Snarkitecture
Pada tahun 1992, seorang praktisi arsitektur bernama Daniel Arsham menyaksikan bagaimana hurricane memporak-porandakan rumahnya. Saat musibah itu terjadi, ia dan keluarganya benar-benar tengah berada di dalam rumah. Sebagai seorang arsitek, Arsham akrab dengan bagaimana arsitektur dirancang serta dibangun dengan berbagai metode. Akan tetapi baginya peristiwa tersebut telah memberikan pengalaman yang sama sekali baru, yakni merasakan bagaimana arsitektur diurai kembali.
“Experiencing that and seeing what architecture is actually made out of and how it’s actually built was an experience – watching architecture explode and walls literally melt and erode and burst open with water and leaves and branches and wind.” (Lee, 2011)
Gambar 1. Richard Chai Pop-Up Store.
Selain arsitektur, Arsham juga berpraktek dalam bidang seni dan performance. Ia menganggap bahwa ketiga ilmu tersebut merupakan ilmu yang saling mempengaruhi satu sama lain., Dalam prakteknya, beliau seringkali memudarkan batas antara ketiga ilmu tersebut. Dengan mengaburkan batas tersebut, gagasan datang kepadanya melalui berbagai macam pengalaman yang tidak diduga-duga, termasuk pengalamannya ketika diterjang hurricane.
“He makes architecture do things it’s not supposed to do, mining everyday experience for opportunities to confuse and confound our expectations of space and form.” (www.snarkitecture.com)
Snarkitecture adalah suatu bentuk kolaborasi antara Arsham dengan kerabatnya, Alex Mustonen. Istilah Snarkitecture terinspirasi dari sebuah puisi karya Lewis Carroll. Puisi itu mengisahkan tentang sekelompok orang yang berkelana mencari monster bernama Snark. Akan tetapi peta yang mereka miliki hanya berupa peta buta, sehingga mereka tidak mengetahui wujud Snark dan dimana posisinya.Snarkitecture kemudian merefleksikan metodenya sesuai dengan ideologi tersebut. Mereka sering bermain bersama dengan seniman atau designer lain dan menciptakan karya yang bebas dari petunjuk pasti. Snarkitecture berfokus kepada investigasi material, struktur dan program, dan bagaimana elemen tersebut dapat dimanipulasi membentuk karya yang baru dan penuh imajinasi. Salah satu karya mereka adalah instalasi retail temporer yang merupakan hasil kolaborasinya dengan seorang desainer bernama Richard Chai seperti terlihat pada gambar 1. Karya ini berupa sebuah instalasinya kerukan menggunakan alat tangan sederhana yang menghasilkan bentuk seperti tanah yang terkena erosi yang disesuaikan oleh sudut pandang Richard Chai sebagai seorang desainer.
DIG adalah instalasi terbaru Daniel Arsham yang menggabungkan antara ilmu arsitektur, seni dan performance menjadi sebuah karya yang sarat makna. DIG merupakan hasil eksplorasi architecture of excavation, yakni menggali apa sebenarnya dibalik permukaan.
“Normally, if you smash a wall corner with a hammer, there would be studs and electrical wire and plumbing and everything else that is hidden within the architecture. The erosions imagine the architecture as a solid form so when they eroded there was actually a white form behind that, as if the wall was a solid entity.” (Lee, 2011)
Arsham mengemukakan bahwa di balik permukaan dinding terdapat sistem, yakni distribusi listrik, air dan limbah. Bayangkan saja apabila sistem tersebut tidak ada, maka tempat tinggal akan mati. Sistem tersebut merupakan hal yang penting namun tersembunyi dan sering terlupakan. Sama seperti yang diutarakan Steve Pile tentang sistem di bawah kota:“Beneath the city, there are connection that make the city work. These connection are not, however, innocent of power relation.” (Steve Pile, 2001). Diluar dari kritik tersebut, instalasi DIG melewati proses desain yang sangat menarik. Prosesnya sangat interaktif dan kontemporer, yakni menggabungkan antara presisi arsitektur dengan seni memahat yang ‘sembarangan’. “The solid volume is excavated and inhabited by basic necessity, but also engages in careful play with the existing architecture of Storefront. DIG uncovers the inconceivable within the conceivable.” (www.snarkitecture.com)
Umumnya tempat tinggal dibangun dengan menciptakan surface yang dapat mendefinisikan volume. Manusia membangun satu alas, empat dinding dan satu atap, dan hal tersebut mendefinisikan ruang dalam. Namun pada umumnya, manusia tidak tahu besaran ruang yang benar-benar dibutuhkan. Manusia menciptakan ruang yang tidak efektif. DIG menyatakan sebaliknya. Proses pembangunan dimulai dengan adanya sebuah solid form yang kemudian digali untuk menciptakan ruang yang dibutuhkan. Menggali dan memahat ‘ruang’ mewakili proses desain yang primitif, yakni menciptakan ruang yang seperlunya saja, dengan pekakas tangan sederhana, yakni palu.
