Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Juli 2014

Catatan Kuliah: Asas Perancangan Arsitektur

Tulisan ini adalah tugas akhir semester yang saya buat untuk mata kuliah Asas Perancangan Arsitektur.

Asas Perancangan Arsitektur

Merancang adalah sebuah proses.  Bagi seorang perancang, asas perancangan merupakan salah satu ‘senjata’ dalam proses tersebut. Asas menjadi semacam landasan pemikiran bagi perancang dalam menentukan gagasan rancangannya, juga sebagai pedoman dan pengarah bagi proses merancang. Asas-asas tersebut antara lain asas estetika, asas fungsional, asas rasional, asas simbolik, dan asas psikologik.
Asas estetika sangatlah erat hubungannya dengan aspek venustas dari arsitektur yang diungkapkan oleh Vitruvius. Penekanannya terutama pada wujud arsitektur sebagai objek rupa yang terkait dengan impresi visual. Sebuah objek arsitektur dibuat estetis melalui penataan bentuk,  bahan (warna/  tekstur),  ukuran, dan  letak, dengan memperhatikan prinsip-prinsip unity, order, dan coherence.
bird nest staidium, bird nest olympic, beijing 2008, olympic, stadium, stadion, stadion sarang burung
Bird Nest Olympic Stadium di Beijing, dibangun sebagai sebuah grand architectural statement dari Kota Beijing sebagai penyelenggara olimpiade kala itu.
sumber gambar:http://th02.deviantart.net/fs25/PRE/f/2008/084/7/e/Olympic_Bird__s_Nest_Stadium_by_lattin1.jpg
Asas fungsional arsitektur menurut pemikiran Mayall mengedepankan fungsi dan peran arsitektur, bagaimana arsitektur itu bertugas dan apa perannya bagi manusia dan dunia. Asas fungsionalitas dalam hal ini sering dirancukan dengan asas utilitarianism yang mengedepankan guna arsitektur. Padahal, fungsi dan guna merupakan dua hal yang berbeda. Fungsi arsitektur lebih cenderung kepada tujuan dibuatnya arsitektur itu sendiri, sebagai contoh sebagai sebuah tempat berlindung, sebagai sebuah pernyataan status, sebagai cerminan budaya, sebagai penanda waktu, sebagai penanda kekuasaan, dsb. Sementara guna lebih merujuk kepada bagaimana arsitektur itu dimanfaatkan oleh manusia, apakah ia menjadi sebuah rumah tinggal, rumah sakit, bank, kantor, sekolah, dsb. Asas fungsional sendiri meliputi sepuluh prinsip perancangan, yakni principle of totality, time, value, resources, synthesis, iteration, change, relationships, competence, dan service.
le corbusier, villa savoye, contoh asas rasional, arsitektur rasional, arsitektur modern, modern architecture, rational architecture
Villa Savoye, karya rancang Le Corbusier yang ternama dan sarat dengan asas rasional dalam konsepnya.
sumber gambar: http://www.ville-poissy.fr/uploads/pics/villa_savoie2.jpg
Asas berikutnya, yakni asas rasional, menekankan pada fungsi arsitektur sebagai sebuah wadah aktifitas manusia serta mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas. Sebagai sebuah wadah, maka ia dapat menjadi penyesuai perilaku manusia yang beraktifitas di dalamnya. Pengolahan ruang yang terjadi banyak dipengaruhi pemikiran bagaimana nantinya ruang itu akan digunakan dan bagaimana arsitektur memenuhi kebutuhan ruang tersebut dengan efektif dan efisien. Penerapan asas rasional sendiri sebagian besar dapat ditemukan pada bangunan berlanggam modern.
piramida louvre, louvre pyramid, musee du louvre, perancis, paris, france, architecture grande, pyramid, glass panel, steel frame
Piramida Louvre, penerjemahan kembali kemegahan masa lampau melalui bentuk piramid dan teknik konstruksi modern.
sumber gambar: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/ff/Louvre-Bannenhaff-mat-Pyramid–w.jpg
Selanjutnya, asas simbolik merupakan asas yang menyertakan sejarah dalam proses merancangnya. Namun, sejarah yang dimaksud di sini bukanlah sejarah yang terkait peristiwa maupun identitas lokal, melainkan kenangan-kenangan akan arsitektur masa lalu yang dibangkitkan lagi melalui karya-karya masa kini. Asas simbolik ini erat hubungannya dengan fungsi arsitektur sebagai sebuah penyampai pesan. Dan penyelesaiannya tentu tidak akan lepas dari upaya agar pesan tersebut dapat ditangkap oleh orang yang mengapresiasinya.Dengan demikian, salah satu penekanan pada asas ini adalah wujud objek, bukannya bentuk seperti pada asas rasional yang mengedepankan keefektifan ruang terkait guna bangunan.
Yang terakhir, asas psikologik. Asas ini berusaha menggabungkan antara asas rasional dan simbologi. Dalam asas ini, pemakai karya rancangan dapat berpartisipasi dalam rancangannya. Asas psikologik berupaya menimbulkan respon dari pengguna dan merangsang fantasinya. Gubahan-gubahan dalam asas ini akan turut mempengaruhi pola perilaku manusia.
Meskipun ada banyak asas dalam perancangan arsitektur yang kelihatannya terpisah, dalam penerapannya, masing-masing asas tersebut tetap memiliki andil dalam membentuk suatu karya arsitektur. Karena, penggunaan asas dalam merancang bukanlah suatu pilihan, melainkan prioritas. Sehingga, bukan tidak mungkin suatu karya arsitektur melibatkan masing-masing asas tersebut dalam proses perancangannya, hanya saja dalam porsi yang berbeda-beda, yang satu mungkin lebih menonjol daripada yang lain. (*)

