (552~645), Nara dan Heian, para tukang bangunan/kayu menggunakan teknik kiku yang berbeda untuk menentukan lengkungan dan pertemuan dari rangka atap. Kesempurnaan bentuk dari bangunan hampir pasti tepat, bila menggunakan metode kiwari (sistem proporsi) dan teknik kiku (teknik desain untuk bagian atap dan penempatan dari usuk) dalam desainnya. Khususnya dalam sejarah teknik desain –metode kiwari dan teknik kiku– adalah elemen paling penting dalam perjalanan sejarah arsitektur Jepang (Larsen, 1994:164). Istilah kiwari untuk sistim proporsi arsitektur Jepang telah diperkenalkan sejak periode Momoyama (1574~1614), ki mempunyai arti kayu, dan wari berarti membelah atau membagi. Kiwari, adalah sebagai pengertian dasar mengenai ukuran standard, dan tukang bangunan/kayu dapat menentukan ukuran untuk keseluruhan rangka bangunan, proyeksi dari lengkungan atap, tinggi atap, dan lain sebagainya. Proporsi tersebut dituliskan dalam sebuah buku dinamakan kiwarisho, dan bila perancang bangunan mengikuti arahan tersebut dengan benar, maka dia telah menghasilkan struktur yang sangat berguna. Sebagai contoh, (Gambar 7) ilustrasi kiwarisho yang menunjukkan proporsi Nagare-zukuri. Style dari bangunan kuil Shinto ini sebenarnya dibangun dengan menggunakan beberapa ukuran. Akan lebih berhasil bila sepanjang proporsi dari unsur yang paling utama, yaitu struktur rangka bangunan saling berhubungan antara satu dengan lainnya ditata seterusnya dalam satu diagram. (Nishi & Hozumi,1986)
Dalam praktek tradisional, konstruksi dari bangunan tidak didasarkan pada gambar-gambar detail arsitektur yang ditentukan oleh teori-teori tertulis, tetapi pada modul-modul mendasar di dalam praktek tradisional (Coldrake, 1990:24).

Gambar 7. Ilustrasi dari buku proporsi (kiwarisho). (Nishi & Hozumi,1986)
Bagaimana pun juga, kiwari tidak dapat eksis secara bebas, tetapi harus mempunyai hubungan dengan konstruksi. Rangka bangunan harus dipotong dalam dimensi-dimensi yang cukup untuk dapat mengambil beban yang ditetapkan dan mendukung kekuatan lateral. Untuk itu, hal yang penting adalah, bahwa tukang bangunan/kayu harus mempunyai pengalaman untuk mampu menentukan ukuran kerangka bangunan yang berhubungan dengan struktur. Sebagai tambahan mereka harus mempunyai pengetahuan mengenai sistem proporsi. Ada beberapa sistem standard dari kiwari, berdasar pada: 1) diameter dari kolom; 2) jarak dari trave antara kolom ke kolom; dan 3) jarak antara as usuk (rafters, shi) ke as usuk berikutnya, atau jarak bagian tepi dari satu usuk sampai ke tepi bagian usuk yang sama berikutnya.
Lebih lanjut, teknik kiku memperbolehkan tukang bangunan/kayu untuk merekonstruksi rangka dari garis lengkung atap dan bagian atap dengan tepat. Metode dengan model proporsi dan perhitungan geometris ini berkembang cepat mulai abad ke-12. Sebagai contoh, penggaris berbentuk L (kane-jaku atau sashi-gane) dari bahan baja yang digunakan oleh tukang kayu/bangunan Jepang, adalah merupakan alat yang utama digunakan untuk merancang atap dengan menggunakan teknik kiku (Larsen, 1994:111). Sejak dahulu alat ini telah digunakan di Jepang, dan nama kane-jaku diambil dari dokumen di abad ke-8.
Sistem yang terakhir, telah diperkenalkan pada periode Kamakura (1186~1333), yaitu dengan sistem roku-shi-gake atau sistem “6 dalam 1”, dan erat hubungannya dengan perkembangan dari teknik kiku. (Gambar 8)
Gambar 8. Salah satu contoh dari metode kiwari. Proporsi diameter kolom dan ketinggiannya. (Brown, 1989)
Pada periode Kamakura, usuk (rafters) yang terlihat, adalah usuk pada bagian dasar (jidaruki) dan usuk yang menopang di atasnya (hiendaruki), mempunyai jarak yang sama pada seluruh bagian dari atap. Usuk-usuk tersebut diletakkan dalam satu posisi yang telah ditetapkan sebelumnya yang semuanya berhubungan dengan penempatan kolom. Enam usuk ditata dengan dua usuk, yang masing-masing diposisikan di atas tiga blok bantalan (bearing block atau makito) kecil dari satu bracket complex yang disangga oleh satu blok bantalan yang besar (daito) di atas kolom. Metode untuk membuat jarak dari usuk ini dinamakan dengan sistem roku-shi-gake. Sistem ini pertama diperkenalkan pada konstruksi tiga lantai bangunan pagoda Ichijo-ji di tahun 1171. (Gambar 9) Hal ini, bukanlah suatu kejadian kebetulan, bahwa sistem “6 dalam 1” adalah untuk memberikan jarak usuk yang pertama muncul dalam konstruksi pagoda, tetapi disebabkan bahwa pagoda merupakan tipe bangunan yang paling rumit untuk di desain. Lebih lanjut untuk memperbaiki desain dari pagoda, tukang bangunan/kayu di Jepang pada periode medieval telah memperkenalkan, yaitu jumlah usuk dari atap lantai satu ke atap lantai di atasnya berkurang (gradual upwards-decreasing). Hal ini, digunakan untuk pagoda dengan dua lantai dan lima lantai. Metode ini dinamakan isshi-ochi. Normalnya, sebuah pagoda mempunyai tiga trave, dan pada trave di tengah lebih lebar dibandingkan dua trave di sisi kanan-kirinya. Idealnya, jumlah dari usuk sebaiknya berkurang dengan dua dari lantai satu keberikutnya pada trave di tengah, dan dengan satu usuk setiap trave ke dalam sisi trave-travenya.