Gambar 2. D for Display/ Exhibition
Gambar 3. I for Intensify/ Installation
Gambar 4. G for Group/ Performance
Instalasi ini terdiri dari beberapa tahap yang berbeda. Pada tahap awal, D for Display / Exhibition, di galeri Storefront akan diadakan talkshow untuk membahas persiapan desain. Terdapat juga maket eksplorasi yang dipajang di dinding galeri. Kemudian dalam tahap selanjutnya, I for Intensify / Installation, galeri Storefront akan dipenuhi oleh foam putih. Fasad galeri ini berubah menjadi seperti gua. Tahap terakhir adalah G for Group / Performance, dimana Daniel Arsham akan membentuk ruang di dalam kubus putih tersebut. Proses membentuk ruang ini dapat dilihat oleh masyarakat umum sebagai sebuah hiburan yang menarik.
Arsham akan bertinggal selama sebulan di dalam galeri, sehingga ruang yang digali benar-benar berdasarkan kebutuhan dasar bertinggal manusia dan dengan demikian dapat memahami konsep primitif secara lebih dalam,. Proses pembuatan ruang tersebut menjadi sangat natural. Salah satu contoh pengembangan ruang secara natural dapat dilihat pada masyarakat miskin kota Nottingham yang mampu menciptakan ruang bawah tanah dengan menggalinya dengan pekakas tangan sederhana. Masyarakat kota Nottingham menyadari apabila mereka menggali tanah terlalu banyak maka tanah kota Nottingham akan runtuh. Sehingga mereka membangun ruang di bawah tanah yang seefisien mungkin sesuai dengan boundary aktivitas mereka sehari-hari seperti terlihat pada gambar 5.
Gambar 5. Diagram kebutuhan ruang untuk bertinggal penduduk Nottingham
Digging through the layers
Gambar 6. Metode eksperimen Digging through the layers
Eksperimen yang terlihat pada gambar 6 merupakan upaya melanjutkan gagasan Daniel Arsham tentang architecture of excavation, yakni metode membentuk ruang dengan ‘menggali’ benda padat. Namun demikian, istilah ‘menggali’ ini didefinisikan lebih luas. Dalam karyanya, Arsham menggunakan dirinya sebagai aktor, solid form sebagai media dan ‘mengeruk’ sebagai perilaku menggali. Dalam eksperimen ini, saya menggunakan ulat sebagai aktor, tumpukkan daun sebagai media dan ‘memakan’ sebagai perilaku menggali. Apabila Arsham menggunakan palu untuk menggali, maka ulat menggunakan organ mulutnya untuk ‘menggali’.
Ulat menjadi objek yang menarik untuk dipelajari karena memiliki hubungan yang kuat dengan daun sebagai tempat tinggalnya. Hal ini selaras dengan metode Arsham ketika ia mengeruk solid foam sekaligus meninggalinya selama satu bulan. Ulat juga melihat daun sebagai makanan sekaligus tempat tinggalnya. Dengan demikian proses pembentukan ruangnya dapat terjadi dengan natural dan tidak terkekang oleh kepresisian desain. Eksperimen ini bertujuan untuk mengamati bagaimana proses ulat memakan daun dilihat sebagai bentuk eksplorasi gagasan dalam metode merancang ruang arsitektur.
Untuk melengkapi kajian, berikut adalah proses metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu (Wikipedia).
- Telur menempel pada daun inang selama 2-7 hari.
- Ulat (larva) berumur 14-20 hari dan telah berganti kulit sebanyak 4-5 kali. Pada umur tersebut rata-rata ulat telah mengkonsumsi daun setara luasan 30 cm2
- Kepompong (chrysalis/pupa) akan berpuasa dan beristirahat selama 14-16 hari.
- Kupu-kupu dewasa (imago) berumur antara 14-24 hari.
Berdasarkan proses metamorfosis tersebut saya berasumsi mendapati bahwa ulat dalam eksperimen saya merupakan ulat yang akan memasuki fase yang kedua. Ulat yang saya temukan berwarna hijau muda dengan ukuran panjang kira-kira 4 cm dan diameter kira-kira 0,5 cm. Seperti yang disebutkan diatas, ulat dalam fase kedua akan memakan daun sebanyak-banyak untuk mengumpulkan kebutuhan energi pada fase kepompong. Hal tersebut mendukung eksperimen saya untuk melihat bagaimana ulat ‘menggali’ daun sebagai metode pembentukan ruang yang efektif.