Kamis, 26 Juni 2014

Mendayagunakan Perasaan dan Pikiran Dalam Mengapresiasi Arsitektur

Tulisan ini dibuat sebagai tugas untuk mata kuliah Apresiasi Arsitektur. Pada versi yang dimuat di blog ini telah dilakukan penyesuaian secukupnya, baik berupa perubahan redaksional maupun penambahan gambar. Esensi tulisan masih tetap sama.




Apresiasi berarti penghargaan. Mengapresiasi arsitektur sedemikian rupa berarti memberi penghargaan terhadap karya arsitektur. Pada dasarnya, ia adalah sebuah proses menikmati, mengalami, dan mengamati sebuah karya arsitektur untuk kemudian menilai serta memaknainya. Proses tersebut melibatkan segenap indera manusia sebagai perangkatnya. Sebab, melalui inderalah manusia mengalami sekaligus menyerap input dari dunia di luar dirinya, termasuk bentuk dan ruang arsitektural. Sebagaimana sebuah proses yang berkelanjutan, ia tidak terhenti hanya pada tahapan mengumpulkan masukan. Yang jadi pertanyaan ialah bagaimana masukan tersebut akan diolah kemudian. Dengan pikiran atau perasaankah?

Mengapresiasi dengan Perasaan
Peter Zumthor, seorang arsitek asal Swiss, dalam bukunya yang berjudul Atmosphere mengemukakan pendapat tentang arsitektur yang dianggapnya baik, “Quality architecture to me is when a building manages to move me.” Kualitas arsitektur bagi Zumthor ialah kemampuannya untuk menggugah perasaan. Sebagai seorang arsitek, Zumthor memang lebih dekat pada kutub spiritualis dibanding rasionalis, tercermin dari karya tulis dan rancangnya yang cenderung sentimental. Memahami bagaimana ia berpandangan memberi petunjuk pada bagaimana kita harus mengapresiasi hasil rancangannya: mengandalkan kepekaan rasa dan sensibilitas.

Interior Kolumba Museum oleh Peter Zumthor. (sumber: http://shakespeareintitchfield.weebly.com/uploads/1/5/3/9/15391744/1742674_orig.jpg)


Arsitektur sering disebut-sebut sebagai irisan antara seni dengan ilmu pengetahuan. Ketika dipandang sebagai karya seni, arsitektur jadi memiliki kapabilitas untuk dinikmati dan diapresiasi dengan perasaan. Saat demikian, intuisi mengambil peran, membimbing sang apresiator untuk menemukan dan menghayati arsitektur dalam dimensi emosional. Penilaian terhadapnya pun sudah seyogyanya menjadi sangat subjektif. Sebab apresiator akan cenderung mengacu pada selera yang sifatnya sangat individual bagi masing-masing orang. Dalam hal ini, standar penilaian yang baku jadi tidak relevan dan tidak dapat diberlakukan. Dalam beberapa kasus tertentu, antara satu orang dengan yang lain bisa saja terjadi kesamaan atau kemiripan selera, tetapi tidak cukup untuk dijadikan patokan dalam menelaah kasus-kasus lain dalam cakupan yang lebih general. Sementara itu, arsitektur, bagaimanapun subjektifnya, tetap memiliki sisi pragmatis dan praktis yang harus didekati dari sudut pandang yang lebih objektif. Intuisi dan perasaan, dengan demikian, tidak dapat ditahbiskan sebagai instrumen tunggal dalam menelaah arsitektur.


Mengapresiasi dengan Pikiran
Berbeda dengan perasaan yang intuitif dan subjektif, pikiran atau lebih tepatnya logika bersifat sistematis dan objektif. Saat mengandalkan perasaan dalam menilai sebuah karya arsitektur, seseorang akan berhenti pada indah atau tidaknya sebuah bangunan; menyenangkan atau tidak menyenangkan berada di dalamnya. Estetika cenderung dinilai dengan cara ini. Tetapi, seiring perkembangan keilmuan dan pemikiran, bahkan aspek estetika yang awalnya subjektif dan individual pun mulai didekati dengan sudut pandang yang lebih objektif. Apakah yang membuat sesuatu tampak indah atau sedap dipandang? Di antara hasilnya adalah aturan-aturan estetika seperti irama, proporsi, skala, kesatuan (unity), empasis, dsb. Salah satu contoh produk rasionalisasi estetika adalah konsep Golden ratio yang dicetuskan oleh Vitruvius. Keindahan yang awalnya berada di ranah rasa dirasionalisasikan dengan angka yang tercermin pada proporsinya. Keindahan pun telah dirumuskan.

Vitruvian Man karya seniman Leonardo da Vinci yang menggambarkan konsep Golden ratio pada proporsi tubuh manusia. (sumber: http://economyinmotion.com/wp-content/uploads/2013/11/shutterstock_25285753.jpg)


Tidak hanya untuk sesuatu yang sifatnya visual, aspek-aspek nonvisual pun dapat pula ditelaah dengan pendekatan logis. Sebagai contoh, kenyamanan ruang. Tidak cukup hanya dengan merasa nyaman atau tidak nyaman, pendayagunaan pikiran akan membawa kita lebih jauh untuk menganalisis apa penyebabnya. Mengapa suatu ruang dikatakan nyaman dan yang lain tidak. Ternyata, didapatkan semacam standar bagi suatu ruang untuk disebut nyaman yang meliputi suhu, penghawaan, pencahayaan, dsb. Memang dalam kasus-kasus tertentu ada variabel-variabel lain, terutama dari manusianya sendiri, yang membuat kenyamanan ruang menjadi sesuatu yang subjektif. Tetapi, dalam cakupan yang general, hal-hal semacam ini tetap pada dasarnya bersifat objektif. Dan untuk memahami yang demikian ini, termasuk dalam berarsitektur, logika dan daya pikir menjadi penting pula untuk dilibatkan.


Formulasi Pikiran dan Perasaan
Lalu, mana yang sebaiknya kita pakai dalam mengapresiasi arsitektur? Pikiran atau perasaan? Dalam kasus yang berbeda jawabannya mungkin saja berbeda pula. Ada satu kasus yang lebih cocok didekati secara intuitif, sementara yang lain tampaknya lebih tepat ditelaah dalam kerangka yang sistematis-empiris. Kitalah, apresiator, yang menentukan.

Walau begitu, pertanyaan yang lebih besar lagi adalah ini: mengapa harus memisahkan keduanya, pikiran dengan perasaan? Agaknya kurang bijaksana jika kita harus terjebak dalam dikotomi yang demikian. Manusia, yang disebut-sebut sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia, dibekali akal pikiran dan perasaan sebagai anugerah yang membedakannya dari makhluk Tuhan yang lain. Maka, seyogyanya kedua anugerah tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kita sepatutnya mulai membentuk kerangka pandangan dimana pikiran dan perasaan adalah bagian dari suatu integritas yang bekerja bersama dan sinergis, hand in hand, bukan terpisah.

Ranny Monita dalam artikelnya Imaginary Space yang dimuat dalam jurnal online arsitektur.net memberi contoh yang baik bagaimana proses apresiasi arsitektur dapat melibat-padukan pikiran dan perasaan melalui upayanya “membaca” ruang Church of Light rancangan arsitek Jepang Tadao Ando. Ia memulai proses “pembacaan”-nya dengan menangkap kesan-kesan ruang yang dihadirkan oleh bangunan gereja tersebut (dalam hali ini, ia bisa dikatakan banyak mengandalkan kepekaan rasa dan spasialnya). Selanjutnya, ia mulai menganalisis bagaimana kiranya teknik yang dipergunakan Ando dalam menghadirkan pengalaman ruang yang demikian (di sini ia mulai mempergunakan daya pikirnya). Ia bahkan melangkah lebih jauh dengan menghadirkan sebuah eksperimen ruang tersendiri yang didasarkan dari hasil analisisnya terhadap metode Ando dalam menghadirkan ruang arsitektural rancangannya. Pada akhirnya, ketika perasaan dan pikiran didayagunakan bersama-sama, apresiasi arsitektur berkembang menjadi suatu proses yang menghasilkan luaran akhir yang lebih kaya. (*)

Church of Light karya Tadao Ando. (sumber: http://features.cgsociety.org/newgallerycrits/g64/28764/28764_1292720145_large.jpg)


Referensi
-     Tribinuka, Tjahja. 2014. (http://iplbi.or.id/2014/02/kajian-tentang-apresiasi-arsitektur/, diakses 17 Juni 2014)
-     Zumthor, Peter. 2006. Atmosphere: ARchitectural Environments - Surrounding Objects. Birkhauser Architecture.
-     Monita, Ranny. 2010. Imaginary Space: Re-reading Tadao Ando’s Church of Light. Jurnal Teori & Desain Arsitektur - Arsitektur.net. Volume 4 nomor 1.  (http://arsitektur.net/207/volume-04-no-1-spatial-stories/, diakses 21 Mei 2014)