Gambar 9. Sistem roku-shi-gake dan isshi-ochi. (Larsen, 1994; Hirotaro, 1992)
Ada beberapa pedoman untuk tukang bangunan/kayu dan dikenal dengan berbagai macam di antaranya seperti, hidensho (“secret hereditary writings”), hinagata-bon (“pattern books”) dan gijutsusho (“technique books”), dan kesemuanya itu bukan pedoman untuk “bagaimana membangun” dalam arti ketrampilan dan keamatiran, namun buku tersebut sampai saat ini digunakan sebagai petunjuk dan sangat familiar. (Coldrake, 1990:38) Pedoman tersebut dikemukakan dalam tulisan dan bentuk-bentuk diagramatis sistem proporsi, atau dikenal dengan kiwari, yang menjadi dasar pekerjaan tradisionil untuk desain bangunan. Pedoman didasarkan pada kearifan dan pengalaman yang terus-menerus dari generasi para tukang bangunan/kayu di dalam mengkonstruksi bangunan. Sebenarnya, pada abad ke-18 dan ke-19 pertimbangan aestetik dari proporsi telah menjadi lebih penting dibandingkan dengan strukturnya.
Buku pedoman yang lain, adalah buke hinagata (pedoman untuk arsitektur rumah tinggal bagi para samurai) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1655, merupakan salah satu pedoman penting yang menetapkan standard untuk desain arsitektur serta memberikan pengetahuan dan pendekatan desainnya kepada para tukang bangunan/kayu. Bagian ini, menjelaskan munekado, sebuah lengkungan pada atap (gable-roof) pada pintu gerbang yang digunakan oleh para aristokrat (bangsawaan) dan para bhiksu, yang mengungkapkan tipikal blok-blok bangunan dan metode desainnya. Sebagai contoh, apa yang secara harafiah tertulis di dalamnya, seperti: lebar dari kedua kolom harus sudah diperhitungkan dengan sun. Kolom-kolom yang digunakan adalah bulat. Balok lintang yang utama dan balok lintang tambahan tingginya adalah, 51/2 bu. Permukaan yang terendah (lebarnya) adalah, 1/3 dari diameter kolom. (Coldrake, 1990:38)
Istilah sun dan bu adalah dikenal sebagai modul blok-blok bangunan, ruang antara kolom betul-betul dipertimbangkan modul lebarnya menjadi 1 shaku, lebar kolomnya menjadi 1/10 dari trave. Oleh karena itu, tukang bangunan/kayu telah mengetahui: “ke dua kolom bulat harus sudah diperhitungkan sebagai 1/10 dari lebar travenya. Tinggi dari balok lintang utama dan tambahan adalah 0.55 dari diameter kolom utama, dan lebarnya adalah 0.34 dari diameter kolom”.
Di Jepang, modul utama dari kolom dan balok adalah trave, kemudian dibagi ke dalam 6 unit bagian yang dinamakan shaku (feet), lebih lanjut masing-masing dibagi ke dalam 10 sun (inches). Masing-masing sun terdiri dari 10 bu, dan masing-masing bu terdiri dari 10 rin. Shaku ukuran yang ditandai dengan unit sun dan bu aslinya masih tersimpan di Shosho-in, di kota Nara. Panjang 29.6 cm, lebar 3.53 cm dan tebalnya 1 cm. (Kidder, 1972) (Gambar 10)
Oleh karena itu, sebuah kolom lebarnya barangkali 1 shaku, atau 1/6 dari lebar trave, pada beberapa bangunan panjangnya mungkin berbeda, tergantung dari tradisi bengkel, fungsi bangunan, atau ukuran dan ketersediaan jenis kayunya. (Coldrake, 1990:25) Instruksi untuk pedoman bagi para tukang bangunan/kayu di dalam menetapkan lengkungan dari atap, tertulis sebagai berikut: untuk membuat lengkungan atap, membagi panjang dari lengkungan ke dalam 10 unit (bu), seperti terlihat dalam diagram. Membagi lebar dari list plank (barge board) ke dalam 8 unit bagian di bagian tengah, kemudian naik 10 unit ke ujung tepi dari unit 1..... kemudian turunkan lengkungan menjadi 5 unit pada ujung unit ke-5. (Shoke Hinagata, 1856) (Gambar 11) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pintu gerbang adalah di desain menggunakan dua proporsi yang berhubungan dengan modul, lebar dari trave dan diameter dari kedua kolom. Umumnya, di dalam praktek ukuran-ukuran yang pasti sangat bervariasi menurut strukturnya.

Gambar 10. Ukuran shaku pada saat ini. (Brown, 1989)

Gambar 11. Pedoman untuk menentukan lengkungan roof gable pada pintu masuk tempat tinggal para Samurai. (Coldrake, 1990)
TATAMI SEBAGAI MODUL UNTUK MENDESAIN RUANG
Salah satu yang terkenal dalam arsitektur Jepang adalah, adanya unit yang disebut ken, yang sama dengan 6 ft, dan disajikan sebagai dasar ukuran. Beberapa ahli menyatakan, bahwa asal mula ukuran ken dimulai pada awal abad ke-6, ketika ibukota kekaisaran didirikan di kota Nara. (Harada, 1985:48) Sangatlah jelas bahwa pada awal sejarahnya, ken (ma) menunjukkan adanya jarak antara dua kolom dalam sebuah bangunan walaupun banyak macamnya. Dengan beberapa modifikasi, hasil akhirnya ditunjukkan dengan ukuran yang tertentu di akhir abad ke-15, dan tatami (kata tatami berasal dari kata kerja tatamu, yang berarti melipat atau menumpuk) pada waktu itu sangat umum digunakan. (Harada, 1985:48).
Tatami menjadi modul desain kedua yang penting di abad ke-16 dan abad ke-17. Keseluruhan lantai ruangan tertutup dengan tatami, kolom adalah diposisikan menurut dimensi dan aransemen dari tatami. Kebalikan dari prosedur sebelumnya, adalah meletakkan tatami di antara kolom-kolom yang ada. Area dari ruang umumnya diekspresikan dalam hubungan dari jumlah tatami. Hal ini, menandai adanya satu perubahan dari modul struktur ke modul spasial dalam desain di Jepang. Pendapat tersebut diperjelas oleh Nishi & Hozumi, (1986:77), bahwa modul lain yang menyumbang interval harmoni adalah tatami, mempunyai bentuk empat persegi panjang dengan ukuran sekitar satu kali dua meter yang menutup lantai rumah tinggal dalam bangunan shoin (style dari rumah tinggal yang berkembang pada akhir abad ke-16)
Tipikal layout rumah Jepang terdiri dari tiga bagian yang berbeda: area yang ditinggikan letaknya di atas tanah dan ditutup dengan tatami, termasuk semua ruangan; bagian yang ditinggikan dan menggunakan lantai dari papan kayu, termasuk koridor, veranda, dan dapur; dan sebagian kecil bagian yang rendah dan hampir sama ketinggiannya dengan permukaan tanah, termasuk kamar mandi, bagian dari dapur, dan entrance hall. (Boger, 1964:152) Ukuran dari ruangan atau beberapa bagian lain dari rumah yang menggunakan tatami, demikian juga bagian yang menggunakan lantai papan kayu atau lantai yang ketinggiannya sama dengan permukaan tanah, adalah didasarkan pada ukuran tatami sebagai unit ukuran.
Seperti halnya ken, bagaimana pun ukuran tidak terstandarisasi sampai dengan munculnya tiga dasar ukuran tatami di abad ke-18. Di antaranya, adalah kyoma (1.970 mm x 909 mm) yang telah digunakan di Kyoto dan yang terbesar ukurannya. Inakama (1.880 mm x 909 mm) sebagian besar terdapat di wilayah Kanto (sekarang Tokyo), sementara Edo-tatami (1.757 mm x 879 mm) berhubungan dengan Edo, kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan shogun Tokugawa di abad ke-17. (Coldrake, 1990:25) Pada kenyataannya, ukuran kyoma tetap seragam, dan ruangan-ruangan dibuat untuk mengakomodasi jumlah dari tatami, agar tatami menjadi dapat dipertukarkan dengan yang terdapat di ruangan lain. Untuk Edo-ma, tatami dibuat untuk masing-masing ruang yang khusus dan sangat ramping dalam dimensinya, tetapi masing-masing ukuran kira-kira sekitar 6 ft dengan 3 ft. (Harada, 1985:48)
Pada umumnya, ukuran dari kyoma berlaku di wilayah bagian barat Jepang, dan Edo-ma di wilayah bagian timur. Perbedaan dari kedua standard tersebut muncul dari kenyataan bahwa unit ken dahulu adalah digunakan untuk memberikan jarak antar kolom. Di samping itu, pada akhirnya ukuran diambil dari pusat (as) ke pusat antar kolom. Kenyataannya, pada kyoma ukuran dari tatami, adalah tetap dan sama, dan ruang dibentuk untuk dapat memuat jumlah yang pasti dari tatami, sehingga tatami dapat dipertukarkan dengan ruang yang lain.
Meskipun dimensi dari tatami agak berbeda di beberapa tempat, akan tetapi selalu tetap untuk keseluruhan ruang dalam satu struktur tunggal, dan hal itu berhubungan dengan trave antar kolom yang secara efektif memberikan satu unit proporsi. Area dalam ruangan umumnya diekspresikan dengan persyaratan jumlah isi dari tatami. Ukuran dari ruangan adalah dinyatakan dengan jumlah tatami yang menutup ruang lantai keseluruhan, ukuran yang umum dari ruangan yang dikehendaki berturut-turut, 4½, 6, 8, 10, 12, dan 12½ tatami. Dua tatami diletakkan pada sisi memanjang membentuk 6 ft persegi, adalah 1 tsubo merupakan unit dari ukuran untuk permukaan (Harada, 1985:48). Hal ini pun dipertegas oleh Boger, (1964:152), bahwa ukuran sebuah tatami adalah 3 ft X 6 ft. Keseluruhan area dari sebuah rumah, adalah selalu diberikan dengan istilah tsubo, terdiri dari 6 X 6 ft. Gagasan demensi dari tatami sedikit berbeda di beberapa tempat di Jepang, tetapi hal itu selalu konstan untuk keseluruhan ruangan dalam struktur tunggal, dan berhubungan dengan span antar kolom yang efektif memberi kesatuan proporsi untuk keseluruhan. (Nishi & Hozumi, 1986:77)
PENERAPAN KIWARIJUTSU DALAM PROPORSI DESAIN YANG MATEMATIS
Proporsi juga digunakan pada konstruksi dan ukuran dari tokonoma (ceruk di dalam ruangan utama tempat meletakkan gambar atau ornamen lainnya), rak bertingkat (staggered shelves) dan almari dinding (closets) pada toko-waki selalu dipertimbangkan secara hati-hati (Harada, 1985:50). Tokonoma, merupakan ciri penting dari bangunan rumah tinggal di Jepang, dan barangkali mempunyai kelebihan dibanding bagian lain dari konstruksi yang ditentukan oleh penetapan proporsi. Pada umumnya, 1 atau 1½ ken (6 atau 9 ft) panjang dan satu setengah atau seperempat dari ken ke dalam ukuran umum ruangan (Harada, 1985:50).
Kasus lain dapat dilihat pada perencanan bangunan ruangan tamu (guest hall) Kojo-in pada kuil Onjo-ji yang ditemukan di dalam buku shomei, yang isinya mengenai koleksi rahasia dari tukang bangunan/kayu. Ilustrasi ini, adalah milik dari keluarga Heinouchi Yoshimasa, ahli bangunan/kayu untuk shogun Tokugawa. Ilustrasi tersebut, dinamakan “Illustration of an old six-by seven by shuden” yang dibuat pada tahun 1608. (Nishi & Hozumi, 1986:76) Shomei, adalah pedoman yang paling kuno dan dilengkapi dengan desain, dan tatanan proporsi (kiwarijutsu). Dalam buku tersebut, Heinouchi menuliskan, bahwa tukang bangunan/kayu yang ideal, adalah seorang ahli, tidak hanya pandai menggambar di atas kertas, tetapi juga mempunyai pendapat visual (visual estimation) dan terampil. Buku tersebut berisi lima bagian, mencakup beberapa hal di antaranya, pintu gerbang (gate), kuil-kuil shinto, pagoda-pagoda, kuil-kuil Budha, dan rumah tinggal, dan di bagian akhir dari buku tersebut terdapat shuden plan. (Nishi & Hozumi, 1986:76-77)
Prinsip desain dengan menggunakan ketergantungan modul-modul kerja dapat dilihat sebagai berikut. Bila kita memberikan label dengan L sebagai lebar satu trave, jarak dari as kolom satu ke as kolom berikutnya (umumnya sedikit lebih pendek tidak lebih dari 2 m), kemudian lebar dari rak bertingkat (staggered shelves) pun barangkali L, seperti shiki (balok dibagian bawah sebagi rel dari pintu sorong) sampai pada kamoi (balok di bagian atas sebagai rel dari pintu sorong) ditetapkannya pintu sorong (sliding screen). Demikian juga decorative alcove-pun barangkali ditata pada 2 L dan lebar dari kolom adalah 1/10 L. Membawa sistem ini satu langkah lebih lanjut, bila kita menetapkan 1/10 L sama dengan a, kemudian pada siku-siku sudut kolom tersebut berukuran 1/7 a (dinamakan seven bevel atau 7 siku), atau 1/10 a (sepuluh siku).
Selain itu, mereka membolehkan untuk sedapat mungkin lebar dari sebuah decorative alcove mungkin tertentu pada 1 L, 1½ L, 2 L, atau lebih, tergantung pada persyaratan desain dari ruangan. (Gambar 12)
Gambar 12. Proporsi untuk ruang dalam (interior) dan veranda (teras). (Nishi & Hozumi, 1986)
PROPORSI DAN UKURAN YANG DIGUNAKAN DALAM RUMAH TINGGAL
Untuk keperluan konstruksi dan proporsi rumah tinggal di Jepang, ditunjukkan dengan suatu standard yang pasti dalam sebuah konstruksi. Sebagai contoh, untuk rumah kelas menengah, ukuran-ukuran standard adalah sebagai berikut: 2.2 ft dari dasar balok yang bersandar di atas pondasi batu sampai pada bagian atas tatami, 5.8 ft dari permukaan balok lantai dengan tatami sampai pada bagian atas di bawah sisi bagian balok, adalah sekitar 2 inch tingginya di bawah uchinori nageshi dengan 4.5 inch tingginya. Kemudian dinding bagian atas yang pendek dengan atau tanpa ranma (ornamen yang berukir terbuka dan sebagai ventilasi) dengan 3.4 ft, dan di atasnya adalah tenjo nageshi (balok langit-langit) 3⅜ inch tingginya, di atasnya tenjo mawaribuchi mempunyai tinggi 2¾ inch yang letaknya bersandar pada langit-langit, umumnya papan tersebut mempunyai ketebalan kurang dari 0.5 inch. Tinggi langit-langit dari lantai tatami sedikit di atas 10 ft. Standard ukuran dari pintu sorong (sliding screens) yang memisahkan satu ruangan dengan ruangan yang lain atau koridor, dan dimungkinkan untuk dipindah-pindahkan agar ruangan menjadi lebih luas, adalah 5.8 ft x 3 ft, sedangkan partisi antar kolom adalah, 9 ft, 15 ft terkadang 12 ft, dan pada umumnya dibuat empat pintu dengan lebar dari pintu bervariasi. (Harada, 1985:49-50)
Untuk mendapatkan proporsi yang menyenangkan ukuran dari kolom adalah ditentukan oleh panjang dan dimensi dari ruang yang digunakan. Dalam rumah tinggal, kolom-kolom dibuat ukuran 4½ inch persegi jika panjangnya 9 ft; kemudian 43/4 in persegi untuk panjang 11 ft; 5 inch persegi untuk 12 ft; 5¼ inch persegi untuk 13 ft; 5½ inch persegi untuk 14 ft; 5¾ inch persegi untuk 15 ft; 6 inch persegi untuk 16 ft; dan 6¼ inch persegi untuk 17 ft. Ukuran dari kolom menjadi standard untuk seluruh bagian, seperti pondasi dari balok-balok yang harus 10 persen besarnya, balok lantai harus sama lebarnya, balok bagian atas menjadi 90 persen untuk lebar dan 35-40 persen untuk tingginya; untuk balok nageshi yang rendah (di bagian bawah) 80-95 persen untuk tingginya dan balok nageshi yang atas (di bagian atas) dari 60 sampai 65 persen dari dimensi kolom untuk tingginya. (Gambar 13)

Gambar 13. Organisasi serta tipikal rumah tinggal di Jepang. (Harada, 1985)
PENUTUP
Pada periode Asuka, Nara dan Heian, para tukang bangunan/kayu menggunakan teknik kiku yang berbeda untuk menentukan lengkungan dan pertemuan dari rangka atap. Bentuk sempurna dari bangunan secara pasti hampir tepat, bila menggunakan metode kiwari dan teknik kiku digunakan di dalam desain aslinya. Lebih lanjut, teknik kiku memperbolehkan tukang bangunan/kayu untuk merekonstruksi rangka dari garis lengkung atap dan bagian atap dengan tepat. Metode dari model proporsi dan perhitungan geometris ini berkembang cepat mulai abad ke-12.
Istilah kiwari untuk sistim proporsi arsitektur Jepang telah diperkenalkan sejak periode Momoyama (1574~1614), ki mempunyai arti kayu, dan wari berarti membelah atau membagi. Kiwari, adalah sebagai pengertian dasar mengenai ukuran standard tukang bangunan/kayu untuk dapat menentukan ukuran dari keseluruhan rangka bangunan, proyeksi lengkungan atap, tinggi atap, dan lain sebagainya. Pedoman tersebut dibuat dalam tulisan dan dalam bentuk-bentuk diagramatis sistem proporsi, yang merupakan dasar pekerjaan tradisionil desain bangunan. Pedoman didasarkan pada kearifan dan pengalaman terus-menerus dari generasi para tukang bangunan/kayu di dalam mengkonstruksi bangunan.
Tatami menjadi modul desain ke dua yang sangat penting dibandingkan dengan prosedur sebelumnya, yang meletakkan tatami di antara kolom-kolom yang ada. Hal ini menandai adanya satu perubahan dari modul struktur ke modul spasial dalam desain ruangan di Jepang. Meskipun dimensi dari tatami agak berbeda dibeberapa tempat, tetapi selalu tetap bila menempatkan keseluruhan ruang dalam satu struktur tunggal, dan hal itu harus berhubungan dengan trave antar kolom yang secara efektif memberikan satu unit proporsi.
Perencanaan dan layout dari rumah di Jepang telah menghasilkan tidak hanya sebuah pekerjaan dari keindahan arsitektur, tetapi fleksibilitas dalam pelaksanaan, manfaat dari berbagai ruangan bagi pemakainya.
Untuk keperluan konstruksi dan proporsi, telah ditunjukkan dengan suatu standard yang pasti dalam konstruksi rumah di Jepang. Untuk mendapatkan proporsi yang menyenangkan ukuran dari kolom adalah ditentukan oleh panjang dan dimensi dari ruangan yang digunakan.
GLOSSARY
bay (trave) = jarak antara dua kolom
bu = unit ukuran tradisional sama dengan 10 rin, atau kurang lebih 3.03 mm.
buke hinagata = pedoman untuk arsitektur rumah tinggal bagi para samurai
daito = satu blok bantalan yang besar diatas kolom
gijutsusho = buku yang berisi mengenai teknik-teknik
gojo no to = pagoda lima lantai
hashira = kolom
hidensho = tulisan berisi rahasia turun-temurun dari tukang bangunan/kayu
hiendaruki = usuk yang menopang di atasnya
hinagata-bon = buku yang berisi mengenai pola-pola
hisashi = ruang yang tercipta membentuk semacam gang dalam bangunan
Inakama = ukuran tatami yang terdapat di wilayah Kanto (sekarang Tokyo) (1.880 mm x 909 mm)
Edo-tatami = ukuran tatami (1.757 mm x 879 mm)
isshi-ochi = jumlah usuk dari atap lantai satu ke atap lantai di atasnya berkurang
jidaruki = usuk pada bagian dasar
jo = unit ukuran tradisional sama dengan 10 shaku, atau kurang lebih 3.03 cm.
kairo = koridor beratap
kamoi = balok pada bagian atas yang berfungsi sebagai rel dari pintu sorong
kane-jaku atau sashi-gane = penggaris berbentuk L dari bahan baja yang digunakan oleh tukang kayu/bangunan di Jepang
ken = unit ukuran tradisional sama dengan 6 shaku, atau kurang lebih 1.82 m.
kiku = teknik desain untuk bagian atap dan penempatan dari usuk
kiwari = sistim proporsi (ki berarti kayu, wari berarti membelah)
kiwari = satu sistim dari proporsi dasar mengenai modul desain.
kiwarijutsu = tatanan proporsi
kiwarisho = buku tentang sistem proporsi
koma-jaku = unit standard ukuran berasal dari kerajaan Koguryo di Korea, kurang lebih sama dengan 35 cm
kondo = bangunan utama dalam sebuah kuil Budha, dan tempat patung Budha dan lukisan-lukisan ditempatkan.
kumimono (bracket complexes) =
Kyoma = ukuran tatami yang digunakan di Kyoto (1.970 mm x 909 mm)
makito = tiga blok bantalan di atas kolom (bearing block)
men = jumlah dari hisashi
mon = gerbang
moya = adalah core dari bangunan
munekado = sebuah gable-roof pada pintu gerbang yang digunakan oleh para aristokrat dan para bhiksu
Nagare-zukuri = salah satu style bangunan dari kuil Shinto
nageshi = balok yang rendah (di bagian bawah)
ranma = ornamen yang berukir terbuka dan sebagai ventilasi
rin = unit ukuran tradisional kurang lebih 0.303 cm atau 1/10 bu.
roku-shi-gake = sistim “6 dalam 1” posisi penempatan jarak dari usuk di atasnya
sanju no to = pagoda tiga lantai
shaku = unit ukuran tradisional sama dengan 10 sun, atau kurang lebih 30.3 cm
shi = usuk
shiki = balok bagian bawah yang berfungsi sebagai rel dari pintu sorong
shomei = merupakan koleksi rahasia dari tukang bangunan/kayu
shuden plan = terdapat di bagian akhir dari buku tersebut
staggered shelves = rak dengan perbedaan ketinggian
sun = unit ukuran tradisional sama dengan 10 bu, atau kurang lebih 3.03 cm.
tatami = penutup lantai yang terbuat dari jerami
tenjo mawaribuchi = papan yang letaknya bersandar pada langit-langit
tenjo nageshi = balok langit-langit
to = pagoda
tokonoma (decorative alcove) = ceruk di dalam ruangan utama untuk meletakkan gambar atau ornamen lain
tsubo = unit ukuran tradisional sama dengan area dua tatami yang diletakkan sejajar, atau kurang lebih 3.305 m2.
uchinori nageshi = balok. Kemudian dinding bagian atas yang pendek dengan atau tanpa
UNIT UKURAN TRADISIONAL JEPANG
1 rin = 0.303 mm

10 rin = 1 bu = 3.03 mm
10 bu = 1 sun = 3.03 cm
10 sun = 1 shaku = 30.3 cm
6 shaku = 1 ken = 1.82 m
10 shaku = 1 jo = 3.03 m
persegi
1 tsubo = 3.305 m2
- shaku pada periode Nara (T’ang) = .97- .98, shaku saat ini = 115/8 -113/4 inch atau 29.39 - 29.70 cm.
- komajaku (shaku Korea digunakan pada awal periode Nara) sama dengan 1.164 - 1.176, shaku saat ini atau 1 foot 23/8 inch - 1 foot 21/8 inch atau 35.27 - 35.64 cm.
- Kamakura shaku = 1.0004 shaku saat ini, 1 foot 1/16 inch atau 30.42 cm.


DAFTAR RUJUKAN
Boger H. Batterson, 1964, The Traditional Arts of Japan, Bonanza Books, New York
Brown S. Asby, 1989, The Genius of Japanese Carpentry, An Account of a Temple’s Construction, Kodansha International, Tokyo and New York
Coaldrake, William H., 1990, The Way of the Carpenter, Tools and Japanese Architecture, Weatherhill, Inc., New York and Tokyo
Harada, Jiro, 1985, The Lesson of Japanese Architecture, Dover Publication, Inc., New York.
Hirotaro, Ota, 1990, Ko Kenchiku Nyumon, Nihon Kenchikuwa do Ukurareteiru ka, Shokokusha, Tokyo
Hirotaro, Ota, 1992, Nara no Tera-dera, Iwanami Shoten, Tokyo.
Kidder J. Edward, 1972, Early Buddhist Japan, Preager Publishers, New York.
Larsen, Knut Einar, 1994, Architectural Preservation in Japan, ICOMOS International Wood Committee, Trondheim, Tapir Publishers, Norway.
Nihon Kenchiku Gakkai, 1980, Nihon Kenchikushi Zushu, Shokokusha, Tokyo.
Nishi, Kazuo and Hozumi, Kazuo, 1983, Nihon Kenchiku no Katachi: seikatsu to Kenchiku-zokei no Rekishi, Shokokusha, Tokyo.
Parent, Mary Neighbour, 1985, The Roof in Japanese Buddhist Architecture, Weatherhill/Kajima, New York & Tokyo.
Suzuki, Kakichi, 1980, Early Buddhist Architecture in Japan, Kodansha International Ltd., Tokyo.

Minggu, 29 Juni 2014

Elemen Pembentuk Kota



Pendekatan perancangan kota meliputi semua domain ; ekonomi, sosial budaya, militer, seni, teknologi, politik, dan sebagainya tergantung tujuan dibangunnya sebuah kota serta kegiatan utama penduduknya. Berdasarkan pendekatan – pendekatan tersebut, elemen – elemen pembentuk kota disusun dan dianalisis dalam perancangan. Dari pendekatan tersebut pula banyak jenis kota yang diciptakan sesuai dengan peruntukannya; kota tambang, kota tekstil, kota industri, dan sebagainya. Ankara (turki) dan Cambera (Australia) lahir dari kebutuhan politik, Besancon dan Metz (perancis) lahir dari kebutuhan pertahanan.

Amos Rapaport (1985) yang melakukan studi permukiman tradisional dibeberapa negara menyimpulkan bahwa, pengaturan lingkungan permukiman manusia, merupakan wujud pengejawantahan manusiayang merasa perlu mengatur jagad raya ini, dimana semua kebudayaan mempunyai suatu system pengaturan lingkungan permukiman secara sendiri – sendiri; mereka berkomunikasi secara simbolis melalui pengaturan lingkungan. Semua lingkungan mempunyai makna dan mereka menggambarkan makna itu dalam bentuk skema, prioritas, preferensi dan kebudayaan dari penciptanya. Pada kebudayaan tradisional, pengaturan berdasarkan agama dengan maksud untuk mengatur kekacauan dunia dengan meniru suatu pengatura ideal, yaitu pengaturan dan harmoni surgawi.

Kota tradisional pada umumnya dibangun dari elemen elemen berikut; pusat (kosmologi, pemerintahan, ritual) sumbu – sumbu maya, gunung kosmis, pembagian ruang atas sakral dan profane, permukiman yang dikelompokkan atas gender, strata sosial dan sebagainya. Akibat perkembangan zaman, perkembangan permukiman tradisional, aturan agama dan sosial di geser oleh faktor teknologi dan ekonomi. Dari faktor teknologi dan ekonomi melahirkan konsep “ form follow function “, yaitu suatu konsep yang menitik beratkan suatu hasil desain atau perancangan dari segi fungsional, konsep tersebut nampaknya lebih praktis, lebih rasional dan fungsional, dengan motor teknologi membuahkan hasil yang nyata di beberapa negara maju.

Menurut Weber (1947) beberapa kreteria untuk merancang sebuah kota yaitu sebuah wilayah yang luas dimana habitat hidup bersama, sekumpulan rumah – rumah yang membentuk Aglomerasi yang luas dan spesifik, tempat berdagang dimana sebagian besar penduduknya hidup dari industri, sebuah organisasi ekonomi sekaligus pengaturan kota.

Berdasarkan pendekatan - pendekatan diatas Kus Handinoto membagi kota dalam empat elemen :

  • Elemen wisma merupakan perpaduan antara wadah dan isi (manusia, penduduk).
  • Elemen karya atau tempat kerja dan usaha diaplikasikan dalam bentuk tata guna lahan dan fungsi bangunan yang meliputi penggunaan lahan, kondisi lokasi, hubungan fisik, agrarian dan peraturan
  • Elemen marga diaplikasikan dalam transpormasi dalam arti luas yang meliputi perhubungan darat, laut dan sungai serta udara.
  • Elemen suka diaplikasikan dalam bentuk lapangan olah raga, sekolah, ibadah, kesehatan dan keperluan sehari – hari.
  • Elemen lainnya adalah penyempurna yang terdiri dari saluran air minum, sampah, segala potensi yang ada dan hambatan, utilitas, fisik dan lain – lain

Kamis, 26 Juni 2014

Mendayagunakan Perasaan dan Pikiran Dalam Mengapresiasi Arsitektur

Tulisan ini dibuat sebagai tugas untuk mata kuliah Apresiasi Arsitektur. Pada versi yang dimuat di blog ini telah dilakukan penyesuaian secukupnya, baik berupa perubahan redaksional maupun penambahan gambar. Esensi tulisan masih tetap sama.




Apresiasi berarti penghargaan. Mengapresiasi arsitektur sedemikian rupa berarti memberi penghargaan terhadap karya arsitektur. Pada dasarnya, ia adalah sebuah proses menikmati, mengalami, dan mengamati sebuah karya arsitektur untuk kemudian menilai serta memaknainya. Proses tersebut melibatkan segenap indera manusia sebagai perangkatnya. Sebab, melalui inderalah manusia mengalami sekaligus menyerap input dari dunia di luar dirinya, termasuk bentuk dan ruang arsitektural. Sebagaimana sebuah proses yang berkelanjutan, ia tidak terhenti hanya pada tahapan mengumpulkan masukan. Yang jadi pertanyaan ialah bagaimana masukan tersebut akan diolah kemudian. Dengan pikiran atau perasaankah?

Mengapresiasi dengan Perasaan
Peter Zumthor, seorang arsitek asal Swiss, dalam bukunya yang berjudul Atmosphere mengemukakan pendapat tentang arsitektur yang dianggapnya baik, “Quality architecture to me is when a building manages to move me.” Kualitas arsitektur bagi Zumthor ialah kemampuannya untuk menggugah perasaan. Sebagai seorang arsitek, Zumthor memang lebih dekat pada kutub spiritualis dibanding rasionalis, tercermin dari karya tulis dan rancangnya yang cenderung sentimental. Memahami bagaimana ia berpandangan memberi petunjuk pada bagaimana kita harus mengapresiasi hasil rancangannya: mengandalkan kepekaan rasa dan sensibilitas.

Interior Kolumba Museum oleh Peter Zumthor. (sumber: http://shakespeareintitchfield.weebly.com/uploads/1/5/3/9/15391744/1742674_orig.jpg)


Arsitektur sering disebut-sebut sebagai irisan antara seni dengan ilmu pengetahuan. Ketika dipandang sebagai karya seni, arsitektur jadi memiliki kapabilitas untuk dinikmati dan diapresiasi dengan perasaan. Saat demikian, intuisi mengambil peran, membimbing sang apresiator untuk menemukan dan menghayati arsitektur dalam dimensi emosional. Penilaian terhadapnya pun sudah seyogyanya menjadi sangat subjektif. Sebab apresiator akan cenderung mengacu pada selera yang sifatnya sangat individual bagi masing-masing orang. Dalam hal ini, standar penilaian yang baku jadi tidak relevan dan tidak dapat diberlakukan. Dalam beberapa kasus tertentu, antara satu orang dengan yang lain bisa saja terjadi kesamaan atau kemiripan selera, tetapi tidak cukup untuk dijadikan patokan dalam menelaah kasus-kasus lain dalam cakupan yang lebih general. Sementara itu, arsitektur, bagaimanapun subjektifnya, tetap memiliki sisi pragmatis dan praktis yang harus didekati dari sudut pandang yang lebih objektif. Intuisi dan perasaan, dengan demikian, tidak dapat ditahbiskan sebagai instrumen tunggal dalam menelaah arsitektur.


Mengapresiasi dengan Pikiran
Berbeda dengan perasaan yang intuitif dan subjektif, pikiran atau lebih tepatnya logika bersifat sistematis dan objektif. Saat mengandalkan perasaan dalam menilai sebuah karya arsitektur, seseorang akan berhenti pada indah atau tidaknya sebuah bangunan; menyenangkan atau tidak menyenangkan berada di dalamnya. Estetika cenderung dinilai dengan cara ini. Tetapi, seiring perkembangan keilmuan dan pemikiran, bahkan aspek estetika yang awalnya subjektif dan individual pun mulai didekati dengan sudut pandang yang lebih objektif. Apakah yang membuat sesuatu tampak indah atau sedap dipandang? Di antara hasilnya adalah aturan-aturan estetika seperti irama, proporsi, skala, kesatuan (unity), empasis, dsb. Salah satu contoh produk rasionalisasi estetika adalah konsep Golden ratio yang dicetuskan oleh Vitruvius. Keindahan yang awalnya berada di ranah rasa dirasionalisasikan dengan angka yang tercermin pada proporsinya. Keindahan pun telah dirumuskan.

Vitruvian Man karya seniman Leonardo da Vinci yang menggambarkan konsep Golden ratio pada proporsi tubuh manusia. (sumber: http://economyinmotion.com/wp-content/uploads/2013/11/shutterstock_25285753.jpg)


Tidak hanya untuk sesuatu yang sifatnya visual, aspek-aspek nonvisual pun dapat pula ditelaah dengan pendekatan logis. Sebagai contoh, kenyamanan ruang. Tidak cukup hanya dengan merasa nyaman atau tidak nyaman, pendayagunaan pikiran akan membawa kita lebih jauh untuk menganalisis apa penyebabnya. Mengapa suatu ruang dikatakan nyaman dan yang lain tidak. Ternyata, didapatkan semacam standar bagi suatu ruang untuk disebut nyaman yang meliputi suhu, penghawaan, pencahayaan, dsb. Memang dalam kasus-kasus tertentu ada variabel-variabel lain, terutama dari manusianya sendiri, yang membuat kenyamanan ruang menjadi sesuatu yang subjektif. Tetapi, dalam cakupan yang general, hal-hal semacam ini tetap pada dasarnya bersifat objektif. Dan untuk memahami yang demikian ini, termasuk dalam berarsitektur, logika dan daya pikir menjadi penting pula untuk dilibatkan.


Formulasi Pikiran dan Perasaan
Lalu, mana yang sebaiknya kita pakai dalam mengapresiasi arsitektur? Pikiran atau perasaan? Dalam kasus yang berbeda jawabannya mungkin saja berbeda pula. Ada satu kasus yang lebih cocok didekati secara intuitif, sementara yang lain tampaknya lebih tepat ditelaah dalam kerangka yang sistematis-empiris. Kitalah, apresiator, yang menentukan.

Walau begitu, pertanyaan yang lebih besar lagi adalah ini: mengapa harus memisahkan keduanya, pikiran dengan perasaan? Agaknya kurang bijaksana jika kita harus terjebak dalam dikotomi yang demikian. Manusia, yang disebut-sebut sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia, dibekali akal pikiran dan perasaan sebagai anugerah yang membedakannya dari makhluk Tuhan yang lain. Maka, seyogyanya kedua anugerah tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kita sepatutnya mulai membentuk kerangka pandangan dimana pikiran dan perasaan adalah bagian dari suatu integritas yang bekerja bersama dan sinergis, hand in hand, bukan terpisah.

Ranny Monita dalam artikelnya Imaginary Space yang dimuat dalam jurnal online arsitektur.net memberi contoh yang baik bagaimana proses apresiasi arsitektur dapat melibat-padukan pikiran dan perasaan melalui upayanya “membaca” ruang Church of Light rancangan arsitek Jepang Tadao Ando. Ia memulai proses “pembacaan”-nya dengan menangkap kesan-kesan ruang yang dihadirkan oleh bangunan gereja tersebut (dalam hali ini, ia bisa dikatakan banyak mengandalkan kepekaan rasa dan spasialnya). Selanjutnya, ia mulai menganalisis bagaimana kiranya teknik yang dipergunakan Ando dalam menghadirkan pengalaman ruang yang demikian (di sini ia mulai mempergunakan daya pikirnya). Ia bahkan melangkah lebih jauh dengan menghadirkan sebuah eksperimen ruang tersendiri yang didasarkan dari hasil analisisnya terhadap metode Ando dalam menghadirkan ruang arsitektural rancangannya. Pada akhirnya, ketika perasaan dan pikiran didayagunakan bersama-sama, apresiasi arsitektur berkembang menjadi suatu proses yang menghasilkan luaran akhir yang lebih kaya. (*)

Church of Light karya Tadao Ando. (sumber: http://features.cgsociety.org/newgallerycrits/g64/28764/28764_1292720145_large.jpg)


Referensi
-     Tribinuka, Tjahja. 2014. (http://iplbi.or.id/2014/02/kajian-tentang-apresiasi-arsitektur/, diakses 17 Juni 2014)
-     Zumthor, Peter. 2006. Atmosphere: ARchitectural Environments - Surrounding Objects. Birkhauser Architecture.
-     Monita, Ranny. 2010. Imaginary Space: Re-reading Tadao Ando’s Church of Light. Jurnal Teori & Desain Arsitektur - Arsitektur.net. Volume 4 nomor 1.  (http://arsitektur.net/207/volume-04-no-1-spatial-stories/, diakses 21 Mei 2014)