Pada hari pertama, saya memasukkan ulat ke dalam sebuah wadah dengan tutup yang telah diisi oleh 20 tumpukkan daun segar. Tumpukkan daun tersebut saya kaitkan dengan tusuk sate agar tidak tercecer. Daun tersebut sengaja saya tumpuk mewakili benda padat sebagai media awal pembentukan ruang. Ulat tersebut kemudian saya tinggalkan selama 12 hari. Hipotesis awal saya adalah bahwa ulat akan memakan daun pada layer paling atas terlebih dahulu, hingga daunnya habis. Kemudian baru akan memakan daun pada layer yang lebih bawah. Akan tetapi, pada hari ketiga, saya temukan sudah ada berkas gigitan ulat pada daun layer pertama dan kedua. Pada layer pertama daun sudah habis setengah bagian, sedangkan pada layer kedua daun sudah habis tiga-perempat bagian, yang membuktikan bahwa hipotesis saya keliru.
Caterpillar’s space
Gambar 7. Hasil ‘penggalian’ ruang oleh ulat
Pada hari ke-12 saya melihat hasil yang cukup signifikan baik pada diri ulat maupun tumpukan daun. Setelah ulat memakan daun cukup banyak sebagai cadangan energi saat fase kepompong, ukuran tubuh ulat pun menjadi lebih besar. Setelah 12 hari, ulat tersebut memiliki panjang kira-kira 6 cm, dan diameter kira-kira 1 cm. Tubuh ulat pun tidak berwarna hijau polos lagi, tetapi mulai dipenuhi oleh corak-corak hitam-kuning yang cantik.
Saya juga menemukan pola-pola gigitan ulat pada daun yang bervariasi pada tiap layer-nya, seperti yang terlihat pada gambar 7. Daun pada layer pertama (t), kedua (s), ketiga (r), dan keempat (q) sudah hampir habis. Kemudian pada layer berikutnya, yakni layer p, o, n, m, l, k, j, i, dan h, cukup konsisten dengan area gigitan ulat pada sisi dan porsi yang sama. Sedangkan pada layer-layer terbawah, yakni g, f, e, d, c, b, dan a, ditemukan kembali daun dengan porsi gigitan yang cukup banyak dan lebih random.
Dari hasil eksperimen selama 12 hari, ternyata hipotesis saya kembali salah. Ternyata ulat memakan daun lebih random dari yang saya prediksi. Tetapi secara metode, saya dapat dikatakan berhasil meneruskan gagasan Daniel Arsham tentang gagasan digging-nya, yakni hasil akhir yang natural dan jauh dari kepresisian teknis. Metode ulat tersebut memakan daun saya sejajarkan dengan seni menggali yang mengikuti naluri alami. Pada hari ke-13 saya mencoba melanjutkan eksperimen ini, saya kembali menumpuk 20 daun segar hingga membentuk kubus padat dan mengaitkannya dengan tusuk sate. Saya masukkan kembali ulat yang sama ke dalam wadah tertutup yang telah berisi tumpukan daun segar. Namun pada hari ke-16, saya menemukan perilaku ulat yang unik. Ulat mengambil selembar daun dan melingkari tubuhnya. Kemudian ulat mengeluarkan lendir dan membentuk benang-benang halus untuk merekatkan tubuhnya ke daun.Pada awalnya saya mengira bahwa ulat ini akan mati, namun setelah saya mencari informasi di internet tentang metamorfosis kupu-kupu, saya menduga bahwa ulat tersebut telah memasuki fase kepompong.
Berdasarkan informasi tentang metamorfosis kupu-kupu yang telah saya paparkan sebelumnya, saat telah menjadi kepompong, maka ulat tersebut akan berpuasa dan beristirahat selama 12-14 hari. Hingga saya menulis essai ini, fase kepompong baru berjalan selama 8 hari sehingga perkembangan selanjutnya tidak dapat dilaporkan. Akan tetapi berdasarkan eksperimen tersebut, dapat diketahui bahwa ‘penggalian’ ruang sangat berpengaruh terhadap pembentukan batas-batas ruang. Seperti yang terjadi pada ulat dan daun tersebut, perlakuan terhadap batas-batas ruang ini menjadi penanda gerak-gerik makhluk hidup secara keseluruhan dalam jangka waktu tertentu.
Referensi
Arsham, Daniel dan Mustonen, Alex. Snarkitecture, (Online), (http://www.snarkitecture.com, diakses 22 September 2011)Lee, Ricky. (2011). Art Talks: Architect and Artist Daniel Arsham, (Online), (http://www.anothermag.com/current/view/1039/Architect_and_artist_Daniel_Arsham, diakses 22 September 2011)
Pile, Steve . (2001). The Un(known) City: An Urban Geography of What Lies Buried below the Surface. Cambridge: The MIT Press.Snarkitecture.
Wikipedia. Metamorphosis, (Online), (http://www.wikipedia.com, diakses 22 September 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar